Tuesday, May 22, 2007

REFORMASI BIROKRASI PEMKOT SOLO

Rencana mutasi besar-besaran di jajaran Pemkot Solo mendapat tanggapan beragam dari kalangan eksekutif, legislatif dan masyarakat. Ada yang setuju adapula yang tidak setuju, dengan berbagai argumentasi masing-masing. Tidak sedikit yang gerah dan gelisah. Hal ini wajar, karena ada yang khawatir posisi dan jabatan yang selama ini diduduki akan tergeser dan tergusur. Namun ada pula yang berharap-harap cemas bisa mendapatkan posisi dan jabatan yang lebih tinggi.

Bagi sebagian orang jabatan merupakan sebuah prestise, yang bergengsi. Akibatnya ada yang berambisi untuk dapat meraihnya dengan berbagai cara. Bilamana perlu berani mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk mendapatkan jabatan yang diincar. Tidak mengherankan setiap kali ada mutasi sering kali muncul rumor dan kasak-kusuk praktik jual beli jabatan. Tidak terkecuali mutasi di lingkungan Pemkot Solo.

Rumor terjadinya transaksi jual beli jabatan dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPRD, Joko Hariyadi (Solopos, 06 Pebuari 2007). Dalam kesempatan tersebut, Joko Hariyadi, memperingatkan dan mendesak kepada eksekutif agar tidak main-main dalam melaksanakan mutasi. Benarkah telah terjadi jual beli jabatan di lingkungan pemkot Solo ?

Walikota Solo, Jokowi, membantahnya. Dengan tegas menyatakan, bila hal itu betul-betul terjadi, maka dia tidak segan-segan untuk mengebug oknum atau anak buahnya yang terbukti melakukan praktik jual beli jabatan. Namun tak urung, rumor tersebut telah menjadi pembicaraan hangat dilingkungan pemkot dan masyarakat Solo. Ada yang percaya, ada pula yang tidak. Namun tidak sedikit pula yang meragukan sinyalemen tersebut. Tampaknya masyarakat masih percaya terhadap komitmen Jokowi-Rudy, untuk mewujudkan Solo berseri tanpa korupsi.

Menurut hemat penulis, tidak perlu dipersoalkan, siapa yang menyebarkan isu. Dan tidak perlu disikapi secara emosional dan reaktif. Anggap saja rumor itu sebagai pernik-pernik dinamika demokrasi, yang harus direspons secara positif, karena merupakan bagian dari sosial kontrol masyarakat. Ini sebuah tantangan yang harus dibuktikan oleh Jokowi-Rudy bahwa mutasi kali bersih dari praktik jual beli jabatan. Memang tidak gampang untuk merubah anggapan seperti itu, karena sudah terlanjur melekat dibenak masyarakat.

Mutasi kali ini memang menarik untuk diikuti dan dicermati. Sebab merupakan mutasi terbesar sejak Jokowi memangku jabatan sebagai Walikota. Ada sekitar 100 pejabat yang akan dimutasi dalam awal tahun 2007. Merupakan jumlah yang tidak sedikit. Tidak aneh bila rencana tersebut, menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Ada yang mempertanyakan kenapa harus dalam jumlah besar ? Kenapa tidak dilakukan secara bertahap ? Benarkah mutasi kali ini sebatas penataan SDM dan kelembagaan ? Ataukah ada agenda terselubung dan muatan politis tertentu ?

Tentunya kita semua berharap mutasi dan penataan SDM dilingkungan Pemkot Solo dapat mewujudkan good governance dan clean governance. Prosesnya bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kaidah the right man and the right place. Terlepas dari subyektifitas, like and dislike dan unsur politis tertentu.

Reformasi Birokrasi

Memang pekerjaan yang tidak mudah melakukan mutasi 100 pejabat sekaligus. Tapi ini merupakan cara efektif bila kita ingin melakukan reformasi birokrasi. Dalam era otonomi daerah (otda) reformasi birokrasi mendesak dilakukan secara radikal dan menyeluruh. Langkah dan kebijakan tersebut perlu ditempuh untuk memutus mata rantai birokrasi masa lalu yang terkesan lambat, berbelit-belit, tidak efisien dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Kota Solo sebagai kota yang bertumpu pada aspek jasa dan perdagangan harus memiliki pegawai yang handal dan professional. Maka, sudah saatnya Walikota Solo berani mengambil sikap memilih dan menempatkan pejabat berdasarkan pada kompentensi dan prestasi kerja. Berani menempatkan tenaga-tenaga muda yang berpotensi, sepanjang mereka memenuhi kreteria, untuk tampil ke muka.
Aspek normatif dan formalitas, seperti senioritas dan kepangkatan, memang patut jadi pertimbangan dalam mutasi, tetapi seyogyanya tidak dijadikan pertimbangan utama. Di sinilah kepemimpinan Jokowi-Rudi diuji, sebab reformasi birokrasi rentan terhadap resistensi dan konflik vertikal dan horizontal. Umumnya orang tidak suka bila harus berubah, sebab tidak nyaman dan mengganggu kepentingannya.

Dalam rangka mengantisipasi hal itu, seyogyanya sebelum mutasi, perlu melakukan analisis jabatan dengan hati-hati, jeli, cermat, dan obyektif. Indikator-indikator dan kreteria untuk menentukan kelayakan seseorang menempati suatu jabatan harus transparan, jelas dan terukur. Jangan sampai terjadi lagi, pegawai yang kinerjanya buruk dan sering mangkir kerja justru diangkat dalam jabatan tertentu.

Pilih pegawai yang mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya. Energik, pekerja keras dan pekerja cerdas, yang bisa membaca dan menjabarkan visi dan misi walikota. Tahu apa yang harus dikerjakan, memiliki inisiatif dan kreatifitas yang tinggi dan berjiwa wirausaha, serta siap untuk mengabdi pada masyarakat. Kewenangan untuk memilih dan menempatkan pegawai pada suatu kedudukan memang sepenuhnya menjadi kewenangan Walikota. Namun bukan berarti walikota boleh bertindak sewenang-wenang. Keputusan dan kebijakan yang diambil hendaknya mencerminkan rasa keadilan dan aspirasi masyarakat.

Bila mekanisme dan prosedur mutasi tidak transparan dan akuntabel akan berpotensi menimbulkan permasalahan serius, gawat dan berlarut-larut yang kontra produktif. Pelayanan masyarakat terabaikan. Suasana kerja tidak kondusif dan tidak harmonis. Munculnya barisan sakit hati. Kita berharap kejadian-kejadian yang terjadi di Kabupaten Temanggung dan Banyuwangi, tidak terjadi di Pemkot Solo.

Penulis percaya Walikota Solo, Jokowi, dalam mengambil kebijakan dan keputusan akan bertindak secara arif, bijaksana dan adil. Tetapi penulis juga yakin sebagus apapun keputusan yang diambil pasti tidak dapat memuaskan semua pihak. Untuk itu harus ditanamkan kesadaran bahwa jabatan itu amanah, bukan kekuasaan yang harus diperebutkan. Ingat pepatah nenek moyang dulu, “ Bodho mung titipan, pangkat mung sampiran “, yang sewaktu-waktu akan dilepas. Bukankah demikian ? Selamat ber-dag-dig-dug, menunggu sk pelantikan !!!











Friday, May 18, 2007

UMK 2007: MAJIKAN MENANGIS BURUH MENJERIT




Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) merupakan masalah pelik dan dilematis. Dalam sejarah di Indonesia antara buruh dan pengusaha belum pernah menemukan titik temu dalam memutuskan besaran UMK. Selalu terjadi perbedaan dan kesenjangan. Buruh menghendaki upah setinggi mungkin, sedangkan pengusaha berharap dapat membayar upah serendah mungkin. Biasanya kedua belah pihak bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Karena tidak adanya kesepahaman, maka penentuan UMK diambil alih oleh Pemerintah Propinsi. UMK ditetapkan dengan surat keputusan gubernur.

Namun langkah ini, ternyata juga belum dapat menyelesaikan masalah. Sebagai contoh UMK 2007 untuk Kota Solo yang akan diberlakukan per 01 Januari 2007 telah ditetapkan sebesar Rp 590.000,00. Nampaknya belum bisa memuaskan kedua belah pihak. Kalangan buruh di Solo tetap menghendaki UMK sesuai standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebesar Rp 630.000,00. Sementara kalangan pengusaha berharap UMK 2007 hanya naik sebesar Rp 25.000,00 dari Rp 510.000,00 menjadi sebesar Rp 535.000,00.

Untuk memenuhi UMK 2007 sebesar Rp 590.000,00 nampaknya ada sebagian pengusaha yang masih merasa keberatan. Apalagi bila harus memenuhi UMK sebesar KHL. Alasan yang diajukan pun sepintas masuk akal, yaitu kondisi dunia usaha saat ini masih sangat lesu. Mana mampu membayar upah sebesar itu. Di samping itu pengusaha juga meminta agar kenaikan upah disesuaikan dengan tingkat laju inflasi. Tahun 2006 inflasi Kota Solo diprediksi hanya sebesar 4,98 %. Bila tuntutan UMK 2006 versi buruh dipenuhi, maka prosentase kenaikan UMK mencapai 23,50 %. Dalam kacamata pengusaha tuntutan kenaikkan upah oleh kalangan buruh ini dianggapnya terlalu tinggi dan berlebihan.

Namun nampaknya apa yang sudah diputusakan oleh gubernur, tidak dapat diganggu gugat lagi, walaupun berat hati, kalangan pengusaha harus mau menerima. Gubernur dengan tegas menyatakan bahwa keputusan UMK 2007 tidak bisa direvisi (Solopos, 23 Nopember 2006). Gubernur menyatakan keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan berbagai masukkan dari berbagai kalangan. Diantaranya dari hasil mendengarkan keluh kesah dan tangisan para pengusaha.

Kita tidak menutup mata bila tahun 2006 kondisi perekonomian secara makro memang cukup memprihatinkan. Pertumbuhan ekonomi melambat, pengangguran semakin bertambah dan daya beli masyarakat melemah. Dalam kondisi yang serba sulit seperti itu dunia usaha ibaratnya sedang lesu darah. Hal ini ditandai dengan omzet penjualan yang merosot tajam, stok barang menumpuk di gudang.

Bila kalangan pengusaha saja menghadapi situasi ekonomi 2006 sampai menangis. Bagaimana dengan kalangan buruh ? Yang nota bene penghasilannya hanya menggantungkan dari upah yang mereka terima. Upah yang sangat kecil yang tidak sepadan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan layak. Pasti mereka akan menjerit. Melihat kondisi yang demikian mestinya pemerintah tidak hanya mendengar tangisan pengusaha saja, tetapi juga harus mau mendengarkan jerit tangis dan rintihan kalangan buruh. Yang air matanya kini telah berdarah-darah.

Wajar bila dalam mensikapi keputusan ini kalangan buruh melakukan penolakan. Dalam bentuk ujuk rasa diberbagai daerah. Mereka berusaha memperjuangkan agar UMK 2007 sama dengan KHL dapat dipenuhi. Hal ini wajar mengingat, buruh juga manusia. Bukan robot atau mesin industri yang tanpa nyawa dan rasa. Mereka juga mendambakan kehidupan yang layak sebagai mana warga negara Indonesia yang lain.

Sangatlah tragis bila mereka bekerja membanting tulang bekerja selama 8-12 jam kerja sehari, namun untuk memenuhi standar minimal kehidupan yang layak pun tidak mampu.

Mari kita simak komponen KHL yang mereka tuntut hanya terdiri tujuh item. Meliputi makan dan minum, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Rincian setiap komponen KHL, jangan Anda bayangkan merupakan pemenuhan kebutuhan yang serba wah dan serba mewah. Tuntutannya tidak neko-neko.
Ambil contoh untuk komponen perumahan misalnya, hanya terdiri atas biaya sewa kamar, peralatan tidur dan peralatan rumah tangga yang sederhana.Untuk komponen kesehatan rinciannya meliputi sarana kesehatan, obat anti nyamuk dan potong rambut.

Peran Pemerintah

Sangatlah wajar bila diberbagai daerah buruh tetap ngotot UMK 2007 harus sama dengan KHL. Karena apa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang memang seharusnya mereka terima. Menyangkut nasib kehidupan yang sangat azasi yang dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Dalam Undang-undang 13 tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa setiap buruh/pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Penentuan besaran UMK melalui Tripartit (buruh, pengusaha dan pemerintah), yang berlaku saat ini menurut penulis mekanismenya perlu ditinjau ulang. Karena selama ini terkesan pemerintah lebih berpihak kepada kalangan pengusaha daripada memperjuangkan nasib kalangan buruh dalam penentuan UMK. Dengan dalih untuk mengamankan investasi swasta agar tidak hengkang dari Indonesia dan menjaga stabilitas sosial agar tidak terjadi PHK besar-besarnya, UMK versi pengusahalah yang biasanya condong dimenangkan.

Ke depan mestinya pemerintah hanya bertindak sebagai mediator saja dalam penentuan UMK. Biarlah pengusaha dan buruh duduk dalam satu meja untuk membuat kesepakatan bersama. Pemerintah tinggal menyaksikan dan memantau jalannya kesepakatan. Apabila terjadi deadlock barulah pemerintah turun tangan. Bertindak sebagai mediator, berdiri di tengah-tengah pihak yang bersengketa. Menyelesaikan masalah secara adil, win-win solution, namun dengan tetap berpegang pada aturan main yang berlaku.

Bahkan fungsi pemerintah selaku regulator seharusnya mendesak kepada pengusaha untuk menjalankan undang-undang ketenagakerjaan dengan semestinya. Bila ada pengusaha yang tidak mau menjalankan, padahal dia mampu, maka pemerintah seharusnya tidak segan-segan untuk mengambil tindakan dengan menjatuhkan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Bukankah kedudukan dan keberadaan buruh dan pengusaha bersifat simbiosis mutualisme ? Mereka saling membutuhkan dan saling ketergantungan, maka harus saling menguntungkan. Sudah saatnya jargon dan slogan pengusaha dan buruh adalah hubungan kemitraan harus benar-benar diwujudkan dalam tataran operasional. Jangan hanya sebagai bahan komoditas retorika politis semata.

Mewujudkan UMK setara dengan KHL sebenarnya bukan barang yang mustahil. Karena dari kompososi biaya produksi, upah buruh hanya menyumbang kontribusi sekitar 15-20 persen saja dari total biaya produksi. Prosentase tersebut lebih kecil bila dibandingkan biaya-biaya siluman yang dikeluarkan pengusaha, yang konon angkanya bisa mencapai 20-30 persen. Bukan rahasia lagi di Indonesia sikap mental korup para birokrat kita masih sangat kental dan melekat dihampir semua lini birokrasi. Bila pemerintahan SBY serius dan berkomitmen sungguh-sungguh memangkas habis biaya-biaya siluman. Dana tersebut dapat dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh.

Sudah saatnya pengusaha untuk memperhatikan kesejahteraan para buruh. Bila pengusaha tidak bisa bersedia memenuhi tuntutan UMK setara dengan KHL, sama halnya pengusaha belum bisa menghargai dirinya sendiri. Secara lahiriah kehidupan pengusaha memang nampak mewah dan berkecukupan. Namun secara hakiki apa yang telah diperoleh itu karena ditompang dan disubsidi oleh cucuran keringat dan air mata kalangan buruh. Bukankah demikian ? Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Program Studi Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta dan Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Unisri Surakarta.

MUTIARA HIKMAH

PERTOLONGAN ALLAH
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar
(Surah Al Baqoroh 2: 153).

JANGAN TAKUT DAN BERSEDIH
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
(Surah Fushilat 41: 30)

MENJADIKAN TSTJ SEBAGAI PROFIT CENTER

Prestasi, Ir. Sudjadi, selaku ketua satuan kerja yang diserahi tugas untuk mengelola Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) selama masa transisi pantas diajungi jempol. Mantan Deputi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini mendapat tugas dari Walikota Solo Jokowi untuk menyiapkan TSTJ menjadi Badan Usaham Milik Daerah (BUMD). Pilihan Walikota Solo, Jokowi, terhadap Sudjadi, sangat pas. Sesuai dengan kaidah manajemen modern ` the right man on the right place `.

Sebagai bukti target waktu yang diberikan selama enam bulan untuk menyelamatkan aset, memulihkan dan mengembangkan, serta menyiapkan Raperda TSTJ menjadi BUMD dapat diselesaikan dengan baik. Hanya dalam waktu tiga bulan.

Indikator keberhasilan dapat dilihat dari peningkatan pendapatan TSTJ. Sebagaimana dipaparkan dalam Suara Merdeka, edisi 05 Agustus 2006. Sejak Sudjadi menerima mandat pada bulan Mei 2006, pendapatan TSTJ meningkat tajam, bila dibanding pada bulan yang sama pada tahun 2005. Pendapatan bulan Mei 2005 sebesar Rp 99.693.000,00, sedangkan pendapatan Mei 2006 sebesar Rp 102.867.000,00. Berarti mengalami kenaikkan sebesar 3,18 persen.

Pendapatan Juni 2005 sebesar Rp 172.279.000,00 pendapatan Juni 2006 menjadi Rp 282.730.000,00. Ini berarti mengalami kenaikkan sebesar 64, 11 persen. Sedangkan pendapatan Juli 2005 sebesar Rp 144.073.000,00 dan pendapatan Juli 2006 sebesar Rp 172.216.000,00. Berarti naik sebesar 1,95 persen.

Memang pendapatan TSTJ sangat berfluktuasi. Ini dapat dimaklumi. Sebab sebagai sarana rekreasi keluarga, jumlah pengunjung sangat dipengaruhi oleh faktor libur sekolah. Namun bila dihitung rata-rata, kenaikkan pendapatan selama tiga bulan terakhir dibanding dengan periode yang sama tahun lalu mengalami peningkatan sekitar 23,08 persen. Sedangkan keuntungan bersih yang diperoleh selama tiga bulan mencapai sekitar Rp 120 juta. Keuntungan ini bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata perbulan yang sebesar Rp 185 juta, maka tingkat keuntungan mencapai sebesar 65 persen.

Ini membuktikan dan meneguhkan kenyakinan saya. Bila TSTJ dikelola serius dan sepenuh hati. Dengan menerapkan kaidah manajemen modern dan menempatkan SDM yang kompeten dan profesional. Tidak mustahil bila TSTJ bisa menjadi ” tambang emas ” bagi Kota Solo. Menjadi andalan salah satu primadona penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat potensial.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka konsep pengembangan dan pengelolaan TSTJ yang akan diwadahi dalam bentuk BUMD, seyogyanya dijadikan profit center (pusat laba). Bukan lagi sekedar menjadi cost center (pusat biaya). Apabila TSTJ menjadi pusat laba, maka Walikota harus mendelegasikan secara penuh pengelolaan TSTJ kepada seorang manajer dari kalangan profesional. Bisa diambil dari kalangan birokrasi atau mengambil orang luar. Tetapi rekruetmentnya harus melalui tahapan fit and proper test.

Manajer terpilih akan diberi tugas dan tanggungjawab sepenuhnya untuk mengelola TSTJ. Sebelum melaksanakan tugas, manajer TSTJ harus menyusun program dan kegiatan, beserta anggarannya untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Termasuk didalamnya target-target pendapatan dan prediksi pencapaian laba untuk setiap tahunnya.

Secara periodik kinerja manajemen TSTJ dievaluasi oleh pihak eksekutif maupun legeslatif. Bila terjadi penyimpangan atau kegagalan, manajer yang bersangkutan harus dimintai pertanggungjawaban. Kemudian diberi kesempatan untuk melakukan pembenahan. Namun bila tetap gagal, maka pihak manajemen harus diganti. Apabila terjadi penyimpangan yang berindikasi adanya tindak korupsi, maka harus diproses secara hukum dan diberi sanksi yang tegas.

Bila langkah ini diambil apakah tidak berarti mengkomersilkan atau membisniskan TSTJ ? Apakah nanti harga karcis masuk tidak mahal ? Apakah terjangkau oleh masyarakat bawah ? Itu mungkin beberapa pertanyaan yang ada dibenak masyarakat.

Bila Walikota Solo Jokowi berkomitmen menjadikan TSTJ sebagai Taman Hiburan Rakyat (THR). Saya kira patut kita hargai dan pantas kita sengkuyung bersama. Sebab bila pengelolaan TSTJ mendasarkan pada konsep value for money yang bertumpu pada tiga E, yaitu: ekonomi, efesiensi dan efektifitas. Walikota masih bisa campur tangan untuk menentukan besarannya harga karcis yang terjangkau oleh masyarakat dari kalangan bawah. Murah dan meriah ! Dengan fasilitas yang lengkap dan memadai. Saya optimis dengan tarif murah, TSTJ tetap dapat meraup keuntungan.

Mengapa tidak ? Ini bukan sekedar impian. Dengan satu catatan ! Pengelolaan TSTJ harus terbebas dari kepentingan politik dan kepentingan lainnya. Sistem pengelolaan dan rekruement pegawai harus transparan. Dan pengelolaan keuangan harus akuntabel. Bila prasyarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka TSTJ akan lebih baik bila diprivatisasi atau pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta.

Sebab pengalaman masa lalu menunjukkan BUMD/BUMN sering menjadi sapi perah bagi kalangan birokrasi dan elit politik. Sehingga hampir sebagian besar tidak sehat, bahkan merugi selama puluhan tahun. Yang akhirnya justru keberadaannya tidak menambah sumber pendapatan negara atau daerah, namun justru membebani APBN/APBD.

Namun saya optimis bila di bawah kepemimpinan Jokowi-Rudy yang mengusung slogan Berseri tanpa Korupsi, TSTJ akan lebih baik bila dikelola dalam bentuk BUMD. Sebab bila di privatisasi disatu sisi tugas Pemkot memang sangat ringan. Tahunya hanya menerima setoran uang dari tender pemenang tender.Tidak usah pusing-pusing memikirkan investasi.

Namun sebenarnya bila kita kaji lebih mendalam privatisasi sisi negatifnya lebih banyak. Diantaranya keberlangsungan pengelolaan TSTJ jangka panjang tidak menentu. Di samping itu investor biasanya hanya melulu cari untung yang sebesar-besarnya, mengabaikan dimensi sosial dan kelestarian lingkungan hidup jangka panjang. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana MM Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta..

MANAJEMEN KEWIRAUSAHAAN


Pendahuluan

Di negara-negara maju, seperti Amerika, bidang kewirausahaan (entrepreneurship) menjadi salah satu bidang profesi yang paling banyak diminati oleh kalangan generasi muda. Menjadi wirausahawan sukses menjadi dambaan dan impian bagi mereka.

Mereka bangga disebut sebagai wirausahawan. Karena dilingkungan mereka kewirausahaan merupakan profesi yang sangat dihargai dan mendapatkan tempat serta kedudukan yang terhormat di tengah masyarakat. Sebalik di negara-negara yang sedang berkembang, seperti di Indonesia, apresiasi terhadap bidang kewirausahaan masih sangat rendah. Wirausaha belum menjadi pilihan bidang pekerjaan yang pertama dan utama bagi generasi muda. Umumnya mereka bercita-cita dan berorientasi, setelah lulus sekolah atau kuliah bisa menjadi “Priyayi”, yaitu sebagai pegawai negeri atau sebagai pegawai kantoran.

Dalam kultur masyarakat Indonesia menjadi pegawai negeri atau kantoran merupakan pekerjaan elite dan terhormat. Statusnya lebih jelas dan masa depannya lebih pasti.

Umumnya masyarakat masih memandang rendah profesi wirausaha. Mereka umumnya malu bahkan tidak sedikit yang menyembunyikan jatidirinya sebagai wirausahawan. Menjadi wirausahawan merupakan pilihan terakhir, daripada nganggur alias tidak bekerja. Tidak mengherankan bila jumlah pengangguran di Indonesia terus meningkat. Padahal peluang usaha dibidang kewirausahaan sangat terbuka lebar.

Barulah setelah badai krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997, bidang kewirausahaan mulai dilirik. Setelah jutaan orang menganggur akibat terkena PHK dan ribuan perusahaan gulung tikar. Saat ini jutaan orang banting setir dan berlomba-lomba terjun menjadi wirausahawan. Namun karena minimnya pengetahuan dan ketrampilan tentang seluk beluk kewirausahaan, akibatnya banyak yang gagal di tengah jalan.

Makalah sederhana ini disusun untuk mencoba menjelaskan secara ringkas seputar kiat dan strategi menjadi wirausahawan sukses, yang dikemas dengan bahasa yang sederhana.

HAKEKAT KEWIRAUSAHAAN

Setiap orang telah dianugerahi Allah Swt dengan akal budi yang sempurna, sehingga setiap orang memiliki potensi yang sama untuk meraih sukses. Pakar Motivator Indonesia, Adre Wongso, mengatakan: “Sukses adalah hak setiap orang”. Untuk dapat meraih sukses manusia harus bekerja. Salah satu bidang pekerjaan yang bisa menghantar untuk meraih sukses adalah bidang kewirausahaan.

Menurut, Dr. Suryono, Msi, penulis buku “Kewirausahaan, Pedoman Praktik: Kiat dan Proses Menuju Sukses” (2006: 2), kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Dari definsi tersebut, ada dua kata kunci penting yang harus diperhatikan bila kita ingin sukses menekuni bidang kewirausahaan yaitu kreativitas dan inovasi.

Kreativitas yang dimaksud adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Sedangkan inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang.

Selain kreativitas dan inovasi, masih banyak factor pendukung kunci sukses berwirausaha, Geoffrey G. Meredith, mengungkap lebih rinci tentang karakteristik dan watak kewirausahaan. Dalam kajian Geoffrey, setidaknya ada enam karekteristik dan waktak yang setidaknya harus dimiliki seorang wirausahawan tangguh, sebagai berikut:

Pertama, Percaya diri dan optimis. Memiliki kepercayaan diri yang kuat, ketidak tergantungan terhadap orang lain, individualistik
Kedua, Berorientasi pada tugas dan hasil. Kebutuhan berprestasi, berorientasi kepada laba, mempunyai dorongan kuat, energik, tekun dan tabah, tekad kerja keras, serta inisiatif.
Ketiga, Berani mengambil resiko yang wajar dan menyukai tantangan

Keempat, Memiliki jiwa kepemimpinan, mudah beradaptasi, dan terbuka terhadap saran serta kritik dari orang lain.
Kelima, KeorisinalanInovatif, kreatif, dan fleksibel
Keenam, Berorientasi masa depan, yaitu memiliki visi dan perspektif terhadap masa depan.


Sumber:

Geoffrey G. Meredith, et al, Kewirausahaan Teori dan Paktik, edisi. 5, hal 5-6

MODAL KEWIRAUSAHAAN

Dalam kewirausahaan, modal tidak selalu identik dengan modal yang berwujud (tangible) seperti uang dan barang, tetapi juga modal yang tidak berwujud (intagible) seperti modal intelektual, modal sosial, modal moral dan modal mental yang dilandasi agama. Secara garis besar, modal kewirausahaan dapat dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: Modal intelektual, Modal sosial dan moral, Modal mental, Modal material.

Modal Intelektual (Intellectual Capital)

Modal intelektual dapat diwujudkan dalam bentuk ide-ide sebagai modal utama yang disertai; pengetahuan (knowledge), kemampuan (capability), ketrampilan (skill), komitmen (commitment), tanggungjawab (authority).

Modal Sosial dan Moral

Modal sosial dan moral diwujudkan dalam bentuk kejujuran dan kepercayaan, sehingga dapat terbentuk citra diri yang positif. Seorang wirausaha yang baik biasanya memiliki 10 etika wirausaha sebagai berikut:

1. Kejujuran
2. Memiliki integritas
3. Menepati janji
4. Kesetiaan
5. Kewajaran
6. Suka membantu orang lain
7. Menghormati orang lain
8. Warga negaran yang baik dan taat hokum
9. Mengejar keunggulan
10. Bertanggungjawab

Modal Mental

Modal mental adalah kesiapan mental berdasarkan landasan agama (spiritual). Diwujudkan dalam bentuk keberanian untuk menghadapi risiko dan tantangan yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.

Modal Material

Modal material adalah modal dalam bentuk uang atau barang. Modal ini bukan segala-gala dan bukan merupakan modal utama, karena modal material dapat terbentuk apabila kita telah memiliki jenis-jenis modal di atas.


KIAT MERINTIS USAHA BARU

Merintis usaha atau membuka usaha baru di Indonesia peluang dan prospeknya sangat terbuka luas. Pasar sangat prospektif, karena jumlah penduduk Indonesia mencapai 225 juta orang, merupakan pasar potensial. Bahan baku dan tenaga kerja tersedia, sehingga tidak menjadi kendala, karena Indonesia memilki kekayaan alam dan SDM yang melimpah ruah. Regulasi pemerintah pun sangat mendukung dengan diberikannya berbagai fasilitas dan kemudahan untuk berwirausaha.
Ada tiga pilihan untuk memasuki suatu bisnis, merintis usaha baru sejak awal, membeli perusahaan yang telah berjalan, kerjasama manajemen atau waralaba (franchising).

Dalam kesempatan ini hanya akan dipaparkan kiat dalam merintis usaha baru. Langkah pertama dalam memulai usaha baru adalah memiliki ide, setelah itu ide yang ada harus dikaji lebih dahulu kelayakan usahanya. Cara yang sederhana untuk mengkaji menggunakan pendekatan SWOT analisis. Mengkaji aspek kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat).

Selanjutnya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merintis usaha baru:
1. Bidang Usaha dan Jenis Usaha yang akan dirintis
2. Bentuk dan Kepemilikan Usaha yang akan dipilih
3. Tempat Usaha (lokasi) yang akan dipilih
4. Jaminan Usaha yang mungkin diperoleh
5. Organisasi Usaha yang akan digunakan
6. Lingkungan Usaha yang akan berpengaruh

Untuk mengelola usaha, tidak boleh hanya mengandalkan intuisi semata, namun terlebih dahulu harus diawali dengan:
1. Perencanaan Usaha secara tertulis (Business Plan)
2. Pengelolaan dan Pembukuan Keuangan yang tertib
3. Memiliki Strategi Pengembangan Usaha yang jelas
4. Mengembangkan Tehnik Pengembangan Usaha yang kreatif

KETRAMPILAN DAN KEMAMPUAN MANAJERIAL

Dalam menjalankan usaha wirausaha akan mengelola sumber daya yang dimiliki. Sumber daya itu biasanya meliputi 5 M: Man (manusia), Material (bahan baku, peralatan), Method (metode, prosedur), Money (uang), Market (pasar). Kelima sumber daya harus dikelola dan didayagunakan secara efektif dan efisien.

Efektif artinya dapat menjalankan usaha sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sedangkan efisien adalah melakukan kegiatan dengan selalu membandingkan antara input (masukan) dan output (keluaran). Output harus lebih besar daripada inputnya.

Agar wirausaha dapat mencapai tujuan dengan efekti dan efisien, yaitu meningkat kesejahteraan pemilik dan karyawan, yang diukur dari perolehan laba yang dicapai. Wirausahawan dituntut memiliki ketrampilan dan kemampuan manajerial. Ketrampilan manajerial adalah ketrampil dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen, yang meliputi antara lain:

1. Menyusun Perencanaan (Planning)
2. Mengorganisasikan Sumber Daya (Organizing)
3. Memimpin SDM (Leadership)
4. Mengkoordinasi Sumber Daya (Coordinating)
5. Mampu Mengendalikan Usaha (Controlling)

Sedangkan kemampuan manajerial meliputi: kemampuan tehnis, kemampuan personal dan kemampuan emosional.


STRATEGI KEWIRAUSAHAAN

Manajemen Kewirausahaan menyangkut semua kekuatan perusahaan yang menjamin bahwa usahanya betul-betul eksis. Bila usaha baru ingin berhasil, maka wirausaha harus memiliki empat kompetensi diantaranya:

1. Focus pada pasar, bukan pada tehnologi
2. Buat ramalan pendanaan untuk menghindari pengeluaran yang tidak terbiayai
3. Bangun tim manajemen yang tangguh, hindari “one man show”
4. Beri peran tertentu, mereka yang berprestasi

Agar focus pada pasar maka wirausahawan harus mempertimbangkan salah satu strategi sebagai berikut:
1. Muncul sebagai pemimpin pasar
2. Memilih relung pasar (niche market) yang tidak terlayani
3. Memilih relung pasar yang bisa bertahan
4. Mengubah karakteristik produk, pasar atau industri.

Di samping pemilihan strategi, hal penting yang tidak boleh dilupakan bahwa salah satu penyebab kegagalan dalam menjalankan kewirausahaan adalah ketidaktertiban dalam bidang administrasi dan pembukuan. Untuk itu wirausahawan harus tertib administrasi dan harus menyediakan waktu untuk menyelenggarakan pembukuan secara sederhana, sistimatis dan praktis.

===== selamat berwirausaha & sukses selalu =====