Wednesday, June 11, 2008

MEMUTUS MATA RANTAI BISNIS LKS

Dimuat Solopos, Kamis, 12 Juni 2008
Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.


Dalam sepekan terakhir Solopos menurunkan liputan tentang lika-liku bisnis Lembar Kerja Siswa (LKS). Penulis sangat mendukung pendapat berbagai pihak bahwa penggunaan LKS di sekolah-sekolah, mulai SD sampai SMA/SMK untuk ditinjau ulang. Bila mana perlu dihentikan. Sebab bila ditinjau dari berbagai aspek penggunaan LKS lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Dari aspek pendidikan LKS tidak sejalan, bahkan kontradiktif dengan model pembelajaran KTSP yang berbasis kompentensi, yang saat ini sedang dikembangkan.

Lihat saja LKS yang saat ini beredar, sebagian besar mutunya sangat rendah. Di bawah standar. Siswa hanya memindahkan keterangan-keterangan yang ada di buku materi ke LKS tanpa banyak berdiskusi atau berpikir. Kondisi ini mirip, sebelum jaman fotocopy, murid mencatat, sedangkan guru atau temannya menulis di papan.

Tetapi para guru sering menggunakan LKS sebagai ajian pemungkas yang paling praktis untuk memberikan Pekerjaan Rumah ( PR), yang sangat membebani siswa dan orang tua. Anak sering menjadi stres karena PR berjimbun. Orang tua menjadi repot dan kelabakan saat diminta membantu anaknya mengerjakannya. Tidaklah berlebihan bila kemudian LKS diplesetkan menjadi Lembar Kesengsaraan Siswa.

Dampak Penggunaan LKS

Model soal yang dikembangkan dalam LKS sebatas tataran kognitif. Membuat siswa tidak kreatif. Karena belajar suatu ilmu hanya kulit luarnya saja, tanpa ada pendalaman. Akibatnya yang berkembang hanya kemampuan otak kirinya saja. Dalam model pembelajaran semacam ini, siswa tak ubahnya mesin penghafal. Sedangkan bila ditinjau aspek etika sangatlah kurang pas, bila para guru harus nyambi menjual LKS secara langsung kepada para siswa. Bila guru berbisnis buku dapat dipastikan pamor dan kewibawaan di depan siswa juga akan luntur.

Di sisi sosial-ekonomi pengadaan LKS, sangat membebani orang tua murid yang tidak mampu. Mari kita kalkulasi secara kasar, bila dalam satu semester siswa membeli LKS dua kali untuk setiap mata pelajaran (mapel). Dan ada 12 mapel, berarti harus membeli 24 LKS. Harga rata-rata LKS sekitar Rp 5.000,00, sehingga dalam satu semester saja orang tua harus merogoh kocek Rp 120.000,00. Bila satu tahun tinggal mengalikan dua saja, sekitar Rp 240.000,00. Ini baru untuk beli LKS. Padahal selain LKS, orang tua siswa masih dibebani dengan berbagai biaya yang lain. Ada buku pendamping, seragam sekolah, pakain olah raga dan uang gedung.

Di samping itu, bisnis LKS ditengarai banyak menguntungkan oknum kepala sekolah dan guru tertentu saja. Dalam benak mereka yang ada adalah bagaimana mendapatkan keuntungan. LKS memang bisnis yang amat menggiurkan. Bila diasumsikan dalam satu sekolah ada sekitar 600 siswa berarti dalam setahun uang yang dibelanjakan untuk LKS mencapai Rp 144 juta. Bila penerbit memberikan discount 40 %, maka setiap tahun sekitar Rp 57,6 juta yang dinikmati pihak sekolah.

LKS hanya buku pelengkap. Namun dalam praktik LKS menjadi ” kitab suci ” para guru dan siswa. Hampir dipastikan tidak ada sekolah yang tidak menggunakan LKS. Setiap hari siswa mengerjakan tugas lewat LKS. Sementara buku acuan utama yaitu buku paket dan buku pendamping jarang digunakan.

LKS Mematikan Kreativitas

Walaupun ada dana BOS, pihak sekolah tetap saja menarik uang pembelian LKS. Berdasarkan temuan ICW banyak sekolah yang mengadakan pungutan yang tidak wajar. Riset tersebut dilakukan terhadap sejumlah Sekolah Dasar Negeri di kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Bau-bau, Kota Makasar, Kota Manado, Kota Banjarmasin, Kota Padang, Kota Jakarta, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tangerang. Data ICW menyebutkan selama tahun 2006, sebanyak 2.283 orang tua murid menyatakan dipungut biaya Lembar Kerja Siswa (LKS) dan buku paket rata-rata sebesar Rp 98.050,00. Selain itu temuan di lapangan menunjukkan ada penerbit dan oknum tertentu yang "memaksakan" buku LKS terbitannya untuk dipakai siswa. Modusnya mirip dengan praktik penjualan LKS di kota Solo, sebagaimana liputan Solopos, Senin, 02 Juni 2008.

Penulis berkeyakinan, sepanjang LKS masih dijadikan sebagai ajang bisnis, dapat dipastikan output pendidikan kualitasnya rendah. Sekolah hanya akan mencetak generasi LKS. Generasi yang menguasai ilmu secara instant. Guru dan siswa tidak kreatif. Inovasi pembelajaran tidak jalan.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satu jalan adalah mata rantai bisnis LKS harus diputuskan. Siapa yang harus melakukan ? Apakah walikota harus mengeluarkan larangan, sebagaimana usulan dari sebagian kalangan masyarakat ?

Menurut penulis, pertama dan utama yang harus memutus mata rantai bisnis LKS adalah komitmen para guru dan pihak sekolah. Guru dan kepala sekolah harus berani menolak dan mengatakan tidak pada LKS. Para guru mestinya paham, LKS yang sesungguhnya adalah lembaran kerja siswa yang dirancang oleh guru yang bersangkutan. Bukan buku yang berlabel LKS.

Dalam era sertifikasi, guru dituntut memiliki kompetensi dan kemampuan menyelenggarakan pembelajaran secara profesional. Salah satu indikatornya, guru mampu menyusun dan merancang kertas kerja yang bisa merangsang siswa agar berpikir dan berdiskusi kemudian melaporkan dan mempresentasika hasil kerjanya di depan kelas dan mempraktekan dalam kehidupan keseharian.

Jangan hanya karena mengejar keuntungan finansial sesaat, guru mengorbankan anak didiknya. Apalagi saat ini kesejahteraan guru sudah lumayan, bila dibandingkan dengan profesi lainnya. Mari kita buka mata, dampak negatif penggunaan LKS. Pada siswa SD, LKS yang mesti dikerjakan secara mandiri di rumah, telah menjadi beban orang tua untuk turut serta mengerjakannya. Pada siswa SMP dan SMA, tugas-tugas LKS telah mengembangkan budaya menyontek. Hanya satu-dua siswa yang mengerjakan LKS, siswa lain beramai-ramai menyalinnya pada pagi hari sebelum mata pelajaran dimulai.

Ketika kurikulum berbasis kompetensi diterapkan di ruang kelas, masa kejayaan LKS mestinya runtuh (S. Prasetyo Utomo, 2008). Ada beberapa sebab. Pertama, tes bersama tak lagi diselenggarakan, karena evaluasi dilakukan guru yang bersangkutan, tidak lagi dibuat tim MGMP. Kedua, bahan ajar dapat diupayakan guru secara kreatif, berasal dari sumber mana pun secara bervariasi. Ketiga, kegiatan belajar-mengajar di ruang kelas memerlukan daya cipta yang lebih leluasa dibandingkan dengan hanya mengerjakan LKS.

Akan tetapi, benarkah LKS akan menghilang dari ruang-ruang kelas dalam kegiatan belajar-mengajar ? Jangan-jangan akan muncul lembar kerja atau buku bahan ajar dalam bentuk lain, yang sengaja diciptakan untuk menggantikan peran LKS ? Bisnis LKS memang menggiurkan.
Bagaimana pendapat Anda ?

Monday, June 2, 2008

KENAIKAN BBM PICU INFLASI SPIRAL

Dimuat Joglosemar, Senin 02 Juni 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Selama memangku jabatan presiden SBY telah tiga kali menaikkan harga BBM. Dua kali pada tahun 2005 dan satu kali tahun 2008. Kenaikan kali ini agak berbeda. Tradisi yang berlaku selama ini bila pemerintah akan menaikan BBM biasanya diumumkan secara mendadak. Bila pun ada rumor hanya beberapa hari saja. Namun kali ini tidak. Wacana kenaikan harga BBM telah digulirkan beberapa pekan sebelumnya. Akibatnya banyak oknum yang tega memperkaya diri sendiri dengan melakukan penimbunan BBM sebanyak-banyaknya.

Di samping itu pemerintah nampak gampang dalam memutuskan BBM naik atau tidak. Tidak ada kejelasan waktu, kapan akan dinaikan. Sempat terlontar BBM dinaikan bulan Juni. Kemudian diralat akan dinaikan akhir Mei. Ternyata BBM naik lebih awal yakni Sabtu, 24 Mei 2008, pukul 00.00 WIB. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, mengumumkan premium yang semula Rp 4.500,00 menjadi Rp 6.000,00 perliter, solar dari Rp 4.300,00 menjadi Rp 5.500,00 perliter dan minyak tanah dari Rp 2.000,00 menjadi Rp 2.500,00 perliter.

Lamanya tarik ulur dalam memutuskan kenaikan harga BBM, telah membuka peluang munculnya aksi gelombang protes dan demo dari kalangan mahasiswa serta elemen masyarakat. Namun rupanya suara mahasiswa dan jeritan masyarakat, khususnya wong cilik tidak digubris sama sekali. Pemerintah memiliki kalkulasi sendiri, bila BBM tidak dinaikan APBN bisa jebol, roda pemerintahan dan pembangunan tidak jalan.

Padahal kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat saat ini berada di bawah titik nadir. Akibatnya bisa ditebak. Saat harga BBM betul-betul naik aksi demo dalam skala besar kembali marak di mana-mana. Sampai berdarah-darah dan menimbulkan korban luka-luka baik dikalangan mahasiswa dan polisi. Sebagaimana terjadi di Universitas Nasional (UNAS) dan berbagai daerah aksi demo berujung bentrok hebat antara mahasiswa dan polisi.

Padahal bila dibandingkan kenaikan BBM sebelumnya, yang pernah mencapai angka di atas 100 persen, kenaikan kali ini relatif lebih kecil hanya sekitar 28,7 persen. Namun mengapa reaksinya demikian besar dan disengkuyung hampir semua lapisan dan komponen masyarakat ? Apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat ?

Prosentase kenaikan BBM memang sepintas hanya di bawah 30 presen. Tetapi perlu diingat sebelum BBM naik, harga pangan dan sembako melambung sangat tinggi. Kenaikan harga komoditas tersebut, dampak dari krisis energi dan pangan yang saat ini sedang melanda dunia. Di sisi lain, pendapatan masyarakat tidak bertambah. Bahkan secara riil pendapatannya semakin berkurang dan tidak sebanding, serta tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang paling minimalis, sekalipun.

Melonjaknya harga yang terjadi secara beruntun dan bertubi-tubi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan hampir disemua komoditas ini, akan memicu laju inflasi. Dari fenomena yang berkembang, tingkat inflasi saat ini nampaknya sulit untuk dikendalikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa memicu terjadinya spiral inflation (spiral inflasi). Yakni inflasi yang menggelinding dan merembet kemana-mana, saling kejar mengejar.

Dampak Kenaikan BBM

Banyak pihak mempridiksi kenaikan BBM kali ini, akan memicu laju inflasi 2008 menembus angka dua digit mencapai di atas 11 persen. Menurut, Chatib Basri, inflasi akan bertambah 2,5-3 persen dari posisi inflasi April 2008 yang year on year sudah mencapai 8,96 persen, menjadi sekitar 11,44 persen. Laju inflasi yang tinggi, tidak hanya dialami Indonesia, namun telah menjadi tred ekonomi global. Direktur Pelaksana IMF Domonique Stauss-Kahn mengatakan, inflasi menjadi ancaman tambahan bagi dunia, di samping resesi ekonomi.

Penambahan inflasi 2,5-3 persen diperkirakan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,1-0,2 persen, pertumbuhan ekonomi menjadi 5,8 hingga 5,9 persen. Padahal pemerintah mentarget APBN-P 2008 pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen. Turunnya pertumbuhan ekonomi otomatis menambah jumlah pengangguran.

Peneliti dari Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Reforminer Institute, sebagaimana dilansir Antara News, menghitung kemungkinan penambahan pengangguran per tahun bisa mencapai 16,92 persen. Salah satu penyebab membengkaknya jumlah pengangguran adalah faktor kenaikan harga solar.

Karena solar merupakan komponen penting dalam menjalankan industri baik dalam skala mikro, kecil, menengah dan besar. Dengan BBM naik 10 persen saja, dampak inflasi mencapai lebih dari delapan persen, pengangguran mencapai 5,6 persen. Bisa dibayangkan bila BBM naik 30 persen, maka pengangguran bisa meningkat 24 lipat.

Dapat dipastikan bila jumlah pengangguran meningkat, dengan sendirinya jumlah penduduk miskin juga meningkat. Kerawanan sosial dan kriminalitas pun juga cenderung akan mengalami peningkatan. Antisipasi menanggulangi masalah dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu per bulan, bukan suatu penyelesaian yang bijaksana dan mendidik.

Karena pengucuran BLT hanya bermain pada tataran perbaikan sementara. Perbaikan daya beli sebagian rakyat, mestinya dilakukan dengan penataan sistem yang bisa menggerakkan perkembangan sektor riil agar bisa berjalan normal. Misalnya dengan membuka lapangan kerja bagi masyarakat, melalui program padat karya. Serta memperbaiki iklim usaha yang kondusif bagi investor domestik maupun asing.

Melihat pengalaman sebelumnya pelaksanaan BLT banyak menimbulkan masalah akibat ketidakakuratan aparatur pemerintah dalam melakukan pendataan bagi mereka yang benar-benar harus dibantu. Hal ini pun nampaknya akan terulang kembali, karena acuan pembagian BLT masih menggunakan data BPS tahun 2005, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kondisi terkini.

Langkah Antisipasi

Mencengah terjadinya spiral inflation sangat penting. Menurut Ernest Hemingway, bahwa selain peperangan, inflasi adalah cara lain untuk menghancurkan suatu bangsa (M. Ikhsan Modjo, 2008). Alasannya, inflasi akan menggerogoti daya beli dan memiskinkan masyarakat. Inflasi juga mengakibatkan transfer kekayaan dari rakyat berpendapatan tetap, yang biasa hidup papa dan merana, ke pemerintah dan golongan kaya secara diam-diam dan tidak kasatmata.

Kesemua ini pada akhirnya berujung pada keraguan, ketidakpastian, serta ketidakpercayaan. Konsumen menjadi ragu antara menabung atau mengonsumsi. Pengusaha menjadi tidak pasti berinvestasi dan memulai usaha. Masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah atau sesama. Kondisi yang demikian akan berakibat buruk, bukan hanya pada perekonomian, tetapi juga dinamika dan modal sosial suatu bangsa.

Agar dampak kenaikan BBM tidak meluas menjadi bencana bagi perekonomian nasional serta memicu persoalan dan gejolak sosial yang lebih besar yang dapat membahayakan integritas berbangsa dan bernegara. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis mengantisipasi laju inflasi. Dintaranya menjamin tersedianya kebutuhan sembako, pangan, BBM di masyarakat. Menindak dengan tegas oknum yang melakukan penimbunan barang.

Serta pemerintahan SBY-JK berfokus pada penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tidak hanya disibukan ritual tebar pesona, sekedar meraih simpati dan sensasi semata. Bukankah demikian ?

Bagaimana pendapat Anda ?