Wednesday, July 25, 2007

AUDIT DANA KAMPANYE JANGGAL ?

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Senin, 18 Juli 2005, Audit Dana Kampanye para Cawali Kota Solo, yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Ruchendi Mardjito, telah di umumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota (KPUK) Surakarta. Pasangan cawali Jokowi menghabiskan dana Rp 3,312 milyar, Hardono Rp 3 milyar, Achmad Purnomo Rp 2,4 milyar dan Slamet Suryanto Rp 838,841 milyar.

Laporan hasil audit dana kampanye ini membuat banyak orang terkejut. Setengah tidak percaya. Serta menimbulkan ganjalan dalam benak sebagian masyarakat. Benarkah hanya sebesar itu dana kampanye yang dikeluarkan oleh masing-masing pasangan cawali ? Padahal dalam itung-itungan orang awam secara kasar, khususnya untuk pasangan cawali Jokowi, Achmad Purnomo dan Hardono, minimal bisa menembus angka Rp 10 milyar. Sebab kita semua menyaksikan betapa gegap gempitanya waktu kampanye. Mengerahkan puluhan ribu massa dan menghadirkan artis mulai tingkat lokal sampai nasional. Pesangan alat peraga besar-besaran dan jor-joran dalam bentuk baliho, spanduk, dan iklan di media massa. Pembagian kaos dan uang transportasi ke lokasi kampanye. Pemberian berbagai bentuk sumbangan pun mengalir ke masyarakat. Benarkah hanya mengabiskan dana sebesar itu ?

Di samping itu, menurut saya terdapat kejanggalan untuk pasangan cawali Slamet Suryanto. Bila di awal dilaporkan hanya memiliki kekayaan sebesar Rp 402 juta, tetapi anehnya dana kampanye yang dikeluarkan bisa mencapai dua kali lipat, yaitu sebesar Rp 838,841 juta. Sangatlah tidak logis. Mestinya yang bernama sumbangan hanyalah sebuah stimulan saja. Sangatlah aneh bila dana kampanye yang dikeluarkan sebagian besar justru berasal dari para donatur. Pertanyaan yang sekarang muncul adalah bisakah hasil audit tersebut dipercaya ?

Salah satu tujuan penyelenggaraan pilkada adalah untuk mewujudkan dan menegakkan sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi kedaulatan sepenuhnya ada di tangan rakyat. Tidak terkecuali dalam memilih dan menentukan cawali atau cawawali. Setiap warga masyarakat pasti mengidamkan fiqur cawali dan cawawali yang amanah, jujur, bersih dan bertanggungjawab, serta mampu bekerja secara professional dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan.

Agar tidak keliru memilih, seperti “membeli kucing dalam karung”. Sejak awal setiap cawali dan cawawali diharus menunjukkan jati dirinya. Apa adanya secara transparan. Menyangkut track record masa lalunya, visi dan misi, jumlah harta kekayaan yang dimiliki dan sumber dana yang digunakan untuk kampanye.

Khusus informasi yang terkait dengan aspek finansial, meliputi harta yang dimiliki, sumber sumbangan pendanaan dan penggunaan dana kampanye sangat penting diketahui oleh publik. Sebab dari harta yang dimiliki, serta aliran dana masuk dan dana keluar, masyarakat akan mengetahui motivasi dibalik pencalonan, sumber dana yang digunakan dan siapa saja yang memback up pencalonannya. Adakah tokoh-tokoh golongan hitam yang berdiri dibelakangnya ?

Sebab dalam penyelenggaraan pilkada sangat dimungkinkan terjadinya praktik money laudry. Bila ini terjadi, maka akan sangat berbahaya dan berdampak buruk terhadap pelaksanaan demokrasi. Karena kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang akan diambil oleh cawali pemenang, pasti akan direcoki dan disetir oleh tokoh-tokoh golongan hitam tersebut. Tidak menutup kemungkinan cawali yang demikian nantinya hanya sekedar menjadi “walikota boneka “.

Untuk itu semua lapisan warga masyarakat memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mengawal demokrasi. Caranya antara lain dengan berperan aktif mencermati secara jeli, setiap sen rupiah yang diperoleh dan dipergunakan para cawali dalam membiayai pencalonannya. Jangan sampai kecolongan. Tetapi tentunya, tidak semua orang memiliki keahlian dan ketrampilan untuk melakukan hal itu. Sebab untuk melakukan pemeriksaan (pengauditan) harus melalui prosedur tertentu yang harus ditempuh. Tidak bisa sembarang orang.

Bagian dari elemen masyarakat yang kompeten melakukan hal itu adalah Kantor Akuntan Publik (KAP). Itulah sebabnya dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 66 huruf m ditegas bahwa KPUK berkewajiban menetapkan KAP. Mengapa KAP yang harus mengaudit dan siapakah Akuntan Publik itu ? Bagaimana prosedur auditnya ?

KAP adalah badan usaha yang telah mendapat ijin dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam memberikan jasa profesi. Sedangkan Akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh ijin dari Menteri Keuangan untuk memberikan jasa profesi. Dalam menjalankan jasa profesinya, akuntan publik dan KAP wajib mematuhi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan Kode Etik yang telah di tetapkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAI), serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan prosedur audit dalam audit dana kampanye adalah audit uji kepatuhan (compliance audit). Uji kepatuhan terhadap ketentuan undang dan peraturan yang berlaku, serta uji kepatuhan dan uji subtansi terhadap aliran kas masuk dan aliran kas keluar atas dana kampanye. Sedangkan skedul waktu pelaksanaan audit adalah sebagai berikut (PP 6/2005, pasal 65 dan 66):

KAP telah mengaudit sumbangan dana kampanye H-1 dan H+ 1, sebelum dan sesudah masa kampanye. Hasil audit kemudian diserahkan kepada KPUK. Sehari setelah menerima laporan sumbangan dana kampanye KPUK mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye melalui media massa.

Sementara itu keseluruhan penggunaan dana kampanye yang digunakan oleh cawali dilaporkan kepada KPUK tiga hari setelah hari pemungutan suara. Paling lambat dua hari dari penerimaan laporan dana kampanye KPUK harus menyerahkan laporan dana kampanye kepada KAP.

KAP melakukan audit dana kampanye paling lambat selama lima belas hari untuk kemudian diserahkan kepada KPUK. KPUK paling lambat tiga hari setelah menerima laporan hasil audit, berkewajiban mengumumkan hasil audit kepada masyarakat secara terbuka.

Pelaksanaan audit dana kampanye ini, untuk mendorong terwujudnya asas tertib penyelenggaraan, transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan umum dalam pilkada di era otonomi daerah. Dengan proses dan prosedur yang demikian diharap pilkada akan melahirkan cawali yang kredibel dan akuntabel.

Melihat begitu pentingnya peran dan tugas KAP dalam mengawal demokrasi. Pemilihan dan penetapan KAP seharus dipersiapkan dengan matang. Bila perlu jauh hari sebelum tahapan kampanye berlangsung. Dengan mengedepankan aspek obyektifitas dan rasionalitas, disertai dengan kreteria dan indikator yang jelas dan transparan.

Mengapa demikian ? Karena sebagaimana diatur dalam PP No. 6/2005, pasal 65 ayat 6 dan 7, KAP mengaudit laporan sumbangan dana kampanye satu hari sebelum dan sesudah masa kampanye berlangsung. Setelah selesai diaudit sumbangan dana kampanye diumumkan KPUK melalui media massa.

Namun yang terjadi KPUK Surakarta, hanya membuat realese tentang sumbangan dana kampanye yang belum diaudit ke media massa, sehari sebelum masa kampanye. Ini artinya sejak awal, telah terjadi “cacat prosedur”, dalam tahapan penetapan KAP dan pelaksanaan audit dana kampanye. Menurut saya ini terjadi akibat kelalaian dan keteledoran KPUK, sehingga penetapan KAP dan pelaksanaan audit tidak sejalan dengan UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005.

Karena pelaksanaan audit tanpa persiapan waktu yang cukup, ini dapat berimbas laporan hasil audit, tidak dapat memenuhi standar auditing. Bila hal ini yang terjadi, bisa memicu konflik dan menimbulkan mosi tidak percaya masyarakat kepada KUPK dan KAP yang ditunjuk. Apa yang saya sampaikan ini tidak ngayoworo. Karena temuan audit, merupakan bukti awal yang kuat, yang dapat ditindak lanjuti oleh pihak yang berwajib dalam memproses terjadinya suatu pelanggaran dalam pilkada.

Coba kita cermati dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005, calon terpilih dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon, apabila ditemukan pelanggaran adanya sumbangan dana kampanye yang berasal dari negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing; penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya; pemerintah, BUMN dan BUMD.

Di samping itu temuan audit memiliki implikasi sanksi hukum dan denda. Mulai dari kurungan penjara berkisar 1 s/d 24 bulan. Dan denda berkisar antara 1 juta s/d 1 miliar rupiah. Baik bagi cawali, tim sukses, auditor, penyumbang dana, maupun siapa saja yang memberikan informasi tidak benar terkait dana kampanye.

Apabila penetapan KAP dan pelaksanaan audit dana kampanye sejak awal telah cacat prosedur. Dan hasil audit ternyata jauh dari yang kita duga. Maka sejauh manakah validitas hasil laporan audit dapat dipercaya ? Mampukah hasil laporan audit mengungkap temuan penyimpangan ? Disinilah indepensi dan profesionalisme KAP diuji dan dipertaruhkan. Semoga tidak ada dusta diantara kita ! Mari kita tunggu bersama !

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana MM Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta..






KECIL KEMUNGKINAN DANA MEDICAL KEMBALI

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Kasus CV Medical telah memasuki babak antiklimak. Kamis, 14 Juli 2005 untuk pertama kalinya kasus ini memasuki masa persidangan di pengadilan. Dengan menyeret Direktur CV Medical, Timotius Tri Sabarno sebagai terdakwa utama dalam kasus ini. Kasus ini meledak sekitar pertengahan bulan Maret 2005. Saat Timotius, sudah tidak sanggup memenuhi kewajibannya membayar bunga 10 persen tiap bulan dan mengembalikan modal para investor.

Wajar saja bila Timotius tidak bisa memenuhi kewajibannya. Karena bisnis gingseng yang selalu dibangga-banggakan itu, ternyata hanya bohong-bohongan alias fiktif. Sadar bahwa dirinya telah dikibuli Timotius, umumnya investor hanya pasrah. Tidak melakukan perlawanan secara hukum. Karena faktor psikologis dan malu dengan lingkungannya, maka tidak mengherankan dari puluhan ribu korban, hanya sedikit yang melaporkan dan mengadukan kasus ini ke kepolisian.

Inilah salah satu “kejeniusan” Timotius dalam mengelabui para korban. Dengan suka cita dan suka rela para menyerahkan uang puluhan bahkan sampai ratusan juta. Namun saat kedok penipuan terkuak mereka tidak bisa berbuat banyak. Hanya mampu melontarkan sumpah serapah, namun malu melaporkan kepada yang berwajib.

Kini puluhan ribu petani dan investor hanya menjerit, sambil berharap uangnya dapat kembali. Seraya uangnya akan kembali.

yang mengegerkan ini akhirnya menyisakan banyak masalah. Karena korbannya mencapai puluhan ribu, dengan jumlah total kerugian diprediksi mencapai ratusan milyar. Tidak tanggung-tanggung korbannya, tidak hanya warga Solo, namun tersebar di seluruh Indonesia.

BBM NAIK ? TINGGAL TUNGGU WAKTU

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Benarkah saat ini telah terjadi kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) ? Mengapa sampai terjadi kelangkaan BBM ? Bukankah negera kita termasuk salah satu negara pemasok minyak dunia ? Mengapa BBM tiba-tiba bisa menghilang begitu saja ?

Padahal berdasarkan data yang ada, jumlah kuota BBM yang disepakati dalam APBN Perubahan 2005, secara total jumlahnya mencapai 59,61 juta kilo liter. Di atas kertas jumlah kuota BBM ini, sebenarnya telah mencukupi untuk kebutuhan sepanjang tahun 2005. Namun mengapa terjadi kelangkaan ? Kelangkaan BBM yang terjadi di sejumlah kota di Indonesia belakangan ini, sesungguhnya sangat tidak masuk akal. Apalagi realisasi penyaluran dalam lima bulan pertama masih sekitar separuh dari kapasitas yang ada, yakni sebesar 25,61 juta kilo liter (Republika, 26 Juli 2005).

Artinya ada persoalan lain yang menjadi penyebab langkanya BBM. Menurut pengamatan saya, akar persoalan utama kelangkaan BBM sebenarnya terletak pada masalah besaran subsidi. Subsidi BBM yang dianggarkan dalam APBN diambang kritis dan tidak mencukupi. Akibat melonjaknya harga minyak di pasar internasional yang menembus harga hingga US $ 60 perbarel. Padahal dalam APBN Perubahan 2005 subsidi BBM yang dianggarkan hanya sebesar Rp 76 trilyun. Itu saja dengan asumsi harga yang lebih rendah dari harga pasar dunia, yaitu sebesar US $ 45 perbarel.

Repotnya, sampai semester pertama tahun 2005, dana subsidi BBM yang telah dicairkan sebesar Rp 46 trilyun. Artinya besarnya subsidi tinggal Rp 30 trilyun. Jelas sisa ini tidak akan mencukupi kebutuhan enam bulan ke depan. Paling banter hanya dapat digunakan untuk mensubsidi tiga setengah bulan kedepan. Padahal tahun anggaran 2005 baru akan berakhir pada akhir bulan Desember 2005. Kondisi inilah yang menurut saya membuat pemerintah menjadi panik. Cermin kepanikan itu, bisa dilihat dengan terbitnya Inpres Nomor 10/2005 tentang Penghematan Energi. Yang kemunculannya terkesan terburu-buru tanpa didahului kajian mendalam. Sehingga menimbulkan pro dan kontra.


Saya prinsip sangat setuju dan mendukung bila pola konsumsi BBM harus direm dan dikendalikan. Namun seharusnya, sebelum Inpres ke luar, mestinya diindentifikasi dan dipetakan lebih lebih dahulu, penggunaan mana yang seharus direm dan dikendalikan. Jangan sampai inpres ini hanya sekedar dimanfaatkan untuk acara seremonial.

Apakah efektif dan efisien bila penghematan engergi hanya sebatas pengurangan penggunaan listrik, alat transportasi dan AC, misalnya ? Apakah justru tidak kontra produktif ?

Kita sepakat penggunaan energi yang boros menyebabkan pembengkaan subsidi BBM yang berimbas pada APBN yang defisit. Untuk menutup defisit, mau tidak mau pemerintah terpaksa harus berhutang. Padahal jumlah kumulatif utang kita sudah sangat besar. Untuk tahun anggaran 2005 saja sekitar sepertiga anggaran, kurang lebih sekitar Rp 140 triliun, telah habis tersedot hanya untuk membayar utang.

Sering muncul pertanyaan. Indonesia termasuk negara penghasilan minyak dunia, tetapi kenapa setiap ada kenaikan harga minyak, kita menjadi kelimpungan ?

Padahal di era tahun tujuhpuluhan saat terjadi booming kenaikan harga minyak, negara kita sempat dimanjakan bermandikan dengan dolar. Bak tertimpa durian runtuh. Namun kenapa sekarang malah terjadi yang sebaliknya ? dan kenapa pemerintah harus memberikan subsidi ?

Rupanya saat ini, telah terjadi “wolak-waliking jaman”. Dulu kita sebagai pengekspor minyak, namun sekarang kita sebagai pengekspor dan sekaligus pengimpor minyak. Akibatnya setiap ada kenaikkan harga minyak dunia kita menjadi kelabakan. Mengapa ?

Setiap ada kenaikkan harga minyak sebesar US $ 1 per barel pemerintah akan mendapat tambahan penghasilan kurang lebih sebesar Rp 3,8 – Rp 3,9 trilyun. Tetapi di sisi lain pemeritah juga harus menambah jatah bagi hasil, untuk daerah-daerah penghasil minyak. Ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda). Selain itu pemerintah juga harus memberi uang yang lebih banyak kepada Pertamina untuk membeli BBM. Mengapa pemerintah harus membeli BBM dari Pertamina ?



Tidak perlu heran, karena Pertamina saat ini telah menjadi persero atau perusahaan yang terpisah. Jadi untuk memproduksi dan mengimpor BBM Pertamina harus ke luar uang sendiri. Sementara itu dalam menjual BBM di dalam negeri Pertamina harus tekor, karena tidak dapat menjual dengan harga pasar internasional. Untuk menutupi selisih harga pasar domestik dan internasional itulah pemerintah mengucurkan dana ke Pertamina. Itulah yang disebut dengan “subsidi”.

Apabila dikalkulasi, maka setiap tambahan pengeluaran pemerintah untuk bagi hasil dan untuk subsidi BBM. Untuk setiap kenaikan harga minyak dunia sebesar US $ 1, bisa mencapai Rp 3,9-Rp 4,5 trilyun. Padahal saat ini kenaikannya mencapai hampir US $ 20. Dapat dibayangkan bila tidak terjadi penghematan, subsidi BBM bisa mencapai angaka Rp 100 triliun. Kuatkah pemerintah menanggung kenaikan subsidi sebesar itu ? Bila kuat untuk seberapa lama ?

Sehingga saya memprediksi apabila harga minyak dunia terus membumbung naik, maka tidak ada pilihan lain. Pemerintah pasti akan menaikkan harga BBM. Inilah pilihan yang tidak popular ! Namun harus tetap diambil.Walaupun pemerintah saat ini menyatakan belum terpikir untuk menaikkan harga BBM. Rasa-rasanya sulit bagi pemerintah untuk tetap memegang janji. Mengingat pilihan yang dihadapi pemerintah saat ini sangat dilematis. Uangnya cumpen.

Bila subsidi ditambah, hutang bertambah. Bila tidak ada tambahan subsidi, kelangkaan BBM pasti akan semakin bertambah meluas. Tetapi bila harga BBM dinaikkan, pasti juga akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Dan persoalannya pun akan beralih dari krisis energi ke krisis kepercayaan.

Menurut hemat saya, sambil menunggu dan berharap harga minyak dunia stabil, komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memberantas dan menindak kejahatan penyalahgunaan BBM, seperti penimbunan, pengoplosan dan penyeludupan BBM ke luar negeri harus betul-betul dijalankan.

Law enforcement harus dijalankan dan ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Sangatlah naif bila rakyat dihimbau berhemat, namun di sisi lain segelintir orang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi. Ibaratnya dia tega menari di atas penderitaan wong cilik.



Apa sih ruginya bila sekali waktu pemerintah melindungi dan membela kepentingan wong cilik ? Yang dimanjakan jangan hanya segelitir konglomerat saja. Coba kita lihat ! Bila untuk rekapitulasi perbankan saja pemerintah mampu menyediakan dana Rp 70 trilyun untuk segelintir bankir. Dan ironisnya setelah banknya sehat, mereka jual ke luar negeri. Apakah pantas pemerintah owel bila harus mensubsidi rakyat kecil ?

Langkah lain yang harus ditempuh untuk meringankan subsidi BBM, bisa ditempuh dengan efisien dan efektiftivitas dalam penggunaan dana APBN. Jangan ditolerir praktik mark up dan KKN, yang salama ini telah menjadi tradisi dan membudaya dikalangan birokrat. Sehingga penghematan dana tadi akan lebih bijaksana bila dimanfaatkan untuk membantu rakyat kecil. Setuju ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana Magister Manajemen (MM) Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta.

PELAYANAN PRIMA

Menagih Komitmen Pemkot Solo dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima
Mewujudkan Pelayanan Prima di Lingkungan Pemkot Solo. Pelayanan prima “Service Excellence (SE) adalah suatu sikap atau cara para karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan. SE mencakup 3 aspek yaitu kemampuan professional, kemauan yang teguh dan sikap dalam menyalani, senang, ikhlas dan tulus dalam menyelesaikan pekerjaan dan menangani keluhan.

4 unsur pokok dalam SE:
1. Kecepatan
2. Ketepatan
3. Keramahan
4. Kenyamanan

Standar SE:
1. Sikap personil
2. Kualitas pelayanan
3. Waktu
4. Kemudahan
5. Kenyamanan
6. Keamanan
7. Biaya

Mengapa perlu SE ?
Ketatnya persaingan
Meningkatnya kebutuhan pelanggan
Pertumbuhan industri jasa
Nilai tambah dan citra perusahaan
Keterbatasan Manusia

Merupakan suatu kesatuan pelayanan jasa yang terintegrasi. Bila salah satu tidak ada, maka pelayanan menjadi tidak prima, pincang.

SE, hukumnya wajib bagi organisasi pemerintah, dalam system demokrasi menganut model teori keagenan. Rakyat memberikan mandat kepada pemerintah untuk menyelenggaraan pemerintah. Pemerintah penerima mandat harus menjalankan tugas dengan sepenuh hati, melayani publik dengan mengedepankan unsur transparansi dan akuntabilitas. Walikota adalah pelayanan dan Rakyatlah rajanya.

SE bisa dikatakan unggul atau prima, apabila perusahaan mampu secara jeli mengenali dengan baik keinginan atau kebutuhan pelanggan

Maka birokrasi harus mau instropeksi, kenapa selama ini pelayanannya dikonotasikan buruk, sehingga muncul istilah terlalu birokratis, yang artinya berbelit-belit.
Drs. Suharno, MM, Akuntan

KEMENANGAN JOKOWI KEMENANGAN PENCITRAAN

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Pilkada yang digelar secara serentak di tiga daerah, Kota Solo, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo usai digelar pada hari Senin Kliwon, 27 Juni 2005. Pilkada di kota Solo, dimana masyarakatnya dikenal bersumbu pendek, pada awalnya sempat dibayang-bayangi terjadinya konflik dan amuk masa antar pendukung cawali. Namun syukurlah, kekhawatiran itu ternyata tidak terjadi. Baik yang menang dan yang kalah bisa bersikap legowo. Menang ora umuk, kalah ora ngamuk. Kitapun bernafas lega. Pilkada dapat berjalan dengan lancar, aman dan damai.

Dibanding dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali, pilkada di Kota Solo memiliki nuasa yang berbeda. Saat masa kampanye berlangsung meriah, tampil lebih greget dan hingar bingar. Diprediksi oleh banyak pihak, pesta rakyat ini, menghabiskan dana puluhan milyar. Ini dapat dimaklumi karena dari empat pasangan cawali, tiga diantaranya (Jokowi, Hardono dan Purnomo) adalah para pengusaha besar yang kaya raya. Mereka termasuk pengusaha “ Balung Gajah, Sabuk Galengan “. Hardono dengan total kekayaan sekitar 49 milyar, Purnomo sekitar 41 milyar, dan Jokowi sekitar 9,7 milyar.

Tidak aneh ketiganya tampil all out. Dari tiga kali kampanye terbuka, ketiganya mampu mengerahkan masa puluhan ribu, dengan acara yang dikemas secara spektakuler. Sehingga sangat sulit untuk menebai dan mempridiksi siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Ketiga-tiganya sama-sama kuat. Sama-sama berenergi. Sama-sama mengklaim mendapat dukungan dari beberapa kalangan. Mulai dari tukang becak, pemulung, buruh, ormas, parpol, organisasi profesi sampai kalangan pemuka agama.

Namun demikian, medekati hari H, dikalangan petaruh, sebagian besar mengunggulkan pasangan Hardono dan Purnomo. Pasangan ini diunggulkan, karena keduanya terkesan paling “royal” dan “dermawan” dalam setiap event kampanye. Opini petaruh ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh publisitas besar-besaran diberbagai media. Baik media cetak maupun elektronik, maupun media outdoor. Seperti selebaran, poster, leaflet, pamplet maupun pemasangan iklan di koran, spanduk, banner dan baliho raksasa yang memenuhi setiap jengkal tanah di kota Solo.

Sehingga kemenangan Jokowi sebenarnya agak sedikit agak mengejutkan bagi sementara kalangan. Namun sebenarnya bagi saya dan tim Citra Emas (CES) Surakarta, kemenangan Jokowi sudah kami prediksi sejak awal. Berdasarkan pooling yang kami selenggarakan pada awal Januari 2005, sebagian besar responden menjatuhkan pilihan pada cawali yang berumur antara 40-45 tahun. Dan saat ini Jokowi baru saja merayakan ulang tahun yang ke 44.

Dalam pandangan saya, salah satu faktor penentu utama kemenangan Jokowi adalah keberhasilan dalam masalah pencitraan diri. Pencitraan merupakan salah satu kekuatan utama Jokowi dalam meraih kemenangan sebesar 36,62 % (Solopos, 29 Juni 2005). Kemenangan ini juga semakin memperteguh serta memperkuat kedudukan dan arti penting Public Relations (PR) dalam kancah perpolitikan di tanah air. Karena pembentukan citra (image building), merupakan kata kunci dari aktivitas PR. Keampuhan PR ini pula yang telah menghantarkan SBY menjadi presiden RI pertama yang dipilih rakyat secara langsung.

Membangun citra diri tidak bisa bersifat instant, namun butuh waktu dan proses yang cukup lama. Berdimensi jangka panjang. Resep ini itu telah dibuktikan oleh Jokowi, baik disadari maupun tidak. Jokowi telah secara cerdik menempatkan dan memetakan pencitraan dirinya lebih awal bila dibanding tiga cawali lainnya. Langkah awal tersebut, merupakan langkah strategis yang paling efektif. Merupakan investasi yang tidak dapat diukur secara matematis, namun dapat dirasakan manfaatnya.

Berikut adalah catatan saya, yang terkait dengan bentuk pencitraan yang dilakukan Jokowi dan tim suksesnya. Jokowi adalah sosok cawali yang memiliki karakter pribadi sederhana dan tidak neko-neko. Pencitraan inilah menurut saya yang paling kuat dalam meraih simpati masyarakat. Dalam keseharian dan saat tampil di muka publik Joko, tampil lugas, apa adanya dan low profile. Fiqur yang demikian membuat dirinya tidak memiliki jarak dengan masyarakat mulai kalangan bawah sampai atas. Jokowi sikapnya santun.

Citra sebagai pembela wong cilik juga melekat pada dirinya. Terjun langsung blusukan keperkampungan kumuh dengan jalan kaki atau naik ojek untuk mendengarkan dan menyerap aspirasi mereka. Tanpa wigah-wigih, tulus dan tidak menyukai acara seremonial. Jokowi seolah menyatu dengan penderitaan wong cilik. Di tengah mereka Jokowi tidak banyak mengumbar janji yang muluk-muluk. Lebih banyak mendengar dan meminta doa restu.

Pencitraan diri yang lain, Jokowi tampil sebagai sosok nasionalis dan tokoh yang pluralis serta humanis. Tidak nampak fanatik pada satu golongan tertentu. Mampu ajur-ajer disemua lapisan masyarakat. Berbeda dengan sosok Purnomo dan Hardono, mereka cenderung hanya diterima oleh dikalangan menengah-atas, terpelajar dan kalangan umat islam saja.

Dalam strategi komunikasi Jokowi sangat efektif. Bahasanya lugas, mudah dimengerti dan jargon yang ditampilkan sederhana, namun menggigit, dan gampang diingat ”Berseri tanpa Korupsi”. Jargon ini langsung menukik pada persoalan aktual dan perlu mendapat prioritas utama dalam membangun kota Solo. Jargon ini memiliki power dan ruh, karena ditunjang oleh pribadi Jokowi yang lugu, lugas dan sederhana. Sehigga masyarakat percaya dan menaruh harapan akan terwujudnya jargon itu pada sosok Jokowi.

Visi, misi dan program yang ditawarkan pada saat kampanye pun cukup realistis dan tidak bombastis. Berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Menekankan pemberantasan korupsi, peningkatan kesejahteraan keluarga pra sejahtera, membuka lapangan kerja, biaya pendidikan yang murah. Tidak terjebak pada penyusunan visi dan misi yang normatif dan retoris.

Dalam pengamatan saya, pola dan bentuk kampanye yang digunakan Jokowi lebih banyak pada pendekatan PR bila dibandingkan Advertising. Pada saat Hardono dan Purnomo jor-joran dengan pemasangan spanduk, baner dan baliho raksasa yang unik, Jokowi tidak terpancing. Model iklannya tetap tampil sederhana dan ala kadarnya, namun tetap konsisten mengusung jargon “Berseri tanpa Korupsi”. Rupanya Jokowi tahu persis akan kemampuan dan keterbatasan dana, maka harus pandai-pandai mengelolanya secara efektif dan efisien.

PR adalah pendekatan yang bersifat personal. Bagaimana agar individu atau organisasi disukai dan mendapat dukungan dari publik. Hal ini sejalan dengan pendapat Al Raies dan Laura Ries dalam The Fall of Advertising, The Rise of PR. Kunci keberhasilan dalam meraih simpati dan hati pelanggan terletak pada citra diri. Bukan karena banyaknya biaya iklan yang digelontorkan. Menurut Al Ries dan Laura Ries saat ini advertising telah kehilangan kredibilitas.



Mengapa demikian ? Karena umumnya praktisi periklanan saat ini dalam berkarya membuat rancangan iklan, memiliki kecenderungan dan mengedepankan aspek keunikan dan kreatifitas semata. Persoalan apakah iklan tersebut mampu menggerakkan orang untuk menjatuhkan pilihan pada produk yang bersangkutan itu merupakan persoalan kedua.

Itulah seklumit catatan saya tentang pencitraan diri Jokowi dalam pertarungan memperebutkan AD 1. Pak Jokowi selamat berjuang dan selamat membaktikan diri sepenuh hati untuk kota Solo lima tahun ke depan ! Janji Anda kami tunggu !

*) Penulis adalah Pengurus Perhumas BPC Surakarta, Support Program Citra Emas (CES) Surakarta dan Mantan Kahumas Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta

WASPADAI KOPERASI SILUMAN

PRESS REALESE

Saat memberikan sambutan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) Ke-58 di Gedung Sate, Bandung, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), menginstuksikan agar ada upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan koperasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab (Solopos, 13/7).

Kami sangat mendukung instruksi dan himbuan tersebut. Karena indikasi ke arah penyalahgunaan badan hukum koperasi untuk kepentingan segelitir pemodal nampaknya telah mulai nampak di Solo. Padahal tujuan utama pendirian koperasi adalah untuk membantu dan mensejahterakan para anggotanya.

Indikasi ini terlihat dari fenomena kemunculan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), diberbagai penjuru kota, bak cendawan dimusim hujan. Menurut data resmi dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (UKM) Solo, selama paruh tahun 2005 saja, pertumbuhan KSP mencapai 5 %. Menguasai 50 % asset dan omzet dari keseluruhan jenis koperasi yang ada.

Sekilas perkembangan ini kami sangat mengembirakan dan positif. Namun disisi lain perlu diwaspadai dan terus dimonitor secara pro aktif oleh seluruh elemen masyarakat. Utamanya Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (UKM) Solo, sebagai pihak yang paling kompeten.

Sinyalemen SBY, perlu mendapat respons positifbisa jadi benar. Potensi penyalahgunaan itu sangat besar Mengingat untuk mendirikan KSP syarat dan prosedurnya sangat mudah. Cukup hanya 20 orang dan modal Rp 15 juta sudah bisa mendirikan KSP. Peluang inilah yang kemungkinan akan dimanfaatkan oleh pemilik modal besar untuk memutarkan uangnya di KSP. Mengapa pemodal besar lebih suka membentuk KSP daripada mendirikan bank.

Pertama, mendirikan koperasi lebih mudah dibandingkan mendirikan bank. Kemudahan mencakup dalam hal persyaratan, prosedur dan permodalan, dan aspek perpajakan.

Kedua, menginvestasikan dana untuk mendirikan KSP lebih menguntungkan daripada didepositokan di bank, yang tingkat bunganya rendah.

Ketiga, pasar KSP masih sangat potensial, karena membidik masyarakat menengah bawah. dan prospeknya masih menjanjikan. Hal ini disebabkan perekonomian kita yang belum pulih dan merebaknya tingka konsumerisme di tengah masyarakat.

Untuk itu pemkot dalam mengeluarkan ijin pendirian KSP agar lebih selektif. Pemberian ijin pendirian, jangan hanya sekedar mendasarkan pada persyaratan dan prosedur administrative. Tetapi harus diadakan verifikasi lapangan, menyangkut kebenaran validitas keanggotaan dan permodalan yang digunakan.

Ini semua untuk mengantisipasi munculnya KSP siluman atau praktik perbankan gelap dengan kedok koperasi. Sekedar melegalkan usahanya. Bila ini yang terjadi maka pendirian KSP akan melenceng dari visi dan misi utamanya, yaitu meningkatkan kesejahteraan para anggota.

Surakarta, 14 Juli 2005

Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA)
Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi
Surakarta
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Hp. 0812.15.10950