Tuesday, May 22, 2007

REFORMASI BIROKRASI PEMKOT SOLO

Rencana mutasi besar-besaran di jajaran Pemkot Solo mendapat tanggapan beragam dari kalangan eksekutif, legislatif dan masyarakat. Ada yang setuju adapula yang tidak setuju, dengan berbagai argumentasi masing-masing. Tidak sedikit yang gerah dan gelisah. Hal ini wajar, karena ada yang khawatir posisi dan jabatan yang selama ini diduduki akan tergeser dan tergusur. Namun ada pula yang berharap-harap cemas bisa mendapatkan posisi dan jabatan yang lebih tinggi.

Bagi sebagian orang jabatan merupakan sebuah prestise, yang bergengsi. Akibatnya ada yang berambisi untuk dapat meraihnya dengan berbagai cara. Bilamana perlu berani mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk mendapatkan jabatan yang diincar. Tidak mengherankan setiap kali ada mutasi sering kali muncul rumor dan kasak-kusuk praktik jual beli jabatan. Tidak terkecuali mutasi di lingkungan Pemkot Solo.

Rumor terjadinya transaksi jual beli jabatan dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPRD, Joko Hariyadi (Solopos, 06 Pebuari 2007). Dalam kesempatan tersebut, Joko Hariyadi, memperingatkan dan mendesak kepada eksekutif agar tidak main-main dalam melaksanakan mutasi. Benarkah telah terjadi jual beli jabatan di lingkungan pemkot Solo ?

Walikota Solo, Jokowi, membantahnya. Dengan tegas menyatakan, bila hal itu betul-betul terjadi, maka dia tidak segan-segan untuk mengebug oknum atau anak buahnya yang terbukti melakukan praktik jual beli jabatan. Namun tak urung, rumor tersebut telah menjadi pembicaraan hangat dilingkungan pemkot dan masyarakat Solo. Ada yang percaya, ada pula yang tidak. Namun tidak sedikit pula yang meragukan sinyalemen tersebut. Tampaknya masyarakat masih percaya terhadap komitmen Jokowi-Rudy, untuk mewujudkan Solo berseri tanpa korupsi.

Menurut hemat penulis, tidak perlu dipersoalkan, siapa yang menyebarkan isu. Dan tidak perlu disikapi secara emosional dan reaktif. Anggap saja rumor itu sebagai pernik-pernik dinamika demokrasi, yang harus direspons secara positif, karena merupakan bagian dari sosial kontrol masyarakat. Ini sebuah tantangan yang harus dibuktikan oleh Jokowi-Rudy bahwa mutasi kali bersih dari praktik jual beli jabatan. Memang tidak gampang untuk merubah anggapan seperti itu, karena sudah terlanjur melekat dibenak masyarakat.

Mutasi kali ini memang menarik untuk diikuti dan dicermati. Sebab merupakan mutasi terbesar sejak Jokowi memangku jabatan sebagai Walikota. Ada sekitar 100 pejabat yang akan dimutasi dalam awal tahun 2007. Merupakan jumlah yang tidak sedikit. Tidak aneh bila rencana tersebut, menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Ada yang mempertanyakan kenapa harus dalam jumlah besar ? Kenapa tidak dilakukan secara bertahap ? Benarkah mutasi kali ini sebatas penataan SDM dan kelembagaan ? Ataukah ada agenda terselubung dan muatan politis tertentu ?

Tentunya kita semua berharap mutasi dan penataan SDM dilingkungan Pemkot Solo dapat mewujudkan good governance dan clean governance. Prosesnya bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kaidah the right man and the right place. Terlepas dari subyektifitas, like and dislike dan unsur politis tertentu.

Reformasi Birokrasi

Memang pekerjaan yang tidak mudah melakukan mutasi 100 pejabat sekaligus. Tapi ini merupakan cara efektif bila kita ingin melakukan reformasi birokrasi. Dalam era otonomi daerah (otda) reformasi birokrasi mendesak dilakukan secara radikal dan menyeluruh. Langkah dan kebijakan tersebut perlu ditempuh untuk memutus mata rantai birokrasi masa lalu yang terkesan lambat, berbelit-belit, tidak efisien dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.

Kota Solo sebagai kota yang bertumpu pada aspek jasa dan perdagangan harus memiliki pegawai yang handal dan professional. Maka, sudah saatnya Walikota Solo berani mengambil sikap memilih dan menempatkan pejabat berdasarkan pada kompentensi dan prestasi kerja. Berani menempatkan tenaga-tenaga muda yang berpotensi, sepanjang mereka memenuhi kreteria, untuk tampil ke muka.
Aspek normatif dan formalitas, seperti senioritas dan kepangkatan, memang patut jadi pertimbangan dalam mutasi, tetapi seyogyanya tidak dijadikan pertimbangan utama. Di sinilah kepemimpinan Jokowi-Rudi diuji, sebab reformasi birokrasi rentan terhadap resistensi dan konflik vertikal dan horizontal. Umumnya orang tidak suka bila harus berubah, sebab tidak nyaman dan mengganggu kepentingannya.

Dalam rangka mengantisipasi hal itu, seyogyanya sebelum mutasi, perlu melakukan analisis jabatan dengan hati-hati, jeli, cermat, dan obyektif. Indikator-indikator dan kreteria untuk menentukan kelayakan seseorang menempati suatu jabatan harus transparan, jelas dan terukur. Jangan sampai terjadi lagi, pegawai yang kinerjanya buruk dan sering mangkir kerja justru diangkat dalam jabatan tertentu.

Pilih pegawai yang mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya. Energik, pekerja keras dan pekerja cerdas, yang bisa membaca dan menjabarkan visi dan misi walikota. Tahu apa yang harus dikerjakan, memiliki inisiatif dan kreatifitas yang tinggi dan berjiwa wirausaha, serta siap untuk mengabdi pada masyarakat. Kewenangan untuk memilih dan menempatkan pegawai pada suatu kedudukan memang sepenuhnya menjadi kewenangan Walikota. Namun bukan berarti walikota boleh bertindak sewenang-wenang. Keputusan dan kebijakan yang diambil hendaknya mencerminkan rasa keadilan dan aspirasi masyarakat.

Bila mekanisme dan prosedur mutasi tidak transparan dan akuntabel akan berpotensi menimbulkan permasalahan serius, gawat dan berlarut-larut yang kontra produktif. Pelayanan masyarakat terabaikan. Suasana kerja tidak kondusif dan tidak harmonis. Munculnya barisan sakit hati. Kita berharap kejadian-kejadian yang terjadi di Kabupaten Temanggung dan Banyuwangi, tidak terjadi di Pemkot Solo.

Penulis percaya Walikota Solo, Jokowi, dalam mengambil kebijakan dan keputusan akan bertindak secara arif, bijaksana dan adil. Tetapi penulis juga yakin sebagus apapun keputusan yang diambil pasti tidak dapat memuaskan semua pihak. Untuk itu harus ditanamkan kesadaran bahwa jabatan itu amanah, bukan kekuasaan yang harus diperebutkan. Ingat pepatah nenek moyang dulu, “ Bodho mung titipan, pangkat mung sampiran “, yang sewaktu-waktu akan dilepas. Bukankah demikian ? Selamat ber-dag-dig-dug, menunggu sk pelantikan !!!











No comments: