Saturday, April 19, 2008

MENYOAL RENCANA KENAIKKAN TARIF AIR MINUM


Artikel dimuat Solopos, 15 April 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Rencana Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surakarta untuk menaikkan tarif air minum yang dilontarkan pekan lalu lewat media masa mendapatkan reaksi penolakan yang cukup keras dari anggota dewan dan elemen masyarakat. Umumnya masyarakat menuntut sebelum tarif dinaikkan, PDAM harus lebih dahulu meningkatkan pelayanannya. Masyarakat sering mengeluhkan pelayanan PDAM belum optimal, khususnya dalam penyediaan air bersih. Disebagian wilayah pasokan sering ngadat dan airnya sangat keruh serta berbau. Hal ini didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota (DKK) yang menyimpulkan bahwa 39,79 % air yang disalurkan PDAM tak layak konsumsi (Solopos, 11 April 2008).

Namun nampaknya, penyebab penolakan tidak hanya semata-mata masalah pelayanan PDAM terhadap masyarakat. Menurut pengamatan penulis faktor makro ekonomi dan kondisi psikologis masyarakat juga sangat mempengaruhi. Kondisi perekonomian nasional yang nampak lesu dan melemah dan lonjakan kenaikkan harga sembako, BBM, listrik, transportasi telah berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat, khususnya masyarakat bawah. Dalam kondisi yang serba sulit ini, sangatlah wajar bila masyarakat menolak rencana kenaikkan harga tarif air minum, walaupun rencana itu baru sebatas wacana.

Apalagi rencana kenaikkan tarif yang akan diberlakukan cukup tinggi. Menurut Direktur Tehnik PDAM Surakarta, Sudiyanto, tarif air minum yang semula Rp 1.100,00 per meter kubik, akan dinaikkan menjadi Rp 1.750,00 per meter kubik (Solopos, 10 April 2008). Bila dibuat presentase kenaikkannya mencapai sekitar 60 persen. Tentunya ini bukan merupakan angka yang kecil bagi masyarakat.

DIPERSIMPANGAN JALAN

Disisi lain PDAM juga dihadapkan pada persoalan yang hampir sama dan sangat dilematis. Dengan melambungnya harga barang, maka komponen biaya produksi juga mengalami kenaikkan yang cukup signifikan. Agar tetap bisa bertahan dan menjalankan kegiatan operasional, PDAM harus menyesuaikan diri, salah satu alternatif yang paling gampang adalah menaikkan tarif.

Memang PDAM sebagai salah satu BUMD perannya di era otonomi daerah saat ini sangat berat dan ambigu. Menyandang peran ganda yang kontradiktif. Di satu sisi dituntut menjadi public service yang berorientasi sosial, namun di sisi lain sebagai perusahaan yang pengelolaan asetnya dipisahkan, harus bisa menjadi perusahaan layaknya organisasi bisnis lainnya, kinerja terukur dan dikelola secara profesional. Salah satu indikator ukuran kinerjanya adalah seberapa besar PDAM mampu berkontribusi ke Pendapat Asli Daerah (PDA).


Dalam pengamatan penulis ada tiga persoalan pelik yang saat ini dihadapi PDAM. Pertama, menyangkut Sumber Daya Manusia (SDM), dari segi kuantitas tidak ada masalah, bahkan boleh dikatakan jumlahnya terlalu banyak, namun mereka umumnya tidak memiliki ketrampilan dan kompetensi yang memadai, serta etos kerja masih rendah. Dalam melaksanakan pekerjaan cenderung mengandalkan pola kerja yang rutin dan monoton.

Kedua, menyangkut aspek menejerial. Pola manajemen yang digunakan sebagian besar masih pola manajemen tradisional yang birokratis. Hal ini wajar, karena tata pola kerja BUMD mengacu kepada Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU Nomor 6 tahun 1969. Semangat dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa direksi dan mayoritas pegawai PDAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi pemerintah daerah, sehingga pengelolaan BUMD dalam prakteknya mirip dengan pengelolaan lembaga birokrasi. Akibatnya, dalam banyak kasus, manajemen BUMD kurang memiliki independensi dan fleksibilitas untuk melakukan inovasi usaha guna mencapai tujuan organisasinya.

Ketiga, menyangkut penghitungan dan penentuan tarif. Menghitung dan menentukan tarif merupakan masalah yang sangat komplek, karena tidak hanya mendasarkan pada perhitungan secara ekonomi, namun juga mempertimbangkan aspek sosial dan politis. Umumnya tarif air minum yang ditetapkan PDAM di Indonesia saat ini lebih rendah dari biaya produksi.

PENENTUAN TARIF

Masalah penetapan besaran tarif air sering menjadi komoditas politis bagi kalangan legislatif, LSM, dan elemen masyarakat lainnya, yang sering kali mengganjal dan menolak kenaikkan dengan alasan membela rakyat, tanpa melakukan kajian secara mendalam. Padahal bila kita jeli dan kritis menganalisis melarang PDAM menaikkan tarif, menurut pendapat, Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Eko Subowo, sama saja kita hanya membela kelompok masyarakat mampu (baca: kaya). Kelompok masyarakat yang belum terjangkau pelayanan (baca: miskin), justru tidak menikmati subsidi sama sekali. Setiap hari mereka membeli air minum dengan harga Rp 500,00 hingga Rp 2000,00 perjerigen, yang berarti 50 kali lebih mahal dari tarif PDAM.

Menghitung tarif air minum memang tidak mudah, ada beberapa model pendekatan. Umumnya PDAM di Indonesia dalam menghitung tarif mengacu kepada Permendagri No. 23 tahun 2006 yang menggunakan pendekatan full cost recovery. Prinsip ini mengandung misi bahwa PDAM diharapkan mampu menghasilkan pendapatan tarif yang nilai minimalnya dapat menutupi seluruh biaya operasional (biaya penuh). Dengan ketentuan pendapatan minimal tersebut, PDAM diharapkan mampu mempertahankan dan meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanannya kepada masyarakat.

Dalam Permendagri juga diatur bahwa penghitungan dan penentuan tarif harus melibatkan stakeholder, diantaranya Pemda, Legislatif, Lembaga Konsumen, dan Perguruan Tinggi. Bila dikomunikasikan dengan baik dan transparan tentunya masyarakat akan bisa memahami dan menerimanya.

Dari sudut pandang akuntansi, metedo full cost sebenarnya terdapat kelemahan diantaranya metode ini tidak bisa dengan tepat menelusuri biaya apa saja yang seharusnya ditanggung oleh konsumen. Akibatnya bila terjadi ketidak efisienan dalam pengelolaan menjadi beban konsumen. Di samping itu metode ini juga tidak bisa untuk mengukur seberapa baik kinerja manajemen dalam menjalankan kegiatan.

Untuk saat ini metode full cost, merupakan metode yang paling sederhana dan paling gampang dilaksanakan. Namun idealnya penghitungan tarif ke depan, seiring dengan perbaikan pola manajemen dan sistem informasi yang di bangun, seharusnya menggunakan metode ABC (Activity Base Costing).

Lalu bagaimana sebaiknya kita mensikapi rencana kenaikkan tarif tersebut ? Bagaimana pun kita harus rasional dan mensikapinya dengan jernih. Menurut, Viktor Sihite (2007) biaya produksi rata-rata air secara nasional berkisar Rp 1.800,00 per meter kubik, tetapi harga jual rata-rata Rp 1.500,00. Bila kita mengacu data di atas sebenarnya rencana PDAM Surakarta menaikkan tarif dari Rp 1.100,00 menjadi Rp 1.750,00 masih tergolong wajar. Persoalannya adalah kenapa kenaikkannya langsung secara dratis ? Tidak bertahap ? Di saat hampir semua harga komoditas barang melambung tinggi.

Bila akhirnya PDAM bersikukuh menaikkan tarif, sebagai konsumen tentunya kita pun berhak meminta komitmen jajaran PDAM Surakarta untuk meningkatkan pelayanan dan mengelola PDAM secara sehat, transparan, akuntabel dan profesional. Bukankah demikian ? Bagaimana pendapat Anda ?