Friday, August 1, 2008

AMALIA CONSULTING KUPAS TIP DAN TRIK PEMASARAN BPR


Salam Sukses !!!


Amalia Consulting bergerak pada bidang jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan bidang manajemen, akuntansi, perpajakan dan public relations. Saat ini Klien kami sebagian besar Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Saat ini kami tengah mengembangkan materi pelatihan bidang marketing dan service excellencent. Sederhana, membumi dan inspiratif. Tip dan trik jitu langsung dapat dipraktekkan.

Kamis, 31 Juli 2008, Direktur CV Amalia, Drs. Suharno, MM, Akuntan, menyampaikan tip dan trik jitu strategi marketing, di Hotel Kesambi Hijau, Semarang, dalam Diklat Perbamida Jateng & DIY, diikuti 23 peserta level Kabag dan Kepala Cabang. Inilah komentar mereka. Kabid Pemasaran, PD BPR-BKK Wonogiri, Didik Darmadi, SE, MM, ” Setelah mengikuti diklat saya termotivasi melakukan evaluasi terhadap kinerja saya selama ini ”.

Prastiwi Handayani, SE, Pimpinan Cabang BPR-BKK Demak, ” Materi disajikan sangat menyenangkan. Mudah diterima dan dilaksanakan ”. Pimpinan Cabang BPR-BKK Unggaran, Agus Sumaryono, ” Tayangan audio visual lucu, penuh makna yang dalam tentang promosi dan pemasaran ”.

BPR Anda ingin menyelenggarakan ?


Pastikan anggaran Anda betul-betul dimanfaatkan secara efisien dan efektif. Tidak terbuang sia-sia !!! Percayakan pelatihan organisasi bisnis Anda kepada kami.


Hubungi kami segera:


Drs. Suharno, MM, Akuntan

Hp. 0813. 295. 117. 45,

Telp/Fax (0271) 651268,

email: suharno_mm_akt@yahoo.co.id






Wednesday, June 11, 2008

MEMUTUS MATA RANTAI BISNIS LKS

Dimuat Solopos, Kamis, 12 Juni 2008
Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.


Dalam sepekan terakhir Solopos menurunkan liputan tentang lika-liku bisnis Lembar Kerja Siswa (LKS). Penulis sangat mendukung pendapat berbagai pihak bahwa penggunaan LKS di sekolah-sekolah, mulai SD sampai SMA/SMK untuk ditinjau ulang. Bila mana perlu dihentikan. Sebab bila ditinjau dari berbagai aspek penggunaan LKS lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Dari aspek pendidikan LKS tidak sejalan, bahkan kontradiktif dengan model pembelajaran KTSP yang berbasis kompentensi, yang saat ini sedang dikembangkan.

Lihat saja LKS yang saat ini beredar, sebagian besar mutunya sangat rendah. Di bawah standar. Siswa hanya memindahkan keterangan-keterangan yang ada di buku materi ke LKS tanpa banyak berdiskusi atau berpikir. Kondisi ini mirip, sebelum jaman fotocopy, murid mencatat, sedangkan guru atau temannya menulis di papan.

Tetapi para guru sering menggunakan LKS sebagai ajian pemungkas yang paling praktis untuk memberikan Pekerjaan Rumah ( PR), yang sangat membebani siswa dan orang tua. Anak sering menjadi stres karena PR berjimbun. Orang tua menjadi repot dan kelabakan saat diminta membantu anaknya mengerjakannya. Tidaklah berlebihan bila kemudian LKS diplesetkan menjadi Lembar Kesengsaraan Siswa.

Dampak Penggunaan LKS

Model soal yang dikembangkan dalam LKS sebatas tataran kognitif. Membuat siswa tidak kreatif. Karena belajar suatu ilmu hanya kulit luarnya saja, tanpa ada pendalaman. Akibatnya yang berkembang hanya kemampuan otak kirinya saja. Dalam model pembelajaran semacam ini, siswa tak ubahnya mesin penghafal. Sedangkan bila ditinjau aspek etika sangatlah kurang pas, bila para guru harus nyambi menjual LKS secara langsung kepada para siswa. Bila guru berbisnis buku dapat dipastikan pamor dan kewibawaan di depan siswa juga akan luntur.

Di sisi sosial-ekonomi pengadaan LKS, sangat membebani orang tua murid yang tidak mampu. Mari kita kalkulasi secara kasar, bila dalam satu semester siswa membeli LKS dua kali untuk setiap mata pelajaran (mapel). Dan ada 12 mapel, berarti harus membeli 24 LKS. Harga rata-rata LKS sekitar Rp 5.000,00, sehingga dalam satu semester saja orang tua harus merogoh kocek Rp 120.000,00. Bila satu tahun tinggal mengalikan dua saja, sekitar Rp 240.000,00. Ini baru untuk beli LKS. Padahal selain LKS, orang tua siswa masih dibebani dengan berbagai biaya yang lain. Ada buku pendamping, seragam sekolah, pakain olah raga dan uang gedung.

Di samping itu, bisnis LKS ditengarai banyak menguntungkan oknum kepala sekolah dan guru tertentu saja. Dalam benak mereka yang ada adalah bagaimana mendapatkan keuntungan. LKS memang bisnis yang amat menggiurkan. Bila diasumsikan dalam satu sekolah ada sekitar 600 siswa berarti dalam setahun uang yang dibelanjakan untuk LKS mencapai Rp 144 juta. Bila penerbit memberikan discount 40 %, maka setiap tahun sekitar Rp 57,6 juta yang dinikmati pihak sekolah.

LKS hanya buku pelengkap. Namun dalam praktik LKS menjadi ” kitab suci ” para guru dan siswa. Hampir dipastikan tidak ada sekolah yang tidak menggunakan LKS. Setiap hari siswa mengerjakan tugas lewat LKS. Sementara buku acuan utama yaitu buku paket dan buku pendamping jarang digunakan.

LKS Mematikan Kreativitas

Walaupun ada dana BOS, pihak sekolah tetap saja menarik uang pembelian LKS. Berdasarkan temuan ICW banyak sekolah yang mengadakan pungutan yang tidak wajar. Riset tersebut dilakukan terhadap sejumlah Sekolah Dasar Negeri di kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Bau-bau, Kota Makasar, Kota Manado, Kota Banjarmasin, Kota Padang, Kota Jakarta, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tangerang. Data ICW menyebutkan selama tahun 2006, sebanyak 2.283 orang tua murid menyatakan dipungut biaya Lembar Kerja Siswa (LKS) dan buku paket rata-rata sebesar Rp 98.050,00. Selain itu temuan di lapangan menunjukkan ada penerbit dan oknum tertentu yang "memaksakan" buku LKS terbitannya untuk dipakai siswa. Modusnya mirip dengan praktik penjualan LKS di kota Solo, sebagaimana liputan Solopos, Senin, 02 Juni 2008.

Penulis berkeyakinan, sepanjang LKS masih dijadikan sebagai ajang bisnis, dapat dipastikan output pendidikan kualitasnya rendah. Sekolah hanya akan mencetak generasi LKS. Generasi yang menguasai ilmu secara instant. Guru dan siswa tidak kreatif. Inovasi pembelajaran tidak jalan.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satu jalan adalah mata rantai bisnis LKS harus diputuskan. Siapa yang harus melakukan ? Apakah walikota harus mengeluarkan larangan, sebagaimana usulan dari sebagian kalangan masyarakat ?

Menurut penulis, pertama dan utama yang harus memutus mata rantai bisnis LKS adalah komitmen para guru dan pihak sekolah. Guru dan kepala sekolah harus berani menolak dan mengatakan tidak pada LKS. Para guru mestinya paham, LKS yang sesungguhnya adalah lembaran kerja siswa yang dirancang oleh guru yang bersangkutan. Bukan buku yang berlabel LKS.

Dalam era sertifikasi, guru dituntut memiliki kompetensi dan kemampuan menyelenggarakan pembelajaran secara profesional. Salah satu indikatornya, guru mampu menyusun dan merancang kertas kerja yang bisa merangsang siswa agar berpikir dan berdiskusi kemudian melaporkan dan mempresentasika hasil kerjanya di depan kelas dan mempraktekan dalam kehidupan keseharian.

Jangan hanya karena mengejar keuntungan finansial sesaat, guru mengorbankan anak didiknya. Apalagi saat ini kesejahteraan guru sudah lumayan, bila dibandingkan dengan profesi lainnya. Mari kita buka mata, dampak negatif penggunaan LKS. Pada siswa SD, LKS yang mesti dikerjakan secara mandiri di rumah, telah menjadi beban orang tua untuk turut serta mengerjakannya. Pada siswa SMP dan SMA, tugas-tugas LKS telah mengembangkan budaya menyontek. Hanya satu-dua siswa yang mengerjakan LKS, siswa lain beramai-ramai menyalinnya pada pagi hari sebelum mata pelajaran dimulai.

Ketika kurikulum berbasis kompetensi diterapkan di ruang kelas, masa kejayaan LKS mestinya runtuh (S. Prasetyo Utomo, 2008). Ada beberapa sebab. Pertama, tes bersama tak lagi diselenggarakan, karena evaluasi dilakukan guru yang bersangkutan, tidak lagi dibuat tim MGMP. Kedua, bahan ajar dapat diupayakan guru secara kreatif, berasal dari sumber mana pun secara bervariasi. Ketiga, kegiatan belajar-mengajar di ruang kelas memerlukan daya cipta yang lebih leluasa dibandingkan dengan hanya mengerjakan LKS.

Akan tetapi, benarkah LKS akan menghilang dari ruang-ruang kelas dalam kegiatan belajar-mengajar ? Jangan-jangan akan muncul lembar kerja atau buku bahan ajar dalam bentuk lain, yang sengaja diciptakan untuk menggantikan peran LKS ? Bisnis LKS memang menggiurkan.
Bagaimana pendapat Anda ?

Monday, June 2, 2008

KENAIKAN BBM PICU INFLASI SPIRAL

Dimuat Joglosemar, Senin 02 Juni 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Selama memangku jabatan presiden SBY telah tiga kali menaikkan harga BBM. Dua kali pada tahun 2005 dan satu kali tahun 2008. Kenaikan kali ini agak berbeda. Tradisi yang berlaku selama ini bila pemerintah akan menaikan BBM biasanya diumumkan secara mendadak. Bila pun ada rumor hanya beberapa hari saja. Namun kali ini tidak. Wacana kenaikan harga BBM telah digulirkan beberapa pekan sebelumnya. Akibatnya banyak oknum yang tega memperkaya diri sendiri dengan melakukan penimbunan BBM sebanyak-banyaknya.

Di samping itu pemerintah nampak gampang dalam memutuskan BBM naik atau tidak. Tidak ada kejelasan waktu, kapan akan dinaikan. Sempat terlontar BBM dinaikan bulan Juni. Kemudian diralat akan dinaikan akhir Mei. Ternyata BBM naik lebih awal yakni Sabtu, 24 Mei 2008, pukul 00.00 WIB. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, mengumumkan premium yang semula Rp 4.500,00 menjadi Rp 6.000,00 perliter, solar dari Rp 4.300,00 menjadi Rp 5.500,00 perliter dan minyak tanah dari Rp 2.000,00 menjadi Rp 2.500,00 perliter.

Lamanya tarik ulur dalam memutuskan kenaikan harga BBM, telah membuka peluang munculnya aksi gelombang protes dan demo dari kalangan mahasiswa serta elemen masyarakat. Namun rupanya suara mahasiswa dan jeritan masyarakat, khususnya wong cilik tidak digubris sama sekali. Pemerintah memiliki kalkulasi sendiri, bila BBM tidak dinaikan APBN bisa jebol, roda pemerintahan dan pembangunan tidak jalan.

Padahal kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat saat ini berada di bawah titik nadir. Akibatnya bisa ditebak. Saat harga BBM betul-betul naik aksi demo dalam skala besar kembali marak di mana-mana. Sampai berdarah-darah dan menimbulkan korban luka-luka baik dikalangan mahasiswa dan polisi. Sebagaimana terjadi di Universitas Nasional (UNAS) dan berbagai daerah aksi demo berujung bentrok hebat antara mahasiswa dan polisi.

Padahal bila dibandingkan kenaikan BBM sebelumnya, yang pernah mencapai angka di atas 100 persen, kenaikan kali ini relatif lebih kecil hanya sekitar 28,7 persen. Namun mengapa reaksinya demikian besar dan disengkuyung hampir semua lapisan dan komponen masyarakat ? Apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat ?

Prosentase kenaikan BBM memang sepintas hanya di bawah 30 presen. Tetapi perlu diingat sebelum BBM naik, harga pangan dan sembako melambung sangat tinggi. Kenaikan harga komoditas tersebut, dampak dari krisis energi dan pangan yang saat ini sedang melanda dunia. Di sisi lain, pendapatan masyarakat tidak bertambah. Bahkan secara riil pendapatannya semakin berkurang dan tidak sebanding, serta tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang paling minimalis, sekalipun.

Melonjaknya harga yang terjadi secara beruntun dan bertubi-tubi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan hampir disemua komoditas ini, akan memicu laju inflasi. Dari fenomena yang berkembang, tingkat inflasi saat ini nampaknya sulit untuk dikendalikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa memicu terjadinya spiral inflation (spiral inflasi). Yakni inflasi yang menggelinding dan merembet kemana-mana, saling kejar mengejar.

Dampak Kenaikan BBM

Banyak pihak mempridiksi kenaikan BBM kali ini, akan memicu laju inflasi 2008 menembus angka dua digit mencapai di atas 11 persen. Menurut, Chatib Basri, inflasi akan bertambah 2,5-3 persen dari posisi inflasi April 2008 yang year on year sudah mencapai 8,96 persen, menjadi sekitar 11,44 persen. Laju inflasi yang tinggi, tidak hanya dialami Indonesia, namun telah menjadi tred ekonomi global. Direktur Pelaksana IMF Domonique Stauss-Kahn mengatakan, inflasi menjadi ancaman tambahan bagi dunia, di samping resesi ekonomi.

Penambahan inflasi 2,5-3 persen diperkirakan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,1-0,2 persen, pertumbuhan ekonomi menjadi 5,8 hingga 5,9 persen. Padahal pemerintah mentarget APBN-P 2008 pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen. Turunnya pertumbuhan ekonomi otomatis menambah jumlah pengangguran.

Peneliti dari Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Reforminer Institute, sebagaimana dilansir Antara News, menghitung kemungkinan penambahan pengangguran per tahun bisa mencapai 16,92 persen. Salah satu penyebab membengkaknya jumlah pengangguran adalah faktor kenaikan harga solar.

Karena solar merupakan komponen penting dalam menjalankan industri baik dalam skala mikro, kecil, menengah dan besar. Dengan BBM naik 10 persen saja, dampak inflasi mencapai lebih dari delapan persen, pengangguran mencapai 5,6 persen. Bisa dibayangkan bila BBM naik 30 persen, maka pengangguran bisa meningkat 24 lipat.

Dapat dipastikan bila jumlah pengangguran meningkat, dengan sendirinya jumlah penduduk miskin juga meningkat. Kerawanan sosial dan kriminalitas pun juga cenderung akan mengalami peningkatan. Antisipasi menanggulangi masalah dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu per bulan, bukan suatu penyelesaian yang bijaksana dan mendidik.

Karena pengucuran BLT hanya bermain pada tataran perbaikan sementara. Perbaikan daya beli sebagian rakyat, mestinya dilakukan dengan penataan sistem yang bisa menggerakkan perkembangan sektor riil agar bisa berjalan normal. Misalnya dengan membuka lapangan kerja bagi masyarakat, melalui program padat karya. Serta memperbaiki iklim usaha yang kondusif bagi investor domestik maupun asing.

Melihat pengalaman sebelumnya pelaksanaan BLT banyak menimbulkan masalah akibat ketidakakuratan aparatur pemerintah dalam melakukan pendataan bagi mereka yang benar-benar harus dibantu. Hal ini pun nampaknya akan terulang kembali, karena acuan pembagian BLT masih menggunakan data BPS tahun 2005, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kondisi terkini.

Langkah Antisipasi

Mencengah terjadinya spiral inflation sangat penting. Menurut Ernest Hemingway, bahwa selain peperangan, inflasi adalah cara lain untuk menghancurkan suatu bangsa (M. Ikhsan Modjo, 2008). Alasannya, inflasi akan menggerogoti daya beli dan memiskinkan masyarakat. Inflasi juga mengakibatkan transfer kekayaan dari rakyat berpendapatan tetap, yang biasa hidup papa dan merana, ke pemerintah dan golongan kaya secara diam-diam dan tidak kasatmata.

Kesemua ini pada akhirnya berujung pada keraguan, ketidakpastian, serta ketidakpercayaan. Konsumen menjadi ragu antara menabung atau mengonsumsi. Pengusaha menjadi tidak pasti berinvestasi dan memulai usaha. Masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah atau sesama. Kondisi yang demikian akan berakibat buruk, bukan hanya pada perekonomian, tetapi juga dinamika dan modal sosial suatu bangsa.

Agar dampak kenaikan BBM tidak meluas menjadi bencana bagi perekonomian nasional serta memicu persoalan dan gejolak sosial yang lebih besar yang dapat membahayakan integritas berbangsa dan bernegara. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis mengantisipasi laju inflasi. Dintaranya menjamin tersedianya kebutuhan sembako, pangan, BBM di masyarakat. Menindak dengan tegas oknum yang melakukan penimbunan barang.

Serta pemerintahan SBY-JK berfokus pada penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tidak hanya disibukan ritual tebar pesona, sekedar meraih simpati dan sensasi semata. Bukankah demikian ?

Bagaimana pendapat Anda ?

Wednesday, May 14, 2008

PIDATO SBY ISYARAT KENAIKAN HARGA BBM ?

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Progdi Akuntansi dan MM Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta

Dimuat Solopos, Sabtu 03 Mei 2008

Dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan bahwa tahun 2008 tidak akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal itu dinyatakan saat harga BBM internasional mulai merangkak naik, namun belum sampai menembus angka US $ 100 perbarel. Namun nampaknya janji tersebut sangat sulit dipertahankan, mengingat saat ini harga BBM telah menembus angka US $ 114 perbarel.

Harga BBM terus meroket dan sulit dikendalikan. Seiring terjadinya gejolak krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat, yang menyebabkan merosotnya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap mata uang dunia lainnya. Setiap kali dolar jatuh satu persen, harga minyak naik US $ 4 per barel. Sebaliknya saat dolar menguat 10 persen, harga minyak akan turun 40 persen.

Presiden OPEC, Chakib Khelil memprediksi harga minyak dunia, hingga akhir tahun 2008, bisa menyentuh angka US $ 200 per barel. Sangat fantastis. Tetapi prediksi tersebut, tentunya tidak ngawur, pasti sudah melalui perhitungan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Aneh sebagian besar para petinggi negari, belum mampu menangkap signal ini. Sense of ciris nya masih rendah. Sebagai contoh, Direktur Perencanaan Makro Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Prijambodo, menyangsikan hal itu sebagaimana dilansir Koran Tempo, 1 Mei 2008. “Memang harga sulit diprediksi, tapi kalau sampai setinggi itu, kelihatannya tidak mungkin “, ungkapnya.

Dalam kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu ini, SBY nampak mulai gamang dan menghadapi persoalan yang sangat dilematis. Bila harga BBM tidak dinaikkan APBN 2008 bisa jebol. Namun bila harga BBM dinaikan pasti akan timbul gejolak di masyarakat. Dalam kalkulasi, Bambang Soesatyo, Ketua Komite Tetap Bidang Moneter dan Fiskal Kadin Indonesia, setiap kenaikkan BBM sampai US $ 5 perbarel, beban subsidi bertambah Rp 4,2 triliun pada tingkat konsumsi dalam negeri 37 juta kiloliter. Dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) US $ 95 per barel, beban subsidi akan BBM mencapai Rp 130 triliun.

Pemerintah dihadapkan pada dua aternatif pilihan. Membatasi penggunaan atau menaikkan harga. Alternatif pilihan pertama, untuk membatasi pemakaian BBM, pemerintah mewacanakan penggunaan smart card. Namun banyak pihak yang meragukan efektivitas penerapan smart card, karena berpotensi menimbulkan penyimpangan dalam pelaksanaannya. Di samping itu akan memicu permasalahan sosial yang lebih besar di tengah masyarakat. Sebab dengan pembatasan penggunaan BBM, muncul black market. Bila ini terjadi harga BBM menjadi kacau dan tidak pasti, karena dipermainkan para spekulan.

Dalam kondisi seperti ini mestinya pemerintah harus berpikir realistis dan rasional. Harus mengambil sikap yang bijak, namun tegas, yaitu berani menaikkan harga BBM secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan dan daya beli masyarakat. Karena kalau pemerintah terus menunda dan mengulur waktu, sambil berharap harga BBM dunia turun, sama halnya pemerintah sedang menyimpan bom waktu.

Dapat dipastikan trend harga BBM terus akan melambung. Kita pun sadar bahwa, krisis energi tidak hanya melanda Indonesia, namun telah menjadi krisis global. Sehingga pemerintah tidak perlu malu-malu bila akan menaikkan harga BBM. Apabila sebagaian masyarakat, khususnya dunia usaha bisa memahami kondisi ini. Kebijakan menaikan harga BBM, dari kacamata politis, memang tidak populer. Tetapi bila pemerintah tidak mengambil sikap bisa menjadi bumerang terhadap perekonomian nasional. Bisa mengganggu terhadap kelangsungan dunia usaha.

Sampai-sampai para pengusaha ngotot minta BBM dinaikkan (Solopos, 29 April 2008). Dalam pengamatan penulis, sikap ngotot pengusaha tersebut merupakan sejarah baru dan yang pertama kali terjadi. Sebab biasanya pengusaha keberatan bahkan menolak mati-matian terhadap setiap rencana kenaikkan harga BBM. Namun kini yang terjadi justru sebaliknya, mereka terus mendesak pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Langkah ini dilakukan, karena para pengusaha ingin mendapat kepastian terhadap penghitungan komponen biaya produksi.

Kenaikan Tinggal Tunggu Waktu

Saat penulis menyimak pidato presiden SBY, Rabu malam (30 April 2008) di layar TV. Penulis menangkap pidato tersebut, sebagai warning pemerintah untuk mencari pembenar menaikkan harga BBM. Coba kita rasakan dan simak baik-baik. Dalam pidato tersebut presiden SBY, berulang kali SBY meminta pengertian dan meminta dukungan masyarakat, terhadap kebijakan dan langkah-langkah pemerintah dalam menghadapi krisis pangan dan krisis energi.

Memang secara ekspilist tidak disebutkan bahwa pemerintah akan menaikan harga BBM. Tetapi ada semacam sasmita, bahwa pemerintah berencana menaikan harga BBM. Hal ini diperkuat dengan berbagai pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang telah menyiapkan skenario ke arah sana. Berdasarkan rumor dan dokumen yang beredar di kalangan anggota DPR, per 1 Juni 2008, pemerintah berencana menaikkan BBM bersubsidi rata-rata sebesar 28,7 persen (Sindo, 1 Mei 2008).

Skenario kenaikan harga mencakup tiga jenis BBM bersubsidi, yakni premium naik Rp 1.500,00 (33,33 %) menjadi Rp 6.000,00 per liter dari sebelumnya Rp 4.500,00. Solar naik Rp 1.200,00 (27,90 %) menjadi Rp 5.500,00 per liter dari harga saat ini Rp 4.300,00. Minyak tanah naik 25 % dari Rp 2.000,00 per liter menjadi Rp 2.500,00 per liter. Kenaikkan ini diperkirakan berpotensi bisa menghemat anggaran hingga Rp 21,491 triliun.

Dampak Kenaikan BBM

Tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini 3,7% turun dari proyeksi Januari 4,1%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi AS hanya 0,5% tahun ini, turun dari proyeksi awal tahun 1,5%.

Perekonomian Uni Eropa menjadi 1,3% pada 2008, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di 1,6%. Jepang, perekonomian kedua terbesar di dunia, hanya tumbuh 1,4% pada 2008 lebih rendah dari proyeksi Januari 1,5%, sedangkan China masih akan tumbuh 9,3% tahun ini. Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan perekonomian negara di Asia tumbuh 7,6% pada 2008 dan 7,8% pada 2009. Asia mengalami pertumbuhan paling pesat selama dua dekade terakhir pada 2007 dengan rata-rata pertumbuhan 8,7%.

Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia ? Pemerintah dalam RAPBN-P 2008 melakukan perubahan terhadap parameter BBM, yakni mengurangi volume konsumsi BBM dari 39 juta kiloliter menjadi 35,5 juta kiloliter. Selain itu, perubahan parameter BBM juga terjadi dalam Alpha BBM, yakni dari 13,5% (APBN 2008) menjadi 12,5 % (APBN-P 2008). Kondisi makro perekonomian Indonesia dan sektor riil akan terimbas. Inflasi meningkat dan pertumbuhan melambat. Pertumbuhan sektor riil diperkirakan hanya tumbuh antara 5,6-6,1 persen. Rendahnya pertumbuhan berimplikasi pada semakin meningkatnya jumlah pengangguran.

Solusi ke luar dari krisis

Presiden SBY mengakui, masalah yang dihadapi pemerintah saat ini sangat berat. Namun presiden optimis dibalik krisis minyak dan pangan, ada secercah peluang dan berkah bagi bangsa Indonesia. Sepanjang bangsa Indonesia mau memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Diantaranya melalui penghematan penggunaan energi diberbagai aktivitas. “ Bangsa Indonesia tergolong bangsa yang boros. Saya menginstruksikan kepada seluruh kantor dan instansi pemerintah untuk menghemat BBM dan listrik. Termasuk membatasi penggunaan AC, kendaraan dinas, dan kendaraan pribadi, " ungkapnya.
Himbuan tersebut mestinya tidak sekedar menjadi lip service. Dari tingkatan pejabat atas sampai bawah harus berada di garis depan memberikan contoh dan keteladan. Bila bangsa Indonesia memiliki komitmen dan integritas, penulis yakin masa depan bangsa Indonesia akan cerah.

Dua puluh tahun ke depan, seandainya krisis energi kembali melanda dunia, bangsa kita akan merasakan berkah seperti pada tahun 1970-an. Mengapa demikian ? Karena sumber daya alam (SDA) kita masih sangat kaya dan belum dieksplorasi secara optimal. Dari hasil survei BPPT bersama Bundesanspalp fur Geowissnschaften und Rohftoffe (BGR Jerman), telah diketamukan migas di perut bumi kawasan perairan timur laut Pulau Simeuleu, Provinsi Aceh. Jumlahnya sungguh fantastis; 107,5 hingga 320,79 miliar barel. Melebihi jumlah energi BBM yang dimiliki oleh Arab Saudi saat ini. Namun, hal itu akan terwujud dan tidak sekedar menjadi impian, bila bangsa Indonesia mampu mengelolanya.

Bukankah demikian ?

Saturday, April 19, 2008

MENYOAL RENCANA KENAIKKAN TARIF AIR MINUM


Artikel dimuat Solopos, 15 April 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Rencana Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surakarta untuk menaikkan tarif air minum yang dilontarkan pekan lalu lewat media masa mendapatkan reaksi penolakan yang cukup keras dari anggota dewan dan elemen masyarakat. Umumnya masyarakat menuntut sebelum tarif dinaikkan, PDAM harus lebih dahulu meningkatkan pelayanannya. Masyarakat sering mengeluhkan pelayanan PDAM belum optimal, khususnya dalam penyediaan air bersih. Disebagian wilayah pasokan sering ngadat dan airnya sangat keruh serta berbau. Hal ini didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota (DKK) yang menyimpulkan bahwa 39,79 % air yang disalurkan PDAM tak layak konsumsi (Solopos, 11 April 2008).

Namun nampaknya, penyebab penolakan tidak hanya semata-mata masalah pelayanan PDAM terhadap masyarakat. Menurut pengamatan penulis faktor makro ekonomi dan kondisi psikologis masyarakat juga sangat mempengaruhi. Kondisi perekonomian nasional yang nampak lesu dan melemah dan lonjakan kenaikkan harga sembako, BBM, listrik, transportasi telah berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat, khususnya masyarakat bawah. Dalam kondisi yang serba sulit ini, sangatlah wajar bila masyarakat menolak rencana kenaikkan harga tarif air minum, walaupun rencana itu baru sebatas wacana.

Apalagi rencana kenaikkan tarif yang akan diberlakukan cukup tinggi. Menurut Direktur Tehnik PDAM Surakarta, Sudiyanto, tarif air minum yang semula Rp 1.100,00 per meter kubik, akan dinaikkan menjadi Rp 1.750,00 per meter kubik (Solopos, 10 April 2008). Bila dibuat presentase kenaikkannya mencapai sekitar 60 persen. Tentunya ini bukan merupakan angka yang kecil bagi masyarakat.

DIPERSIMPANGAN JALAN

Disisi lain PDAM juga dihadapkan pada persoalan yang hampir sama dan sangat dilematis. Dengan melambungnya harga barang, maka komponen biaya produksi juga mengalami kenaikkan yang cukup signifikan. Agar tetap bisa bertahan dan menjalankan kegiatan operasional, PDAM harus menyesuaikan diri, salah satu alternatif yang paling gampang adalah menaikkan tarif.

Memang PDAM sebagai salah satu BUMD perannya di era otonomi daerah saat ini sangat berat dan ambigu. Menyandang peran ganda yang kontradiktif. Di satu sisi dituntut menjadi public service yang berorientasi sosial, namun di sisi lain sebagai perusahaan yang pengelolaan asetnya dipisahkan, harus bisa menjadi perusahaan layaknya organisasi bisnis lainnya, kinerja terukur dan dikelola secara profesional. Salah satu indikator ukuran kinerjanya adalah seberapa besar PDAM mampu berkontribusi ke Pendapat Asli Daerah (PDA).


Dalam pengamatan penulis ada tiga persoalan pelik yang saat ini dihadapi PDAM. Pertama, menyangkut Sumber Daya Manusia (SDM), dari segi kuantitas tidak ada masalah, bahkan boleh dikatakan jumlahnya terlalu banyak, namun mereka umumnya tidak memiliki ketrampilan dan kompetensi yang memadai, serta etos kerja masih rendah. Dalam melaksanakan pekerjaan cenderung mengandalkan pola kerja yang rutin dan monoton.

Kedua, menyangkut aspek menejerial. Pola manajemen yang digunakan sebagian besar masih pola manajemen tradisional yang birokratis. Hal ini wajar, karena tata pola kerja BUMD mengacu kepada Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU Nomor 6 tahun 1969. Semangat dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa direksi dan mayoritas pegawai PDAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi pemerintah daerah, sehingga pengelolaan BUMD dalam prakteknya mirip dengan pengelolaan lembaga birokrasi. Akibatnya, dalam banyak kasus, manajemen BUMD kurang memiliki independensi dan fleksibilitas untuk melakukan inovasi usaha guna mencapai tujuan organisasinya.

Ketiga, menyangkut penghitungan dan penentuan tarif. Menghitung dan menentukan tarif merupakan masalah yang sangat komplek, karena tidak hanya mendasarkan pada perhitungan secara ekonomi, namun juga mempertimbangkan aspek sosial dan politis. Umumnya tarif air minum yang ditetapkan PDAM di Indonesia saat ini lebih rendah dari biaya produksi.

PENENTUAN TARIF

Masalah penetapan besaran tarif air sering menjadi komoditas politis bagi kalangan legislatif, LSM, dan elemen masyarakat lainnya, yang sering kali mengganjal dan menolak kenaikkan dengan alasan membela rakyat, tanpa melakukan kajian secara mendalam. Padahal bila kita jeli dan kritis menganalisis melarang PDAM menaikkan tarif, menurut pendapat, Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Eko Subowo, sama saja kita hanya membela kelompok masyarakat mampu (baca: kaya). Kelompok masyarakat yang belum terjangkau pelayanan (baca: miskin), justru tidak menikmati subsidi sama sekali. Setiap hari mereka membeli air minum dengan harga Rp 500,00 hingga Rp 2000,00 perjerigen, yang berarti 50 kali lebih mahal dari tarif PDAM.

Menghitung tarif air minum memang tidak mudah, ada beberapa model pendekatan. Umumnya PDAM di Indonesia dalam menghitung tarif mengacu kepada Permendagri No. 23 tahun 2006 yang menggunakan pendekatan full cost recovery. Prinsip ini mengandung misi bahwa PDAM diharapkan mampu menghasilkan pendapatan tarif yang nilai minimalnya dapat menutupi seluruh biaya operasional (biaya penuh). Dengan ketentuan pendapatan minimal tersebut, PDAM diharapkan mampu mempertahankan dan meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanannya kepada masyarakat.

Dalam Permendagri juga diatur bahwa penghitungan dan penentuan tarif harus melibatkan stakeholder, diantaranya Pemda, Legislatif, Lembaga Konsumen, dan Perguruan Tinggi. Bila dikomunikasikan dengan baik dan transparan tentunya masyarakat akan bisa memahami dan menerimanya.

Dari sudut pandang akuntansi, metedo full cost sebenarnya terdapat kelemahan diantaranya metode ini tidak bisa dengan tepat menelusuri biaya apa saja yang seharusnya ditanggung oleh konsumen. Akibatnya bila terjadi ketidak efisienan dalam pengelolaan menjadi beban konsumen. Di samping itu metode ini juga tidak bisa untuk mengukur seberapa baik kinerja manajemen dalam menjalankan kegiatan.

Untuk saat ini metode full cost, merupakan metode yang paling sederhana dan paling gampang dilaksanakan. Namun idealnya penghitungan tarif ke depan, seiring dengan perbaikan pola manajemen dan sistem informasi yang di bangun, seharusnya menggunakan metode ABC (Activity Base Costing).

Lalu bagaimana sebaiknya kita mensikapi rencana kenaikkan tarif tersebut ? Bagaimana pun kita harus rasional dan mensikapinya dengan jernih. Menurut, Viktor Sihite (2007) biaya produksi rata-rata air secara nasional berkisar Rp 1.800,00 per meter kubik, tetapi harga jual rata-rata Rp 1.500,00. Bila kita mengacu data di atas sebenarnya rencana PDAM Surakarta menaikkan tarif dari Rp 1.100,00 menjadi Rp 1.750,00 masih tergolong wajar. Persoalannya adalah kenapa kenaikkannya langsung secara dratis ? Tidak bertahap ? Di saat hampir semua harga komoditas barang melambung tinggi.

Bila akhirnya PDAM bersikukuh menaikkan tarif, sebagai konsumen tentunya kita pun berhak meminta komitmen jajaran PDAM Surakarta untuk meningkatkan pelayanan dan mengelola PDAM secara sehat, transparan, akuntabel dan profesional. Bukankah demikian ? Bagaimana pendapat Anda ?


Monday, January 21, 2008

SEMINAR PENDIDIKAN PONPES AL MUKMIN

dimuat harian Solopos, 22 Januari 2008

Kamis, 17 Januari 2008, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, bertempat di Gedung Mahad Aly, Komplek Ponpes Al Mukmin, menyelenggarakan seminar pendidikan dengan mengangkat tema: " Membangun Sumber Daya Insani untuk Mewujudkan Lembaga Islam yang Berkualitas". Seminar diikuti oleh para ustadz dan ustadzah dilingkungan ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo. Acara seminar dibuka oleh Direktur Ponpes Al Mukmin, Ustadz KH. Wahyudin.

Dalam kata sambutannya beliau menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran metode lebih penting daripada materi, namun ada yang lebih penting lagi daripada metode yaitu faktor manusia atau guru. Untuk itu diharapkan agar para ustadz dan ustandzah mau untuk membuka diri terhadap perubahan. Seluruh upaya untuk memperbaiki pendidikan dan pembelajaran kesemuanya harus bermuara pada nilai-nilai agama yaitu Al Quran dan Sunah Nabi.

Tampil sebagai pembicara adalah Dekan FKIP UNS, Prof.Dr. H. Furqon Hidayatulloh, Ph.D menyampaikan materi " Profil dan Ciri-ciri Lembaga Pendidikan Islam yang Berkualitas " dan Staf Pengajar Pasca Sarjana MM dan Progdi Akuntansi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, menyampaikan materi " Membangun Sumber Daya Insani Unggul ".

Solo, 18 Januari 2008
Realese disampaikan oleh

Drs. Suharno, MM, Akuntan
Hp. 0813. 295. 117. 45

Friday, January 18, 2008

GONJANG-GANJING TAHU TEMPE PEMERINTAH TERJEBAK STRATEGI DAGANG AS

Artikel dimuat di harian Solopos, Sabtu, 19 Januari 2008

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Magister Manajemen dan Progdi Akuntansi
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Tahu-tahu tempe, tahu-tahu tempe
asale mung saka dele tur enak rasane,
kabeh-kabeh mbutuhake jalaran murah regane

Itulah sepenggal bait tembang dolanan yang dulu pernah popular dan sering didendangkan masyarakat pada era tahun 70 an. Lagu tersebut berjudul Tahu-tempe. Kini tahu-tempe kembali menjadi buah bibir masyarakat, namun dalam konteks yang berbeda. Dalam sepekan terakhir tahu-tempe naik pamor kembali, pemberitaan di media cetak dan elektronik sangat gencar, seolah bersaing dengan pemberitaan kondisi kritis kesehatan pak Harto.

Pemberitaan ini mencuat, karena tahu-tempe tiba-tiba hilang dari peredaran. Apabila ada bakul yang menjual ukuran pun telah mengalami penyusutan, lebih kecil dari biasanya. Kalau pun ukurannya tetap harganya naik sekitar 50 persen. Sehingga syair lagu di atas, bila sekarang akan didendangkan syairnya harus dirubah tidak lagi, murah regane (murah harganya), namun larang regane (mahal harganya).

Mengapa tahu-tempe menghilang dari pasar ? Tentunya kita semua sudah tahu jawabannya. Kenaikkan atau kelangkaan tahu-tempe ini karena dipicu kenaikkan harga kedelai di pasaran yang melonjak dua kali lipat. Semula harga per kg kedelai Rp 4000,00 saat ini harga di pasar menembus harga Rp 8.000,00 per kg. Kenaikkan harga kedelai yang tak wajar membuat para pengrajin tahu-tempe menjerit dan kalang kabut. Bahkan tidak sedikit yang gulung tikar. Sebab mereka tidak mungkin untuk menaikkan harga jual tahu-tempe sebanding dengan kenaikkan harga kedelai. Kalau pun harganya dipaksakan ikut naik, pasti tidak laku. Karena umumnya konsumen tahu-tempe adalah masyarakat menengah bawah. Mereka sangat sensitif terhadap kenaikkan harga komoditas kebutuhan sehari-hari.

Reaktif dan Parsial

Unjuk rasa dan demo pun merebak diberbagai daerah menuntut pemerintah segera turun tangan menangani masalah ini. Karena sudah tidak lagi mampu menanggung derita, puncak kekesalan para pengrajin tahu-tempe diekspresikan dengan berdemo di depan Istana Negara. Jurus ini nampaknya, cukup manjur. Terbukti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya cawe-cawe turun tangan merespons tuntutan mereka.

Secara khusus SBY menggelar rapat sidang kabinet terbatas membahas kenaikkan dan kelengkaan kedelai. SBY meminta para menteri, pelaku usaha dan lembaga negara terkait dengan perdagangan kedelai untuk segera mencari alternatif sumber impor (Solopos, 16 Januari 2008). Di samping itu sebelumnya Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memutuskan menurunkan bea masuk impor dari 10 persen menjadi 0 persen. Ada juga imbuan kepada pihak swasta maupun BUMN untuk menggalakkan penanaman kedelai di tanah air.

Cukupkah imbuan-imbuan tersebut menyelesaikan permasalahan kenaikan harga dan kelangkaan kedelai di tanah air ?

Sikap dan kebijakan pemerintah yang demikian menurut hemat penulis baru sebatas lip service dan tindakan retorika politis pragmatis semata. Penulis yakin langkah diambil tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan membuat masalah baru. Kebijakan menurunkan bea masuk impor sampai nol persen misalnya, justru mendorong para spekulan berlomba-lomba mengimpor kedelai untuk ditimbun di gudang, dan akan melempar ke pasar bila harga sudah melangit.

Nampaknya pemerintah tidak memiliki grand design yang jelas dan sistimatis dalam menangani permasalahan ini. Mestinya pemerintah mencari akar permasalahan. Bukan bertindak reaktif dan parsial. Bila kita mau menengok kebelakang, sumber utama munculnya kelangkaan dan kenaikkan harga kedelai sebenarnya berpangkal dari kesalahan pengambil kebijakan pemerintah pada masa silam.

Kronologis Permasalahan

Mari kita lihat kronologisnya. Tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang membebaskan petani menanam dan mengembangkan komoditas yang mereka sukai. Akibatnya banyak petani yang beralih menanam kedelai, jagung, ubi jalar, kacang tanah, dan tanaman palawija yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.

Dampaknya sejak tahun 1992 luas areal tanaman kedelai terus berkurang. Semula tahun 1992 luas panen kedelai lokal bisa mencapai 1.665.706 hektar, sembilan tahun kemudian, tahun 2001 turun tinggal menjadi 723.029 hektar. Empat tahun kemudian, pada tahun 2005 luas panen turun lagi menjadi 621.541 hektar. Tahun 2006 menjadi 580.534 hektar dan tahun 2007 menjadi 456.824 hektar atau tinggal 27,4 persen dari luas panen 1992.

Sementara itu bila mengacu data Biro Pusat Statistik (BPS) produksi kedelai 2006 mencapai 747.611 ton dan pada 2007 turun menjadi 608.263 ton. Sedangkan impor kedelai justru naik sebesar 6,7 persen. Kenaikkan impor kedelai mulai nampak sejak tahun 1998, saat pemerintah menerapkan kebijakan membuka kran impor kedelai. Tercatat tahun 1998 pemerintah mengimpor kedelai 394 ton. Tahun 1999 melonjak menjadi 1,3 juta ton. Sejak 2000-2006 rata-rata impor kedelai yang sebagian besar dari Amerika Serikat (AS) mencapai 1,2 juta ton tiap tahunnya.

Ini memang kondisi paradok. Di saat hasil panen kedelai lokal terus merosot, pada tahun 2000 produksi kedelai AS melimpah ruah. Pemerintah AS pun kewalahan menampung panen kedelai dari petani. Untuk menjaga insentif harga bagi petaninya, pemerintah AS melalui United State Departement of Agriculture (USDA) pada tahun 2000 meluncurkan kredit ekspor sebesar 12 juta dollar AS dan tahun 2001 ditingkatkan lagi menjadi 750 juta dollar AS. Fasilitas kredit yang demikian besar itu diberikan khusus kepada importer kedelai dari Indonesia (Kompas, 16 Januari 2008).

Bak mendapat durian runtuh, para importir kedelai dari Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan, mereka berlomba memanfaatkan fasilitas tersebut. Importir mulai mendatangkan kedelai dari AS dalam jumlah besar ke Indonesia. Pasar merespons sangat positif, karena harganya lebih murah dan kualitasnya lebih bagus bila disbanding dengan kedelai lokal. Harga kedelai lokal Rp 2.500,00 per kg, sedangkan harga kedelai impor hanya Rp 1.950,00 per kg.

Kebijakan pemerintah AS tersebut sekilas nampaknya manis dan sangat menguntungkan bagi Indonesia. Namun sebenarnya AS telah memasang perangkap. Umpan fasilitas kredit ekspor senilai ratusan juta dollar. Perangkap maut itu akhirnya memakan korban. Kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor. Petani mulai meninggalkan tanam kedelai. Mereka berpaling pada komoditas yang lebih menguntungkan, seperti jagung dan palawija. Produksi kedelai nasional pun terus menurun. Padahal tahun 1992 Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai dengan produksi sekitar 1,8 juta ton.

Di saat ketergantungan terhadap kedelai impor sangat tinggi. Sekitar 70 persen kedelai Indonesia dipasok AS. Petani AS mulai selingkuh, mereka berpaling dan beralih menanam jagung, karena lebih menguntungkan. Peralihan komoditas ini dipicu oleh kebijakan pemerintah AS yang mulai mengembangkan energi alternatif bahan bakar nabati, dengan mengembangkan etanol berbasis jagung. Akibatnya produksi kedelai AS menjadi turun

Sesuai dengan kaidah hukum ekonomi, bila penawaran berkurang padahal permintaan tetap, maka harga pun akan melambung. Tidak itu saja, melambungnya harga kedelai juga dipicu oleh lonjakan harga minyak sawit mentah yang mendorong tingginya harga minyak goreng dunia, sehingga sebagian produksi kedelai juga dialokasikan untuk bahan baku minyak goreng. Kedelai pun semakin langka. Harganya pun semakin tidak terkendali.

Nasib pengrajin tahu-tempe, memang sedang apes, mirip pepatah mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula ! Namun kita tidak perlu patah arang, seperti kata Bung Karno, “ Kita adalah bangsa besar, kita bukan bangsa tempe ? “ Bagaimana pendapat Anda ?

Tuesday, January 1, 2008

MALL PRAKTEK KOPERASI SILUMAN BERWATAK KAPITALIS

Artikel dimuat di Tabloid Retal, Edisi III, Nopember 2007

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen dan Ketua Pengawas Koperasi Universtas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Mencuatnya kasus dugaan penggelapan dana masyarakat dan penyimpangan pengelolaan koperasi diwilayah hukum Surakarta awal bulan September merupakan cerminan fenomena puncak gunung es. Kejadian mal praktek tersebut nampaknya tidak hanya terjadi di Koperasi Manunggal Utama Karya dan Manunggal Sejati saja. Namun juga terjadi di banyak koperasi yang lain. Hanya saja kebetulan, saat ini yang terekspose ke media massa baru kedua koperasi tersebut.

Kenapa saya berani mengatakan demikian ? Coba kita amati dan cermati. Betapa pesatnya pertumbuhan jumlah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dalam dua tahun terakhir ini. Bak cendawan di musim hujan. Hampir disetiap ruas jalan di kota Solo berdiri KSP. Menurut data resmi dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (UKM) Solo, selama paruh tahun 2005 saja, pertumbuhan KSP telah mencapai 5 %.

Namun anehnya mereka mampu menguasai 50 % asset dan omzet dari keseluruhan jenis koperasi yang ada. Dari sini saja sebenarnya kita sudah bisa menduga. Pasti ada yang tidak beres. Bila pertumbuhan 5 % menguasai 50 % omzet dari seluruh koperasi yang ada, maka dapat dipastikan, KSP-KSP baru tersebut diback up oleh kalangan pemodal besar (kaum kapitalis).

Bila kita tidak jeli mengamati, sekilas tampaknya perkembangan ini sangat mengembirakan dan positif. Seolah-olah kesadaran masyarakat berkoperasi telah meningkat. Padahal anggapan tersebut tidak seluruhnya benar. Malah pantas kita curigai, karena pertumbuhannya nampak tidak wajar. Sebab yang banyak bermunculan hanya KSP, selain KSP pada saat yang bersamaan banyak koperasi yang justru gulung tikar.

Sejak awal sebenarnya saya telah menyarankan agar pertambahan jumlah KSP diwaspadai dan terus dimonitor secara pro aktif oleh seluruh elemen masyarakat. Utamanya Dinas Koperasi sebagai pihak yang paling kompeten. Karena ada sinyalemen yang cukup kuat. Pendirian KSP dilakukan oleh para pemodal besar. Bukan dari anggota untuk anggota. Bukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Tetapi hanya digunakan sebagai alat kepentingan pribadi untuk meraup keuntungan semata.

KOPERASI SILUMAN

Koperasi hanya dijadikan topeng atau kedok dan digunakan untuk berlindung dari urusan legitimasi dan regulasi. Koperasi semacam inilah yang populer disebut sebagai ” Koperasi Siluman ”. Wadahnya koperasi namun ruhnya kapitalisme. Tidak memiliki jati diri sebagai koperasi yang sesungguhnya.

Mengapa muncul banyak koperasi siluman ? Karena untuk mendirikan KSP syarat dan prosedurnya sangat mudah. Cukup mengumpulkan nama dan foto copy 20 orang sebagai anggota pendiri dan mengumpulkan modal Rp 15 juta sudah bisa mendirikan koperasi primer. Peluang inilah yang dimanfaatkan dan ditangkap para pemilik modal besar untuk memutarkan modalnya. Mereka lebih suka memilih mendirikan KSP dibandingkan mendirikan bank, karena tiga alasan.

Pertama, mendirikan koperasi lebih mudah dan sangat sederhana. Masih ditambah sering mendapat fasilitas kemudahan dari pemerintah. Misalnya dalam hal: persyaratan, prosedur, permodalan dan aspek perpajakan lebih ringan serta tidak begitu njlimet bila dibandingkan mendirikan bank.

Kedua, mendirikan KSP profit marginnya lebih besar bila dibandingkan dengan deposito di bank. Deposito tingkat bunganya saat ini hanya berkisar 9 % pertahun. Bila diputar di KSP bisa mendapat bunga minimal 24 % pertahun.

Ketiga, pasar KSP sangat potensial dan prospeknya lebih menjanjikan, karena membidik dan melayani segmen masyarakat menengah ke bawah. Apalagi saat ini kondisi perekonomian yang masih lesu, akibatnya banyak masyarakat kesulitan memperoleh modal segar. Pilihan pintas untuk memperoleh moda adalah KSP. Mudah persyaratannya, tidak berbelit-belit dan cepat pelayanannya.

Tidak aneh bila akhirnya orang berlomba-lomba mendirikan KSP. Walaupun mereka tidak memahami visi dan missi KSP. Ironisnya tindakannya justru berseberangan dan berlawanan dengan asas dan semangat koperasi. Sebagaimana yang diimpikan dan diidamkan oleh Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta. Dan diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33.

Seandainya Bung Hatta masih hidup pastilah beliau akan prihatin dan mungkin malah menangis melihat KSP yang menjamur saat ini. Sebab dalam kegiatan operasional banyak KSP yang berpraktik seperti lembaga perbankan. Kegiatan tersebut jelas-jelas melanggar ketentuan perundang-undang, khususnya UU No 07/1992, tentang perbankan. Dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa ijin diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 10 milyar.

Dengan tegas dan jelas disebutkan pula, salah satu lembaga yang tidak boleh menghimpun dana langsung dari masyarakat adalah koperasi. Sebagaimana diatur dalam ayat (2) sebagai berikut: dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau KOPERASI.

Bila ketentuan tersebut dilanggar maka sanksi atau hukuman dapat dijatuhkan pada mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

KESANNYA DIDIAMKAN

Selain melanggar undang-undang perbankan, bertindak sebagai bank gelap, KSP yang model begini sering kali mengenakan bunga yang mencekik. Tidak ubahnya seperti renteneir. Namun kesannya apa yang dilakukan oleh KSP ” nakal ” ini didiamkan oleh pemerintah, khususnya Dinas Koperasi. Aparat berwajib pun baru bertindak bila kasus mencuat telah kepermukaan.

Pertanyaannya siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan dan tugas untuk mencegah dan menindak penyimpangan ini ? Menurut pendapat saya, Dinas Koperasi lah yang memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Sebab dari sanalah ijin operasional KSP dikeluarkan.

Namun selama ini Dinas Koperasi dalam mengeluarkan ijin operasional KSP hanya sekedar menyandarkan kepada terpenuhinya persyaratan dan prosedur administratif normatif. Cenderung formalitas. Tanpa melakukan verifikasi lapangan yang memadai, menyangkut kebenaran validitas nama-nama anggota yang diajukan dan sumber modal yang digunakan. Hanya sebatas ada tidaknya foto copy KTP.

Tugas pembinaan rutin yang dilakukan sering kali baru sebatas pendataan jumlah koperasi dan pelatihan-pelatihan yang bersifat proyek. Ke depannya Dinas Koperasi mestinya lebih pro aktif dan sensitif dalam melakukan memonitoring. Bila tidak, maka dapat dipastikan semakin banyak korban yang berjatuhan. Dampaknya citra koperasi pun akan semakin terpuruk di tengah masyarakat.

Padahal Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap keberadaan dan perkembangan koperasi di Indonesia. Saat memberikan sambutan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) Ke-58 di Gedung Sate, SBY pernah mengingatkan dan menginstruksikan agar ada upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan koperasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Bila Dinas Koperasi merasa tidak memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap koperasi lalu lembaga mana yang akan melakukannya ? Apakah Bank Indonesia (BI) ? Jelas tidak ! Tugas BI sebagai mana diatur dalam Undang-undang No. 07 tahun 1992 tentang perbankan, pasal 29 ayat 1 adalah sebatas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dunia perbankan.

Kita semua berharap koperasi ke depannya bisa benar-benar menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Soko guru yang kuat dan kokoh. Bukan sekedar soko pelengkap yang gapuk, rapuh dan mudah roboh. Dengan satu syarat, pemerintah tegas melaksanakan law enforcement terhadap perundangan dan peraturan yang berlaku. Bukankah demikian ?

LANGKAH STRATEGIS MEMACU KINERJA PDAM SOLO

Artikel dimuat di Harian Solopos, 26 Nopember 2007

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen dan Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Walikota Solo, Jokowi, bertekad membenahi manajemen Perusahaan Daerah (PD), khususnya Bank Pasar dan PDAM. Menjadi perusahaan yang sehat dan dikelola secara professional. Tidak lagi membebani PAD, namun sebaliknya mampu membukukan keuntungan dan memberikan kontribusi pemasukan bagi PAD.

Tidak tanggung-tanggung, Walikota, secara terbuka menyatakan di media masa, akan menjadikan kinerja Bank Pasar dan PDAM meningkat 10 kali lipat dari kondisi saat ini. Timbul pertanyaan disebagian kalangan masyarakat, mampukah Walikota mewujudkan komitmen dan obesesinya tersebut ? Ataukah pernyataan tersebut hanya sebatas retorika politik ?

Pertanyaan tersebut wajar. Sebab belum lama ini kita dibuat tersentak dengan pernyataan Plth. Direktur Tehnik PDAM Solo, Drs. Sudiyanto, MM, yang menyatakan PDAM mengalami kerugian hingga mencapai senilai Rp 930 juta selama Januari-September tahun 2007. Konon pengelolaan dua kolam renang Tirtomoyo Jebres dan Tirtomoyo Manahan menjadi penyebab utama kerugian.

Akibatnya realisasi target pendapatan PDAM hingga triwulan III tahun 2007 baru mencapai sekitar 40 %. Padahal jumlah uang yang harus disetorkan ke Pemkot senilai Rp 2 miliar. Untuk menutup kerugian tersebut PDAM akan mengintensifkan penagihan tunggakan, dan berharap adanya tambahan pendapatan dari biaya sambungan baru. Ada sekitar 3.000 calon pelanggan yang ditargetkan akan dilayani pada tahun ini dengan biaya pemasangan 1 hingga 1,1 juta/unit. (Solopos, 08 Nopember 2007).


PDAM rugi bukan barang aneh. Hampir semua PDAM di Indonesia mengalami hal yang serupa. Kalaupun membukukan laba tingkat Return on Assets (ROA) umumnya hanya berkisar 3 %. Secara teori perusahaan yang sehat ROA bisa mencapai 10 %. Artinya secara umum kondisi PDAM di Indonesia dalam kondisi yang tidak sehat.

Ada lima faktor yang menjadi penyebab tidak sehatnya perusahaan yang dikelola oleh pemerintah di Indonesia. Pertama, tingkat profitabilitasnya rendah, Kedua, cara usahanya terkotak-kotak dan diwarnai usaha birokratis, Ketiga, tidak berorientasi pasar, kualitas dan kinerja usaha, Keempat, produktivitas dan utilitas asset masih rendah dan Kelima, pemasaran dan distribusi tidak terkoornir dengan baik.

Sementara itu menurut, Hari S. Malang Joedo (2006), dalam “ Reinventing BUMD, Kunci Sukses Mengembangkan BUMD Produktif dan Profesional “, faktor utama rendahnya kinerja BUMD disebabkan “undermanaged”. Terjadinya kegagalan dalam memahami manajemen secara hakiki. Mencakup sisi paradigma, struktur organisasi, nilai manajemen dan impak yang terjadi.

Paradigma manajemen yang ada disebagian besar BUMD adalah paradigma manajemen yang berorientasi produksi. Manajemen condong berkutat pada masalah tehnik dan produksi. Paradigma ini tercermin dari struktur oganisasi yang production/technical heavy. Berorientasi dan bertumpu pada masalah tehnis dan administrasi. Sementara isu-isu pemasaran dan pengembangan SDM belum mendapatkan posisi yang sama-sama strategis.

Pendekatan yang semacam ini secara langsung mencirikan value (nilai) perusahaan. Nilai perusahaan adalah gen atau pembawa karakter yang menjadi dasar dalam menentukan bagaimana organisasi dan SDM-nya berperilaku. Dengan paradigma dan struktur organisasi seperti di atas biasanya berperilaku manajemen agak arogan take it or lease. Kalau tidak mau ambil silahkan pergi. Impaknya pelayanan publik kurang memuaskan, masih jauh dari harapan masyarakat. Tingkat efisiensinya rendah yang berujung kontribusi laba yang tidak sepadan dengan investasi yang dikeluarkan.

Kembali pada permasalahan di atas. Mampukah manajemen PDAM Solo untuk mencapai target anggaran 2007 ? Dan dalam waktu dua hingga tahun ke depan melipatgandakan kinerjanya hingga 10 kali lipat ?

Dalam kalkulasi penulis agak berat terpenuhinya target anggaran 2007. Karena dalam waktu 2,5 bulan yang tersisa ini, harus ada pemasukan pendapatan sekitar 2,93 miliar. Dengan rincian 930 juta untuk menutup kerugian dan 2 miliar untuk setor ke PAD. Pencapaian angka sebesar itu pun, posisi PDAM baru dalam kondisi titik impas atau BEP (Break Event Point). Belum mampu membukukan keuntungan.

Dalam kondisi yang benar-benar rugi dan dapat dipertanggungjawabkan, menurut hemat penulis PDAM sebenarnya tidak perlu memaksakan diri untuk menyerahkan setoran ke PAD. Penggunaan istilah setoran sebenarnya kurang pas. Sebab dalam kondisi rugi bila dipaksakan setor, maka pada hakikatnya PDAM/PEMKOT sedang “memakan“ asetnya sendiri. Seharusnya yang diserahkan ke PAD bukan setoran. Tetapi besaran prosentase laba yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan. Bila rugi tetap memaksakan diri setor ke PAD, di tengah jalan PDAM akan mengalami kesulitan likuiditas. Ujung-ujungnya pasti akan ngrencoki APBD.

Langkah strategis menuju perubahan

Obsesi Walikota meningkatkan 10 kali lipat kinerja PDAM, sebenarnya bukan sesuatu yang ngoyoworo. Potensi ekonomi dan prospek pasarnya masih sangat terbuka. Dari data website PDAM yang penulis akses ternyata pelanggan PDAM tidak hanya wilayah Solo. Namun juga melayani sebagian wilayah Sukoharjo, Klaten dan Karanganyar.

Pelanggan dari tahun ke tahun terus meningkat. Dari 53 ribu pelanggan didominasi pelanggan rumah tangga katagori 2, sekitar 36 ribu pelanggan. Sayang katagori Niaga 1, 2 yang sangat potensial mendatangkan keuntungan, karena tarifnya lebih mahal, perkembangan dari tahun ke tahun (2002-2005) justru mengalami penurunan. Niaga katagori 1 jumlah pelanggan pada tahun 2002 tercatat 5.387, tahun 2003 turun menjadi 5.386, tahun 2004 turun menjadi 5.200 dan tahun 2005 turun kembali menjadi 5.138.

Sedangkan niaga katagori 2 perkembangannya sebagai berikut. Tahun 2002 (315), tahun 2003 (311), tahun 2004 (309) dan tahun 2005 (306). Padahal saat ini perkembangan dunia bisnis di Solo sedang tumbuh dengan pesat. Di samping itu PDAM, memiliki peluang bisnis untuk melakukan diversifikasi produk yang tidak meninggalkan core bisnisnya. Misalnya membuka pabrik air mineral dalam kemasan yang pasarnya masih sangat terbuka lebar.

Kesemuanya akan terwujud bila Walikota melakukan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk mereformasi PDAM secara fundamental. Dengan menekankan aspek kepemimpinan yang visioner, manajemen yang handal dan professional dan SDM yang kompeten yang bertumpu pada prinsip-prinsip good governance.

Penulis yakin ke depan PDAM Solo akan mampu berperan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus menjadi pelayanan publik yang professional dan mampu berkontribusi positif terhadap PAD. Bagaimanakah pendapat Anda ?

HARAPAN PENEGAKAN HUKUM TAHUN 2008 " HUKUM BERKEADILAN "

Oleh : Prof.Dr. Teguh Prasetyo,S.H.,M.Si.[1]

Tahun 2008 sebentar lagi akan kita jalani, berbagai harapan tentang tatanan kehidupan yang lebih baik tentu muncul di tahun baru tersebut, perbaikan ekonomi, pertumbuhan ekonnomi mikro maupun makro, makin berkurangnya pengangguran, makin tertibnya kehidupan dalam masyarakat dan penegakan hukum yang makin mantap dan adil. Kalau kita cermati sejak reformasi bergulir sekitar 10 tahun yang lalu para tokoh reformasi dan pemerintah telah bertekad mengembalikan supremasi hukum dalam praktek penyelenggaraan negara, langkah ini dianggap tepat karena praktek rezim sebelumnya telah menumbuh suburkan praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang sudah mengakar, sehingga tidak mengherankan kalau berdasarkan survai yang dilakukan oleh Tranparency Internasional, sebuah lembaga swadaya internasional anti korupsi yang bermarkas di Jerman Indonesia termasuk jajaran Negara paling korup di dunia, sebutan yang tidak mengenakkan tetapi realitanya demikian.

Dalam perjalannya, ternyata semangat reformasi yang menggema tidak sanggup memberantas praktek KKN secara tuntas, meskipun kita akui terdapat berbagai kemajuan dalam penegakan hukum. Kemajuan yang telah dicapai dibentuknya lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peradilan anti korupsi (Tipikor), munculnya berbagai lembaga pengawas anti korupsi, berbagai peraturan penanganan korupsi seperti INPRES tentang percepatan penanganan korupsi, banyak pejabat negara mulai bupati, gubernur, mantan menteri, mantan presiden, politisi, birokrat berurusan dengan hukum dan ada yang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Mereka yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa dinon aktifkan sementara dari jabatannya hal ini untuk obyektifitas pemeriksaan Kondisi ini tidak terdapat dalam rezim sebelumnya, kalau ada pejabat yang diguna korupsi penawar hukumnya yang membebaskan dari tuduhan tersebut telah disiapkan yaitu tindakan mereka bukan korupsi tetapi salah prosedur, jadi masuk dalam ranah hukum admistrasi negara bukan hukum pidana.

Kemajuan – kemajuan ini ternyata tidak banyak membawa perubahan yang signifikan sebutan sebagai negara terkorup masih kita sandang, banyak kasus korupsi, illegal logging, money luandring, BLBI yang merugikan keuangan negara trilyun nan rupiah belum bisa ditangani dengan tuntas,bahkan muncul kesan di dalam masyarakat bahwa dalam penanganan tindak pidana korupsi pemerintah terkesan tebang pilih. Penangan yang belum tuntas dalam pemberantasan korupsi tersebut yang menjadikan masyarakat apatis dan menjadi tidak percaya lagi terhadap hukum, kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya kasus korupsi yang dijatuhi pidana ringan bahkan ada pula yang diputus bebas jadi peradilan sulit untuk diprediksi (lact of predictability).

Penegakan Hukum Yang Diharapkan

Ketika kita sudah bertekad melaksanakan supremasi hukum, hukum harus dijadikan panglima yang mampu mengatasi semua permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya penanganan tindak pidana korupsi. Suatu negara yang ingin berhasil melaksanakan pembangunannya salah satu persyaratannya kekuasaan yudikatif yang merdeka, bebas dan tidak memihak, kuat, hanya dengan kekuasaan yudikatif yang powerful, maka semua praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) akan dapat ditekan sehingga korupsi tidak bisa tumbuh subur lagi ditengah – tengah praktek penyelenggaraan negara.

Arah penanganan korupsi harus memakai skala prioritas dan bersifat terbuka (akuntabilitas) dimulai dari penanganan korupsi kelas kakap, penangannya tidak pandang bulu siapa yang terlibat harus diproses dalam hukum, pengadilan nanti yang menentukan salah tidaknya perbuatan mereka. Target dari penanganan tindak pidana korupsi pengembalian kerugian negara yang diakibatkan dari perbuatan korupsi tersebut dan penjatuhan pidana yang berat yang dapat membuat jera bagi yang bersangkutan dan mempengaruhi orang lain untuk tidak berbuat korupsi jadi penanangan korupsi yang tegas bisa berefek represif dan preventif.

Dalam rangka obyektifitas penanganan korupsi tim majelis hakim bisa ditambah dari tiga menjadi lima dengan komposisi tidak semua dari hakim kariel tetapi juga dari hakim nonkariel atau hakim ad hoc, yang jumlahnya lebih banyak dari hakim non kariel. Persoalannya sekarang siapkah para penegak hukum kita memperbaiki citra badan peradilan yang sudah buruk ini?, kalau kita selalu mendasarkan pada teori saja upaya perbaikan citra tersebut terasa sulit karena hanya berangan angan saja, tetapi kalau pola pikir kita (mind set) telah berubah dan bertekad untuk memperbaiki citra, kami yakin tidak begitu lama citra badan peradilan bisa ditingkatkan dan orang bisa menaruh kepercayaan pada badan peradilan itu. Oleh sebab itu penegak hukum sebagai individu dan institusi yang otonom harus mempunyai kemandirian, krieativitas, kearifan, moralitas dalam menjalankan hukum untuk mencapai keadilan.

Membangun Paradikma Hukum Berkeadilan

Hukum dan penegakan hukum diharapkan mampu mengatasi dan mengamputasi persoalan korupsi di Indonesia yang sudah terbilang akut dan kronis. Agar hukum tidak dilecehkan atau dicemooh hukum harus berwibawa artinya hukum dapat menuntaskan persoalan yang dihadapi dan dapat memberikan putusan yang adil. Kenyataannya belum sepenuhnya penegakan hukum mampu menuntaskan persoalan yang krusial tersebut, penanganan korupsi masuh berlarut – larut, putusan, uang denda dan pengganti kerugian negara masih jauh dibawah kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi , menyiasati persoalan tersebut penulis mencoba mengusulkan konsep hukum berkeadilan.

Dalam hukum berkeadilan hendaknya kita jangan terjebak dalam rutinitas penanganan perkara, harus bisa mengkaji secara cermat kasus perkara yang sedang ditangani, alat – alat bukti yang ada, barang – barang bukti yang ditemukan, rumusan dakwaan yang cermat dan teliti dan tuntutan yang sesuai dengan akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Kesemua proses tersebut harus dengan mendasarkan pendekatan ilmu dan ilmu pengetahuan, mendengarkan reaksi dan tuntutan masyakat, konvensi internasional, pendek kata pendekatan yang digunakan tidak boleh bersifat tertutup melainkan terbuka.

Pendekatan terbuka dan bersifat lintas bidang merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan mengingat persoalan hukum tidak bisa bersifat stiril bebas nilai, namun kenyataannya banyak faktor – faktor yang perlu diperhatikan. Sebetulnya faktor – faktor diluar hukum sudah dikenal dan dipertimbangkan hakim sebelum menjatuhkan putusannya, yakni faktor – faktor yang memperberat hukuman dan faktor – faktor yang memperingan hukuman. Namun kedua faktor tersebut belum bisa untuk dijadikan unsur yang representatif untuk terbentuknya hukum berkeadilan.

Hukum berkeadilan merupakan target yang akan diujudkan, karena merupakan target maka diperlukan proses untuk mewujudkannya, proses ini yang merupakan proses peradilan pidana dimulai dalam tahap penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, penuntutan, pemeriksaan dalam siding pengadilan dan pelaksanaan hukuman. Proses peradilan pidana mengacu asas cepat, sederhana dan biaya murah. Asas ini hendaknya diwujudkan dan menjiwai proses peradilan pidana yang mempunyai rangkaian penanganan perkara berjenjang dan sangat panjang.

Paradikma hukum berkeadilan menempatkan hukum untuk mencari hakekat kebenaran yang hakiki (tidak kebenaran semu, atau kebenaran yang dibuat), menempatkan hukum di atas kepentingan pribadi, golongan, bersifat terbuka dalam arti menerima input – input dari masyarakat, konvensi internasional, hasil – hasil seminar, penelitian, melihat reaksi masyarakat serta mendasarkan pada pengetahuan dan ilmu pengatahuan yang terus berkembang maju. Pelaksanan hukum yang mampu menyerap dengan baik unsur – unsur di atas tersebut keputusan yang akan diambilnya lebih mencerminkan keadilan yang ada dalam masyarakat. Hukum dan pelaksana hukum harus dekat dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan reaksi di dalam masyarakat.

Hukum berkeadilan merupakan sistem, maka upaya untuk mewujudkannya merupakan kerja keras kita semua, masing – masing aparat penegak hukum harus mempunyai tekad yang sama untuk menegakan hukum dan keadilan, tumbuhnya tekad ini sebagai upaya membangun visi penegakan hukum yang sama diantara aparat penegak hukum sehingga terdapat satu gerak langkah dan sikap dalam upaya menciptakan keadilan. Terwujudnya keadilan yang adil suatu pekerjaan yang tidak gampang, karena terhadap putusan yang telah dijatuhkan adalah adil bagi seseorang belum tentu adil bagi orang lain. Mewujudkan keadilan adalah mewujudkan cita – cita yang abtrak kedalam peristiwa yang kongkrit.

Upaya untuk mewujudkan hukum berkeadilan dimulai dari membangun sikap mental diantara aparat penegak hukum, sikap yang mau keluar dari rutinitas kerja yang bersifat tertutup, sikap untuk terus mengikuti perkembangan pengetahuan dan ilmu pengetuhan yang terus berkembang maju (kalau perlu dituntut studi lanjut dalam jenjang Strata 2 maupun Strata 3), dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki perlu dikembangkan sikap mau menempatkan kepentingan hukum di atas kepentingan pribadi dan golongan. Penanganan perkara harus bersifat terbuka dan akuntabilitas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengikuti perjalanan perkara yang sedang ditangani hal ini mengingat sering terjadi persepsi yang berbeda antara masyarakat dan penegak hukum. Masyarakat menganggap setiap perkara yang dilaporkan adalah perkara pidana dan terdakwanya harus dihukum seberat – beratnya dan uang yang dikorupsi harus juga dikembalikan pada negara. Pandangan masyarakat yang demikian itu membawa konsekuensi penanganan perkaranya harus cepat dan terdakwanya dihukum berat.

Padahal laporan masyarakat dengan data pendukungnya belum tentu semua menjadi alat bukti dan barang bukti yang mempunyai nilai hukum. Laporan masyarakat sebagai petunjuk awal tentang tindak pidana yang dilanggar dan segera ditindaklanjuti dengan pengumpulan alat bukti, barang bukti. Apabila laporan masyarakat tidak didukung dengan alat bukti maupun barang bukti yang sah menurut hukum tentu akan mengalami kesulitan dalam proses penangan hukum selanjutnya.

Dalam kondisi yang demikian harus ada progressreport tentang perjalanan kasus yang ditangani, progressreport tidak hanya diberikan kepada atasan tetapi juga perlu diumumkan kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa memahami serta tidak mempunyai prasangka yang bukan – bukan kaitannya dengan penegakan hukum terhadap perkara yang sedang diproses. Hukum berkeadilan mampu menjelaskan proses penanganan perkara, karena tujuan dari proses perkara pidana adalah menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yang telah terbukti kesalahannya dan membebaskan terdakwa yang tidak terbukti kesalahannya, memproses perkara pidana kalau didukung alat bukti dan memhentikan perkara pidana kalau perkara tersebut tidak didukung oleh alat bukti yang sah.

1) Penulis adalah Guru Besar dan Direktur Pasca Sarjana Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta.

PREDIKSI EKONOMI 2008: SEKTOR RIIL JALAN DI TERMPAT

Artikel Dimuat di Harian Solopos, Senin 02 Januari 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen dan Program Studi Akuntansi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Seakan telah menjadi tradisi setiap menyongsong tahun baru, tidak terkecuali tahun 2008. Selalu terbesit ingin mengetahui bagaimana peruntungan dan nasib kita ? Lebih baik ataukah lebih buruk ? Khususnya yang menyangkut kehidupan dan penghidupan dalam sendi ekonomi.

Apabila kita jujur, menghadapi tahun 2008, sebagian besar masyarakat, masih dihantui dan diliputi rasa dag dig dug, sambil berharap-harap cemas. Mengingat kondisi dan situasi perekonomian di tahun 2007 di sektor riil dirasakan sangat berat. Harga sembako yang semakin melambung, sehingga tidak terjangkau masyarakat. Berakibat semakin rendahnya daya beli masyarakat. Walaupun dalam hitung-hitungan di atas kertas indikator perekonomian 2007, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi dan suku bunga perbankan versi pemerintah menunjukkan tanda-tanda positif.

Seperti apa kondisi dan potret perekonomian Indonesia 2008 ? Menurut catatan penulis ada tiga pandangan dalam mensikapi dan memprediksi perekonomian Indonesia 2008.

Pandangan pertama, optimis yakni pemerintah. Wajar apabila pemerintah berpandangan optimis bahkan sangat optimis menghadapi tahun 2008. Dalam kerangka untuk menarik simpati masyarakat, karena pilpres tahun 2009 sudah di depan mata. Dalam versi pemerintah pertumbuhan ekonomi 2008 akan mencapai 6,8 persen lebih tinggi bila dibandingkan tahun 2007 yang hanya 6,3 persen.

Dengan pertumbuhan sebesar itu diharapankan bisa membuka lapangan kerja dan menurunkan angka pengangguran. Pandangan optimis ini juga didukung oleh Bank dunia yang memuji perekonomian Indonesia telah berada di on track. Pertumbuhan ekonomi 2008 versi Bank Dunia diprediksi membaik dari 6,2 menjadi 6,4 persen.

Pandangan kedua, pesimis. Pandangan pesimis umumnya berasal dari kalangan pelaku dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Hampir sebagian besar masyarakat saat ini tidak percaya dan meragukan dengan angka-angka dan data tentang indikator ekonomi yang dipublikasikan pemerintah. Sebab mereka lebih melihat pada realitas di lapangan. Masyarakat kecil, khususnya wong cilik kehidupan dan kesejahteraan tidak ada perubahan sama sekali. Bahkan merasakan kehidupan yang semakin serba sulit. Untuk mencukupi kebutuhan mendasar yang layak saja mereka tidak mampu.

Menurut, Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph. D, Kepala Departemen Ekonomi FE UGM sebagaimana yang dilansir oleh harian Suara Merdeka, 22 Desember 2007, kebijakan pemerintahan SBY selama tiga tahun terakhir, di atas kertas sepintas memang telah membawa perubahan signifikan bagi kemajuan ekonomi. Angka pencapaian pertumbuhan sebagai indikator keberhasilan pembangunan ekonomi tumbuh menyakinkan, rata-rata di atas 5 persen.

Namun angka pertumbuhan tersebut terkesan sangat rapuh, karena hanya dinikmati oleh 40 persen golongan menengah dan 20 persen golongan terkaya. Sementara 40 persen golongan termiskin yang nota bene adalah wong cilik, tidak menikmati sama sekali, justru semakin miskin. Kualitas pertumbuhan relatif rendah. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi “ belum on the right track”. Hal senada juga diungkapkan IMF bahwa perekonomian Indonesia 2008 hanya tumbuh 6,1 persen lebih rendah dari APBN 2007 yang sebesar 6,3 persen.

Pandangan Ketiga, moderat, berasal dari kalangan akademisi. Umumnya akademisi memprediksi kondisi perekonomian Indonesia akan stabil bahkan bisa meningkat sepanjang asumsi-asumsi tertentu dipenuhi. Misalnya harga minyak dunia tidak melambung, program dan kebijakan pemerintah di sektor moneter dijalankan dengan konsisten, pemerintah melakukan reformasi birokrasi dengan sungguh-sungguh.

Dari ketiga pandangan tersebut, baik tersurat dan tersirat memiliki benang merah yang sama. Bahwa perekonomian di tahun 2008, khususnya di sektor riil masih menghadapi tantangan dan kendala yang berat. Semua pihak, baik pemerintah maupun pelaku dunia usaha masih harus bekerja keras dan memiliki komitmen yang sama untuk kembali bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Pertumbuhan Semu.

Pemerintahan SBY hendaknya tidak hanya melakukan strategi komunikasi tebar pesona melalui publikasi aspek moneter yang serba manis. Sebab dengan pendekatan sektor moneter semata, yang sekedar mengamankan APBN, tidak akan berdampak secara langsung dan signifikan pada sektor riil. Kita semua tentunya merasakan bahwa kenyataan di lapangan kondisi perekonomian masih carut marut.

Pertumbuhan yang nampak tinggi, sebenarnya lebih didorong oleh konsumsi pemerintah. Dengan demikian angka pertumbuhan yang tinggi tersebut, di atas angka enam persen, sebenarnya merupakan pertumbuhan yang semu. Pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas. Indikatornya angka pengangguran masih tinggi, karena investasi yang dilakukan bertumpu pada padat modal dan tehnologi.

Dalam pandangan penulis, kondisi perekonomian 2008 belum begitu mengembirakan. Bila dianalogkan, ibaratnya mendung masih menggelayut dan cuaca belum berasahabat. Sewaktu-waktu bisa terjadi hujan lebat yang disertai badai puting beliung. Ancaman terbesar berasal dari faktor eksternal yaitu kenaikkan harga minyak mentah dunia.

Patokan harga minyak dalam RAPBN 2008 60 dolar perbarel masih terlalu rendah. Idealnya dipatok pada kisaran 60-75 dolar perbarel. Karena harga pasar saat ini masih bertengger di atas 90 dolar perbarel. Selisih yang cukup besar bisa membahayakan perekonomian Indonesia. Bila subsidi BBM membengkak, sehingga defisit anggaran semakin besar. Tidak ada pilihan lain pemerintah pasti akan menaikkan haga BBM.

Kenaikan harga BBM dalam negeri akan memukul sektor riil. Karena BBM merupakan kebutuhan vital dan mendasar dalam dunia industri dan transportasi. Dampak kenaikkan BBM memicu tingginya angka inflasi. Akhirnya daya beli masyarakat semikin makin melemah hingga titik nadir. Perusahaan pun banyak yang gulung tikar dan PHK pun tidak terelakkan.

Pemerintah sebagai Tumpuan.

Dalam kondisi yang demikian, satu-satunya tumpuan untuk mampu menggerakkan sektor ekonomi saat ini hanya ada di tangan pemerintah. Sebab hanya pemerintah yang memiliki sumber pendanaan. Namun sayangnya dalam tiga tahun pemerintahan SBY penyerapan anggaran tidak bisa maksimal.

Faktor penghambat antara lain adalah proses penyusunan penganggaran yang tidak tepat waktu. Karena terlalu lama dibahas ditingkat eksekutif dan legislatif. Akibatnya hampir seluruh program dan kegiatan ditumpuk pada akhir tahun.

Faktor lain adanya ketakukan pihak eksekutif dalam menjalankan program dan kegiatan terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menjadikan APBN/APBD sebagai stimulus ekonomi untuk menggerakkan sektor riil. Kebijakan pemerintah yang tidak memberikan stimulasi pada peningkatan daya beli masyarakat dan membuka lapangan kerja, sebenarnya sangat disayangkan. Terkesan pemerintah hanya cari amannya saja.

Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah menyangkut perilaku kebijakan birokrasi yang cenderung lebih memihak pada kaum kapitalis. Indikatornya adanya distribusi yang tidak adil dan seimbang. Aset negara banyak yang jatuh ke swasta dengan alasan meningkatkan efisiensi anggaran dan mencar pajak yang lebih besar.

Perilaku tersebut sebenarnya sangat jauh menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 yang menganut paham demokrasi ekonomi yang sekarang popular dengan istilah ekonomi kerakyatan. Sekedar menjadi lip service dan retorika politik semata.

Kita semua berharap dan berdoa tahun 2008 lebih baik dari 2007. Namun bila hal-hal mendasar di atas tidak segera diperbaiki dan dibenahi penulis memiliki keyakinan tahun 2008 sektor riil masih akan jalan ditempat. Bahkan tidak menutup kemungkinan berjalan mundur ke belakang. Seperti undur-undur. Bagaimana pendapat Anda ?