Sunday, September 16, 2007

KEMITRAAN PERS DAN PEMKOT SOLO

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)
Materi ini disampaikan dalam FGD, Selasa 11 September 2007,
di Rumah Makan Ramayana, diselenggarakan oleh
Badan Informasi Komunikasi (BIK) Pemkot Surakarta.

RUMUSAN MASALAH EKONOMI
Suatu kehormatan bagi kami saat diminta oleh Badan Informasi dan Komunikasi (BIK) Pemkot Surakarta untuk ikut serta urun rembug dalam FGD Tahap IV yang mengetengahkan tema: Media Massa dan Pemberitaan Masalah Ekonomi. Tema ini cukup menggelitik dan mengundang pertanyaan apa yang dimaksudkan dengan pemberitaan masalah ekonomi ? Karena permasalahan ekonomi memiliki arti luas dan sering kali tidak jelas batasan maknanya. Terikait dengan hal itu, agar topik pembahasan FGD lebih terfocus kami ingin mengawali pembahasan dengan mencoba merumuskan lebih dahulu definisi ekonomi
Pengertian ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu sangatlah kompleks. Pada mulanya pengertian ekonomi, cukup sederhana, yaitu pengaturan administrasi sumber-sumber penghasilan di rumah tangga. Selanjutnya para ekonom mendefinisikan ekonomi dalam pengertian "kekayaan". Misalnya, Adam Smith dalam bukunya An inquiry into the Nature and causes of Wealth of Nations mendefinisikan ekonomi sebagai disiplin ilmu terapan tentang produksi dan penggunaan kekayaan.
Para ekonom yang memperhatikan tentang moral memberikan definisi ekonomi dalam pengertian yang agak berbeda. Sebagai contohnya, Alfred Marshal mendefinisikan ekonomi sebagai suatu disiplin ilmu yang tidak hanya mempelajari tentang kekayaan materi, tetapi juga suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang manusia dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhannya. Lebih lanjut Milton Spenser dalam bukunya Contemporary Economics mendefinisikan ekonomi sebagai "Suatu cara masyarakat memilih jalan yang tepat untuk memperdayagunakan sumber-sumber kekayaan yang terbatas, yang mana mempunyai beberapa penggunaan untuk memproduksi barang-barang kebutuhan dan manfaat lain untuk konsumsi saat sekarang dan yang akan datang". Mengingat sumber-sumber kekayaan yang sangat terbatas dan keinginan manusia akan keyaaan yang tidak terbatas, maka manusia yang bertanggung jawab harus menggunakan sumber-sumber kekayaan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Dari beberapa definisi tersebut, bisa kita tarik benang merah bahwa kegiatan ekonomi semuanya bermuara pada masalah bagaimana upaya meningkatan ” kesejahteraan ”. Merujuk pada hal tersebut kami mengartikan pemberitaan masalah ekonomi adalah pemberitaan yang dilakukan oleh media massa atau pers yang terkait dengan semua kegiatan dan upaya pemkot Surakarta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
PERAN DAN FUNGSI MEDIA MASSA
Dalam UU No 40 tahun 1999 ditegaskan bahwa pers nasional mempunyai fungsi media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pada fungsi informasi, pers dituntut untuk bisa profesional dalam melakukan pemberitaan, menghindari kesalahan, serta harus tetap memperhatikan asas keseimbangan (cover both sides) dalam menyampaikan pemberitaan sehingga meminimalisir resiko menghadapi gugatan hukum dari orang atau badan hukum akibat pemberitaan yang salah dan tidak berimbang dari pers (trial by press). Dalam fungsi pendidikan, tugas kalangan pers yang utama adalah melakukan pemberitaan yang mengandung nuansa edukatif yang positif.

Sedangkan dalam fungsinya sebagai kontrol sosial, pers dituntut bisa memainkan peran sebagai pemegang kunci dalam melakukan tugas pelaporan berkaitan dengan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) akibat kebijakan kontroversi yang dibuat pemerintah. Pada beberapa negara yang masih berkutat dengan masalah kemiskinan, utamanya negara berkembang, permasalahan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) menjadi masalah aktual yang sering dibicarakan. Kondisi di Indonesia permasalahan hak-hak ekosob sering kali mendapatkan porsi penanganan yang tidak seimbang. Pemerintah lebih mengutamakan terhadap pemenuhan hak politik daripada memprioritaskan pemenuhan hak ekonomi masyarakat.
Disatu sisi, pers dalam melakukan kerja investigasi bisa mengungkap suatu kebenaran yang sudah selayaknya diketahui oleh masyarakat dengan tetap menjunjung asas kepatutan dan kelayakan berita. Di sisi lain, pers bisa diposisikan sebagai kekuatan alternatif jika tiga lembaga negara, eksekutif, legislatif dan yudikatif, hanya dijadikan alat kekuasaan dari elit politik yang hanya menginginkan jabatan. Pers juga bisa menjabarkan nilai-nilai HAM dalam setiap pemberitaannya. Diantaranya adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum berdasarkan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat di muka umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, serta yang terpenting tidak menutup-nutupi kejadian yang sudah selayaknya diketahui oleh publik.
SALING CURIGA
Hubungan antara birokrasi dan media massa saling memiliki ketergantungan. Namun nampaknya yang terjadi dilapangan masih sering terjadi kesalah pamahaman diantara keduanya, sehingga tidak jarang munculnya konflik, konfrontasi dan saling tuduh. Sebagai contoh mantan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi pernah mengadukan sejumlah media massa yang menulis pemberitaan soal isu dia kabur ke luar negeri dan privatisasi BUMN. Menurutnya, pemberitaan tersebut sama sekali tidak berdasar karena hanya tersumber dari rumor. Laksamana mengatakan pemberitaan itu telah merusak reputasinya. Dia menilai pemberitaan tersebut yang tidak didasari fakta yang memadai telah melanggar kode etik jurnalistik.
Soal privatisasi sejumlah BUMN, Laksamana menjelaskan, semua keputusan itu berdasarkan undang-undang mulai dari undang-undang BUMN, program pembangunan nasional dan keputusan presiden. Keputusan privatisasi juga tidak hanya diputuskan oleh Menteri Negara BUMN, tetapi juga melibatkan tim kebijakan privatisasi. "Juga ada persetujuan DPR. Pemberitaan itu salah kaprah yang benar-benar salah," ujarnya.
Dalam pengamatan kami munculnya permasalahan di atas tidak hanya untuk pemberitaan untuk skope nasional, namun juga terjadi pada skope lokal, seperti hal di Kota Surakarta. Bila kita cermati hampir semua pemberitaan yang terkait dengan kebijakan Pemkot dalam bidang ekonomi mendapatkan liputan media massa bernada negative. Misalnya renovasi dan pembangunan pasar, city walk, lelang dan penentuan titik reklame, penanganan PKL, pendataan masyarakat miskin dan sejenisnya. Padahal bila kita cermati secara jujur dan obyektif dua tahun pemeritahan Jokowi-Rudy dalam bidang ekonomi sudah banyak mengalami kemajuan bila dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya.
Ironisnya kinerja dua tahun pemerintahan Jokowi-Rudy berdasarkan pooling versi BEM UNS mendapatkan nilai C. Ini menandakan bahwa banyak kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang telah dikerjakan oleh Pemkot Surakarta namun belum diketahui dan terpublikasikan secara optimal. Hal ini diperkuat dengan hasil pooling yang kami selenggarakan dengan Program MAP UNISRI tahun 2006, saat setahun pemerintahan Jokowi-Rudy.
MEM “ PR “ KAN POTENSI EKONOMI KOTA SOLO
Kota Surakarta atau Solo memang unik dan memiliki ragam julukan. Solo kota budaya, Solo kota Wisata, Solo kota Bengawan, Solo kota Perdagangan Ini mencerminkan bahwa kota Solo memiliki magnet dan potensi ekonomi yang sangat besar. Jumlah penduduk Solo kurang lebih 500 ribu. Namun berdasarkan hitungan kasar bila siang hari jumlah penduduk Solo ditaksir bisa mencapai dua juta lebih.
Mari kita cermati data-data yang ada versi Badan Pusat Statistik (BPS) Surakarta tahun 2006. Sebagian besar penduduk Kota Surakarta bekerja di sektor informal (38, 28 %) yaitu dalam bidang perdagangan. Ini telah berjalan ratusan tahun yang lalu, sejak jaman penjajahan. Urutan kedua adalah buruh industri (18,25%) dan buruh bangunan (16,15%).
Tidak hanya itu saja, sarana pendukung dalam kegiatan ekonomi yang berupa pasar tradisional tersebar dipenjuru kota sejumlah 38 pasar. Banyaknya pasar yang ada di Kota Solo menunjukkan intensitas kegiatan ekonomi lokal yang sangat dinamis. Selain pasar tradisional yang menjual kebutuhan pokok sehari-hari, di Kota Solo juga merebak pasar-pasar modern.
Industri di Kota Surakarta meliputi kelompok kecil, sedang, besar. Sampai dengan tahun 2005 jumlah industri kecil di Kota Surakarta menunjukkan jumlah yang paling banyak yaitu 4.589, kemudian usaha menengah sebanyak 69 dan industri besar sebanyak 2. Keadaan ini menunjukkan industri yang ada di Kota Surakarta memiliki peranan penting dalam mendukung perekonomian. Perindustrian yang ada di Kota Surakarta tersebut menyerap tenaga kerja secara keseluruhan sebanyak 45.814 orang.
Kota Surakarta selain melakukan aktivitas dalam perekonomian, juga menyediakan tempat rekreasi yang sering disebut dengan istilah daerah tujuan wisata, yang mampu mendongkrak sektor ekonomi. Sarana penunjang pariwisata di Kota Solo yang berupa tempat penginapan sangat mendukung dan memadai. Jumlah hotel maupun pondok wisata berdasarkan kategori sebagai berikut:

Melihat data potensi ekonomi yang demikian besar tersebut, mestinya akan mampu mondongkrak pamor kota Solo. Namun yang menjadi pertanyaan kenapa pemberitaan media massa seputar masalah ekonomi yang terkait dengan Pemkot Solo, masih sebatas pada ”masalah” dalam artian kasus-kasus yang tendensius dan negatif saja.

Harapan dan tujuan FGD yaitu membangun komunikasi yang harmonis antara institusi pers dengan pemerintah kota Solo dan menumbuhkan jejaring antara praktisi pers dengan aparatur pemerintah kota Solo. Agar tujuan tersebut dapat tercapai menurut kami Pemkot Solo harus menjalin kemitraan dengan pers. Agar kemitraan dapat berjalan ada tiga hal persyaratan yang perlu ditempuh oleh jajaran di Pemkot Solo, dalam hal ini Badan Informasi dan Komunikasi (BIK), Dinas/unit kerja terkait.

Pertama, harus memahami dengan baik fungsi, peran dan tugas-tugas pers. Kedua, menjalankan peran, fungsi dan tugas public relations secara kompeten dan profesional. Ketiga, didukung personil SDM yang kreatif, inovatif, proatif, kompeten dan profesional.

Apabila tiga persyaratan tersebut dapat dijalankan, kami percaya ketimpangan-ketimpangan pemberitaan masalah ekonomi yang negatif yang terjadi selama ini tidak akan terjadi lagi. Sebaliknya citra kota Solo akan semakin positif dimata publik dalam tataran lokal, regional, nasional dan internasional. Semoga.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi & Program MM Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, serta Pengurus BPC Perhumas Surakarta.

PILIH MANA: INVESTASI JEMANI ATAU JANNAH ???

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan (Sekar Tanjung)

Materi disampaikan pada Kultum Taraweh
di Masjid Sekar Tanjung, Ahad, 16 September 2007

Saat ini sebagian orang sedang tergila-gila dengan bisnis tanaman hias, khususnya Jemani dan Gelombang Cinta. Mereka tidak segan-segan untuk memburu tanaman jenis athurium ini sampai blusukkan masuk-keluar kampung dan desa, bahkan kalau perlu sampai ke atas puncak gunung pun didaki. Mereka rela menjalankan itu semua, karena punya pamrih. Pamrihnya hanya satu yaitu dapat meraup keuntungan yang berlipat ganda. Karena harga jemani dan gelombang cinta, saat ini harganya mencapai ratusan juta rupiah. Konon bahkan ada yang berani membeli jemani seharga setengah miliar. Edan !

Sebenarnya ada bisnis yang lebih menggiurkan keuntungannya. Sayang tidak banyak orang yang memburunya. Padahal keuntungan sudah pasti dan dijamin pasti untung. Kalau jemani dan gelombang cinta khan tidak. Bahkan tidak sedikit yang stres dan rumah tangganya diambang kehancuran gara-gara jemani dan gelombang cinta.

Bisnis apa itu ??? Bisnis dengan Allah SWT. Sebagaimana yang dijanjikan Allah dalam Al Quran, surat As Shaaf 61: 10-11.

Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?
(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya,

Marilah kita renungkan firman Allah tersebut, sejauh manakah keimanan kita kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW dan menegakkan kalimat Allah dengan menjalankan jihad dengan harta dan jiwa ? Padahal imbalannya adalah Jannah yang sudah pasti.

Pantaskah kita justru mengesampingkan hanya untuk mengejar dunia dengan cara-cara yang berlebihan, karena tergiur keuntungan yang berlipat gandha yang belum tentu benar adanya ???

Surakarta, 16 September 2007

ANOMALI PASAR " SEMU " BISNIS TANAMAN HIAS

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen
Univertias Slamet Riyadi Surakarta.

(Dimuat di harian Solopos, Sabtu 15 September 2007)

Fenomena meroketnya harga tanaman hias, khususnya jemani dan gelombang cinta, sungguh sangat fantastik. Hampir-hampir tidak dapat dipercaya dengan nalar sehat. Bagaimana tidak ? Harga sebatang jemani atau gelombang cinta diukur dan ditentukan dari berapa besar dan seberapa banyak lembar daunnya. Betapa tidak membuat kita kepincut. Harga tanaman jenis anthurium ini dihargai mulai dari, hanya puluhan ribu sampai ratusan juta rupiah. Ya ratusan juta rupiah ! Seorang teman berseloroh ” Itu semua ya dibayar dengan uang.... ??? ”

Sungguh ini keadaan yang sangat ironis dan kotradiktif. Di satu sisi saat ini sebagian besar masyarakat kita, tengah kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, karena melambungnya harga sembako. Namun disisi lain dengan mudahnya sebagian masyarakat mengeluarkan uang jutaan sampai ratusan juta untuk berburu dan membeli selembar daun. Timbul pertanyaan, apa yang sebenarnya sedang terjadi di negara kita ???

Masyarakat Jawa, yang suka uthak-athik gatuk, menangkap kejadiaan ini sebagai perlambang jaman. Jemani diartikan Kejem lan Wani (kejam dan berani). Mereka mengkaitkan dengan meningkatnya tindak kriminalitas yang disertai kekerasan, kekejaman, dan kesadisan. Tidak hanya itu, muncul pula kesewenang-wenangan para pejabat dalam bentuk kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Misalnya, terjadinya penggusuran yang semena-mena. Wong cilik, tidak ada lagi yang mengayomi, karena merasa tertindas, mereka berani mengadakan perlawanan. Tiada lagi cinta dan kasih sayang kepada sesama. Cinta menjadi barang yang langka dan mahal, yang digambarkan dengan melambungnya harga Gelombang Cinta. Benarkah hipotesis tersebut ? Wallahu alam bi sawab. Karena kami bukan seorang paranormal.
Namun, kami akan mencoba untuk mengungkap dan menganalisis fenomena ini dari kacamata ekonomi yang sesuai dengan kompetensi kami. Sungguh menarik mencermati fenomena jemani dan gelombang cinta.

Dari sudut kacamata ekonomi makro, menurut kami fenomena jemani dan gelombang cinta, merupakan cermin bahwa kondisi perekonomian nasional masih lesu. Perekonomian Indonesia secara umum, masih dalam keadaan sakit, pasca terjadinya krisis ekonomi 1997 yang disusul dengan kenaikkan harga BBM secara beruntun. Walaupun pemerintah selalu mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi meningkat dan inflasi menurun, tetapi kenyataannya sektor riil masih berjalan ditempat.

Apa indikatornya ? Hingga hari ini dana masyarakat yang ada di perbankan hanya berputar antar lembaga keuangan atau ngendon di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk SBI. Dana tersebut tersimpan di laci perbankan, bukan tanpa sebab. Hal ini disebabkan karena tidak bergeraknya sektor riil. Akibatnya perekonomian menjadi lesu, tidak bergairah. Bila roda perekonomian tidak jalan dapat dipastikan daya beli masyarakat pun menjadi lemah. Dalam kondisi yang demikian tidak aneh bila kalangan berduit, kemudian melirik dan mencari alternatif jalan pintas, terjun ke dunia yang untungnya gedhe dan bisa cepat kembali modal.

Kalangan berduit mengkalkulasi. Bila uang ditaruh di deposito bank, jelas akan rugi, karena suku bunga lebih rendah dibandingkan dengan tingkat inflasi. Namun bila menjalankan bisnis seperti biasanya, resiko kerugian menghadang di depan mata. Akhirnya pilihannya jatuh pada bisnis tanaman hias yang tengah booming, yaitu jemani dan gelombang cinta.

KOMODITAS INSTANT
Jemani dan gelombang cinta dalam pandangan kami adalah komoditas instant. Hukum komoditas instant adalah semakin diburu semakin mahal, karena membuat orang semakin penasaran. Rasa penasaran akan menimbulkan panic buying. Namun bila rasa penasaran telah terpenuhi, maka harga komoditas tersebut akan jatuh, kecuali bila komoditas tersebut memiliki value atau manfaat yang tinggi bagi penggunanya.

Ini tidak jauh berbeda dengan artis karbitan. Semakin sering di publikasikan dan semakin gencar ditampilkan, akan semakin cepat top dan semakin meroket namanya Namun juga semakin cepat dilupakan oleh publik bila tidak diimbangi dengan kompetensi, profesional dan kreatifitas.

JEMANI PRODUK INSTANT ?

Kami memprediksi booming jemani dan gelombang cinta tidak akan bertahan lama. Paling banter hanya bertahan antara tiga bulan dan paling lama dua belas bulan ke depan. Bahkan dalam bulan ini, kami yakin bursa jemani dan gelombang cinta akan sedikit dilupakan, karena semua orang baru sibuk memfokuskan dan memprioritaskan pengeluarannya untuk menghadapi bulan puasa dan lebaran.

Gelagat pasar mulai jenuh bila kita jeli melihat, sebenarnya sudah mulai tampak. Kalau dulu katanya jemani dan gelombang cinta, langka dan sempat menghilang di pasaran, tetapi sekarang kita bisa melihat sudah dijajakan di pinggir-pinggir jalan menggunakan mobil.

Ada beberapa faktor sebuah komoditas akan bernilai jual tinggi, yaitu apabila permintaan meningkat, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan penawaran. Namun tidak semua permintaan berponteni menciptakan keuntungan yang berkelanjutan. Tergantung jenis permintaannya. Ada dua jenis permintaan. Pertama, permintaan yang sesungguhnya yaitu permintaan dari konsumen karena meningkatnya kebutuhan mereka terhadap produk itu secara bersamaan. Misalnya menjelang lebaran harga telur dan sembako pasti naik, karena semua orang akan merayakan lebaran.

Kedua, permintaan yang semu, yaitu permintaan yang tidak sesungguhnya. Permintaan ini biasanya tidak wajar, karena direkayasa oleh kekuatan atau orang-orang tertentu. Akibatnya permintaan terhadap komoditas tersebut meningkat tajam, tidak terkendali bahkan irasional.

Permintaan semu akan menciptakan pasar semu. Ciri-ciri pasar semu antara lain produk atau komoditas yang dijual, biasanya dibungkus dengan mitos atau cerita-cerita ajaib yang melingkupi. Jemani misalnya diisukan bahwa tanaman tersebut konon adalah tanaman para raja yang memiliki daya magis tertentu. Di samping itu untuk menaikkan pamor diciptakan beragam nama baru yang ” wah dan nyleneh ” biar terkesan mewah, ekslusif dan prestesius.

Ciri lain orang berlomba-lomba membeli produk bukan karena manfaat, namun karena aspek psikologis. Semata-mata tergiur untuk sekedar mendapatkan keuntungan besar dan berlipat dalam waktu singkat. Kalau boleh jujur sebagian besar pemain pasar anthurium adalah para voulentir,dan broker, bukan pehoby sejati. Merekalah yang sebenarnya berperan mendongkrak dan mempermainkan harga yang semakin melangit.

Lalu bagaimana kita mensikapi fenoma ini ? Ikut ramai-ramai terjun berbisnis ataukah menahan diri ? Kesemuanya berpulang pada Anda. Hanya saran kami, pandai-pandailah melihat dan membaca peluang pasar dengan berbekal kalkulasi bisnis yang matang.

Prinsip ini harus kita pegang ” Bisnis harus rasional, tidak bisa instant dan hanya sekedar menuruti emosional sesaat ”. Hal ini sejalan dengan hikmah dibalik puasa ramadhan. Bagaimana pendapat Anda ? Selamat menjalankan ibadah berpuasa !





Monday, August 6, 2007

CSR DONGENG ATAU KENYATAAN ?

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Pemerintah dan DPR telah sepakat memasukkan CSR sebagai bentuk kewajiban perusahaan dalam UU PT. Secara tegas dalam Bab V Pasal 74 UU PT disebutkan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Tanggungjawab sosial dan lingkungan tersebut merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, di antaranya UU Tentang Lingkungan Hidup.

Latar belakang munculnya aturan ini, salah satunya dipicu adanya berbagai bencana dan kasus kerusakan alam serta dilingkungan yang terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Berbagai bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini ditengarai akibat tidak tertibnya perusahaan dalam mengelola lingkungan. Seperti kasus Buyat, Free Fort, Lumpur Lapindo dan sejenisnya. Hal itu bisa terjadi akibat lemahnya pengawasan terhadap lingkungan oleh perusahaan.

Kesadaran perusahaan terhadap keberlangsungan alam dan lingkungan sekitar memang masih rendah. Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar menengarai baru 50 % perusahaan yang ada saat ini peduli terhadap CSR, terutama di bidang lingkungan.

Tanggapan pengusaha sendiri terhadap CSR beragam. Ada yang setuju dan ada yang terang-terangan menolak keras. Dengan dalih menganggu iklim investasi di Indonesia dan membenani pengusaha. Sedangkan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat, menilai pengaturan CSR sebaiknya sebatas dijadikan kewajiban moral perusahaan yang sifatnya anjuran. Alasannya dalam praktik bisnis di negara lain, tidak ada yang menjadikan CSR sebagai kewajiban perusahaan. Sampai saat ini implementasi CSR ini memang belum jelas. Apakah dana CSR tersebut nantinya akan dipotong dari pajak atau tidak, apakah dananya diambil dari keuntungan atau dari total investasi yang ada atau tidak, itu tergantung peraturan pelaksana UU PT.


CSR DI SEPUTAR KITA

Apabila pemerintah benar-benar ingin mengatur CSR sebagai kewajiban mestinya harus konsisten. Tidak hanya sekedar menuangkan keinginan di atas kertas semata. Namun harus memiliki komitmen menjalankan. Dari pengamatan penulis, penanganan kasus pencemaran lingkungan yang ada diseputar Soloraya selama ini, nampak keberpihakan pemerintah kepada para pengusaha masih sangat terasa sekali.

Betapa tidak. Mari kita lihat kasus yang terjadi di Kabupaten Karanganyar beberapa waktu yang lalu. Ada empat perusahan yang diseret ke meja hijau degan dakwaan melakukan pencemar lingkungan, yaitu PT Sari Warna Asli, PT Sekar Bengawanteks, PT Sawah Karunia Agung, PT Suburteks. Namun keempat perusahaan itu hanya dijatuhi hukuman yang sangat ringan. Antara empat hingga enam bulan penjara dengan masa percobaan, serta hanya diwajibkan membayar uang denda sebesar Rp 20 juta hingga Rp 75 juta. Alasan pengadilan negeri menjatuhkan hukuman yang sangat ringan tersebut adalah karena limbah yang dikeluarkan tidak mengganggu secara langsung terhadap pertanian disekitarnya. Selain itu, perusahaan telah berupaya melakukan perbaikan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL).

Jelas sekali ringannya hukuman dan denda ini sangat mengusik rasa keadilan, karena tidak sepadan dengan dampak yang ditimbulkan. Rusaknya ratusan hektar tanah pertanian, tercemarnya sumur penduduk dan terjangkitnya berbagai penyakit kulit yang menimpa warga sekitar. Itu semua harus ditanggung oleh penduduk yang nota bene adalah rakyat kecil “wong cilik”. Yang sedikitpun mereka tidak menikmati keuntungan yang diperoleh perusahaan.

Padahal bila kita mengacu pada UU Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997, ancaman pidana bisa di atas lima tahun. Ini merupakan sebuah “tragedi kemanusiaan” kejadian yang sangat ironis dan kontradiktif, dengan pencanangan Hari Lingkungan Hidup yang diperingati setiap tanggal 06 Juni. Komitmen pemerintah baru sebatas retorika dan lip service belaka.

Kita menyadari bahwa penanganan masalah lingkungan hidup memang tidak sederhana dan tidak cukup sekedar slogan. Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, pun mengakui bahwa isu lingkungan hidup belum dianggap penting. Untuk itu ia berkomitmen, siap membawa perusahaan hitam ke pengadilan (Warta Ekonomi, 2005). Sementara langkah kongkrit yang ditempuh pemerintah baru sebatas membuat Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER), dengan memberi lebel perusahaan mulai dari emas, hijau, biru, merah, hingga hitam. Serta memasukkan kewajiban CSR dalam UU PT. Langkah pemerintah ini pun di tengah jalan penulis yakin akan banyak menghadapi hambatan dan tantangan dari para pengusaha yang tidak setuju.

Sejauh mana sebenarnya bangsa ini memiliki komitmen untuk mewujudkan lingkungan hidup yang ramah lingkungan. Masih perlu diuji dan dikaji secara mendalam. Keberadaan perusahaan terkait dengan kepeduliannya terhadap tanggung jawab sosial di tengah masyarakat sekitarnya dapat kita bagi dalam tiga katagori.

Pertama, manajemen perusahaan bekerja hanya untuk kepentingan pemodal. Dengan demikian manajemen bekerja semata-mata hanya untuk mencapai kesejahteraan stakeholder perusahaan. Kedua, manajemen bekerja untuk menyeimbangkan kepentingan perusahaan dan kepentingan masyarakat. Ketiga, manajemen bekerja untuk bertanggung jawab melayani kepentingan masyarakat. Melalui program-program sosial yang dirancang untuk mensejahterakan masyarakat.

Milton Friedman, peraih nobel dibidang ekonomi, secara terang-terangan, dan tanpa tedeng aling-aling, mengatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan doktrin subversif. Artinya manajemen perusahaan bekerja atau mengabdi hanya semata-mata untuk kepentingan pemilik modal, sehingga semua kegiatan dicurahkan untuk menciptakan keuntungan bagi pemilik modal. Kalaupun perusahaan harus mendukung kegiatan sosial di masyarakat harus bermuara pada profitabilitas. Ada imbal baliknya.

Rupa-rupanya manajemen dan pemilik modal di Indonesia lebih suka mengikuti jejak Milton Friedman. Walaupun dari aspek legalitas dan formalitas kita sudah memiliki undang-undang dan peraturan yang terkait dengan lingkungan hidup. Namun ternyata belum bisa berbuat banyak. Undang-undang dan aparat penegak hukum masih mandul, bila berhadapan dengan kekuasaan dan pemilik modal.

Di sisi lain saat ini keberanian masyarakat untuk menyuarakan hak dan kewajiban semakin meningkat. Mereka menghendaki agar tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan merupakan bagian integral dan sama sekali bukan tugas yang terpisah dari fungsinya. Tuntutan ini sebenarnya bukan merupakan barang baru. Lontaran tersebut sudah pernah dikemukakan John Huble, dalam Social Responsibility Audit. A Management Tool for Survival, dua dasawarsa lalu.

Namun rupanya sebagian besar para pengusaha di Indonesia, masih lebih suka mengganut pameo “Bisnis is bisnis”. Yang berpandangan bahwa perilaku bisnis tidak bisa dibarengkan dengan aspek moralitas. Antara bisnis dan moralitas tidak ada kaitan apa-apa. Itulah pendapat pelaku dunia usaha yang dikatagorikan sebagai “ Bisnis a moral ”.

Mari kita renungkan ungkapan Henry Ford, industrialis Amerika, yang hidup pada dekade 1863-1947, sebuah bisnis yang hanya menghasilkan uang adalah jenis bisnis yang buruk. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Staf Pengajar Program Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Wednesday, August 1, 2007

DANA TELPON PEJABAT DAN OPERASIONAL RT/RW

Artikel dimuat di harian Solopos, Rabu, 01 Agustus 2007
di rubrik gagasan

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi Surakarta

Para pejabat dilingkungan Pemkot Solo ibaratnya baru ketiban awu anget. Betapa tidak ? Fasilitas komunikasi bantuan dana telpon yang mereka terima rutin tiap bulan, yang jumlahnya bervariasi sesuai dengan kedudukan dan jabatan, terendah Rp 250 ribu dan tertinggi Rp 4,5 juta. Total keseluruhan dana telpon berjumlah Rp 149,7 juta. Keberadaan dana tersebut dipersoalkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), karena dianggap menyalahi Peraturan Pemerintah No. 58/2005, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara. Dengan kata lain bagi pejabat penerima bantuan bisa dikatagorikan telah melakukan tindak pidana korupsi. Mendengar kata-kata tuduhan korupsi tersebut, saya yakin para pejabat pemkot Solo menjadi miris dan keder juga. Apalagi saat ini pemerintah baru “galak-galaknya” melakukan pembrantasan korupsi.
Menindaklanjuti temuan tersebut Wakil Walikota (Wawali) Solo, FX Hadi Rudyatmo, meminta pejabat yang telah menerima bantuan telpon untuk mengembalikan bantuan ke kas daerah mulai awal Agustus 2007 (Solopos, 23 Juli 2007). Sudah tepatkah respons Wawali untuk mengeluarkan seruan tersebut ? Apakah tidak perlu melakukan klarifikasi dan komunikasi dengan BPK lebih dahulu ? Melakukan kajian hukum terhadap peraturan dan perundangan secara komprehensif dan substansional ? Karena tindakan reaktif Wawali ini bisa jadi menimbulkan kesan bahwa jajaran Pemkot Solo sangat takut terhadap institusi aparat penegak hukum ? Pendapat ini dikuatkan dengan marak pemberitaan di media terkait pejabat publik yang diseret ke pengadilan dan dipenjara dengan tuduhan korupsi.
Bukan bermaksud saya ingin membela para pejabat pemkot Solo. Namun mari kita berpikir jernih. Mari kita buat ilustrasi, kita berempati seolah menjadi penerima dana bantuan telpon untuk tingkatan yang paling rendah. Sebagai ajudan walikota/wawali tiap bulan menerima Rp 400 ribu. Berarti tahun anggaran 2006 menerima Rp 4,8 juta. Sedangkan sekretaris walikota/wawali tiap bulan menerima Rp 250 ribu, sehingga total untuk tahun anggaran 2006 menerima total Rp 3 juta. Dari pemeriksaan BPK dana tersebut dianggap haram dan harus dikembalikan.
Pasti kita sebagai karyawan di lapangan tidak habis berpikir. Dalam hati memberontak. Bukankah apa diterima, kita tinggal menerima ? Tidak pernah meminta dan mengajukan ? Dan apa kita terima legal, karena ada dasar hukumnya. Bukan mengambil secara slintutan atau mencuri. Penerimaan dana telpon tahun anggaran 2004 berdasarkan Keputusan Walikota No. 060/148/1/2004 dan tahun anggaran 2005 berdasarkan Keputusan Walikota No. 060/161-A/1/2005. Kenapa tiba-tiba dituduh korupsi ? Kalau dana itu harus saya kembalikan betapa beratnya.
Berapa besar gaji karyawan pemkot untuk petugas lapangan ? Darimana mendapatkan dana sebesar itu ? Padahal dana tersebut memang betul-betul digunakan untuk membeli pulsa. Untuk melayani komunikasi dengan atasan dan memperlancar memberikan pelayanan kepada masyarakat. Boleh jadi bila dihitung dengan benar, terkadang malah tombok ?
Ketidak Jelasan Aturan.
Skandal atau kasus anggaran terkait pemanfaatan dan alokasi dana APBD banyak ragam bentuknya. Saat ini sedang marak, terjadi hampir diseluruh pemerintah daerah di Indonesia. Solo tidak sendirian, yang kesandung masalah seperti ini sebenarnya banyak. Hanya saja kebetulan yang tercium pers lebih dulu Pemkot Solo. Mengapa permasalahan anggaran ini sering terjadi ? Ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus penganggaran APBD diberapa daerah mencuat akhir-akhir:
Pertama, proses peralihan penganggaran tradisional ke pengganggaran kinerja belum berjalan sebagai mana mestinya. Masih banyak kendala di lapangan terutama menyangkut kesiapan kompetensi dan profesionalisme SDM yang membidangi anggaran masih sangat terbatas.
Kedua, peraturan dan perundangan yang mengatur penganggaran berada dalam masa transisi. Sering berubah-ubah dan terkadang tumpah tindih. Tidak aneh bila membingungkan dan terkadang menimbulkan beda penafsiran.
Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyusun anggaran, pelaksana anggaran dan institusi pemeriksa dalam menjalankan tugas sering menggunakan pijakan dan kreteria serta parameter yang berbeda-beda.
Keempat, pihak-pihak yang terlibat dalam penganggaran dan pengawasan anggaran tidak memiliki kedudukan dan kesetaraan yang sepadan menyangkut kompentensi penganggaran. Dalam pandangan saya, BPK saat ini powernya sangat kuat, superior. Ibaratnya “ malaikat penjabut nyawa “, sehingga kedudukan pelaksana dan pengguna anggaran menjadi inferior.
Kelima, penganggaran APBD mulai dari tahapan penyusunan, penetapan, pelaksanaan, pelaporan dan pertangungjawaban perlu diwaspadai, sering dijadikan bahan komoditas politik, bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menjatuhkan citra lembaga pemerintah daerah atau citra seorang pejabat yang dianggap lawan politiknya.
Akar permasalahan dari bantuan dana telpon menurut versi BPK adalah menyangkut Spj bukti pengeluarannya. Bukan pada obyek pengeluarannya itu sendiri. Ini seharusnya yang dipahami oleh kita semua lebih dahulu. Sehingga inilah yang harus dicarikan jalan keluarnya. Bukan kemudian menghapus atau rame-rame mengembalikan ke kas daerah. Memang tidak mudah untuk meng-Spj-kan dana bantuan telpon. Mengingat saat ini komunikasi yang digunakan para pejabat menggunakan telpon seluler. Saya bisa membayangkan, betapa sulitnya bila kita harus membuat SPJ terkait penggunaan pulsa telpon seluler (HP). Terutama untuk memisahkan mana yang untuk kepentingan pribadi dan mana yang digunakan untuk keperluan dinas.
Saya sependapat dengan Dekan Fakultas Hukum UNS, Moh Jamin, SH, M.Hum, mensikapi skandal ini, harus pula dilihat dari aspek pemanfaatan bantuan tersebut, apakah untuk kepentingan dinas atau tidak. Perlu juga dilihat bantuan tersebut termasuk fasilitas jabatan atau tidak. Kacamata telaah tidak bisa hanya semata-mata menggunakan pendekatan legal formal saja.
Permasalahan ini harus dituntaskan dengan transparan dan proporsional. Bila tidak saya khawatir layanan publik ke depan menjadi lebih buruk. Karena para pejabat sulit dihubungi atau enggan melakukan koordinasi lapangan gara-gara tidak tersedianya anggaran. Keadaan akan menjadi lebih gawat lagi saat terjadi bencana atau keadaan darurat yang membutuhkan koordinasi dan komunikasi intensif, gara-gara HP para pejabat pemkot Solo tulalit.
Preseden ini, bila tidak di-clear-kan akan dampak psikologis dan ekonomi. Dampak psikologis yaitu timbulnya anggaran traumatik. Adanya ketakutan dari para pejabat penyusun, pengguna dan pelaksana anggaran dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Sedangkan dampak ekonomi akan terhambat dan tersendatnya pembangunan di suatu daerah. Gejala ini sudah mulai nampak, beberapa waktu yang lalu, beberapa Kepala Daerah menghadap Wakil Presiden, Yusuf Kala, melaporkan banyak pejabat daerah takut menjadi pimpinan proyek alias pimpro pembangunan, karena takut terkena tuduhan korupsi.
Tidak hanya ditingkatan SKPD saja yang dibayangi ketakutan terkena tuduhan korupsi. Para pengurus RT dan RW pun harus berfikir ulang saat menerima bantuan operasional dari Pemkot yang dikucurkan untuk tahun anggaran ini, yang besarnya Rp 600 ribu untuk RT dan Rp 360 ribu untuk RW. Apalagi saat akan pencairan beberapa hari yang lalu sempat timbul beda persepsi antara Kantor Keuangan dan Bagian Pemerintahan dan Otda, terkait dengan peng-Spj-an dana bantuan operasional tersebut. Bagian Pemerintahan dan Otda meminta semua pengeluaran harus di-Spj-kan dengan lengkap didukung dengan bukti pengeluaran. Sedangkan Kantor Keuangan lebih longgar yang penting ada pertanggungjawaban anggaran yang disertai penjelasan penggunaan dana.
Jangan-jangan tahun depan bila BPK melakukan pemeriksaan dengan pedoman dan standar yang sama, seperti saat memeriksa dana bantuan telpon, para Ketua RT dan RW se-Solo juga dianggap telah melakukan korupsi dan harus mengembalikan dana yang telah diterima ke kas daerah, karena dianggap SPJ-nya tidak lengkap dan tidak sah ? Betapa pontang-pantingnya pak RT dan pak RW. Mumpung sebagian dana RT dan RW belum semua dicairkan, menurut saya alokasi dana operasional RT/RW perlu dipending lebih dulu, menanti kejelasan boleh dan tidaknya. Bila diijinkan bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya harus jelas.
Jangan sampai RT dan RW yang telah bekerja penuh pengorbanan, tahun depan harus pontang-panting berurusan dengan pihak berwajib. Kasihan mereka ? Bagaimana pendapat Anda ?

Wednesday, July 25, 2007

AUDIT DANA KAMPANYE JANGGAL ?

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Senin, 18 Juli 2005, Audit Dana Kampanye para Cawali Kota Solo, yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Ruchendi Mardjito, telah di umumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Kota (KPUK) Surakarta. Pasangan cawali Jokowi menghabiskan dana Rp 3,312 milyar, Hardono Rp 3 milyar, Achmad Purnomo Rp 2,4 milyar dan Slamet Suryanto Rp 838,841 milyar.

Laporan hasil audit dana kampanye ini membuat banyak orang terkejut. Setengah tidak percaya. Serta menimbulkan ganjalan dalam benak sebagian masyarakat. Benarkah hanya sebesar itu dana kampanye yang dikeluarkan oleh masing-masing pasangan cawali ? Padahal dalam itung-itungan orang awam secara kasar, khususnya untuk pasangan cawali Jokowi, Achmad Purnomo dan Hardono, minimal bisa menembus angka Rp 10 milyar. Sebab kita semua menyaksikan betapa gegap gempitanya waktu kampanye. Mengerahkan puluhan ribu massa dan menghadirkan artis mulai tingkat lokal sampai nasional. Pesangan alat peraga besar-besaran dan jor-joran dalam bentuk baliho, spanduk, dan iklan di media massa. Pembagian kaos dan uang transportasi ke lokasi kampanye. Pemberian berbagai bentuk sumbangan pun mengalir ke masyarakat. Benarkah hanya mengabiskan dana sebesar itu ?

Di samping itu, menurut saya terdapat kejanggalan untuk pasangan cawali Slamet Suryanto. Bila di awal dilaporkan hanya memiliki kekayaan sebesar Rp 402 juta, tetapi anehnya dana kampanye yang dikeluarkan bisa mencapai dua kali lipat, yaitu sebesar Rp 838,841 juta. Sangatlah tidak logis. Mestinya yang bernama sumbangan hanyalah sebuah stimulan saja. Sangatlah aneh bila dana kampanye yang dikeluarkan sebagian besar justru berasal dari para donatur. Pertanyaan yang sekarang muncul adalah bisakah hasil audit tersebut dipercaya ?

Salah satu tujuan penyelenggaraan pilkada adalah untuk mewujudkan dan menegakkan sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi kedaulatan sepenuhnya ada di tangan rakyat. Tidak terkecuali dalam memilih dan menentukan cawali atau cawawali. Setiap warga masyarakat pasti mengidamkan fiqur cawali dan cawawali yang amanah, jujur, bersih dan bertanggungjawab, serta mampu bekerja secara professional dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan.

Agar tidak keliru memilih, seperti “membeli kucing dalam karung”. Sejak awal setiap cawali dan cawawali diharus menunjukkan jati dirinya. Apa adanya secara transparan. Menyangkut track record masa lalunya, visi dan misi, jumlah harta kekayaan yang dimiliki dan sumber dana yang digunakan untuk kampanye.

Khusus informasi yang terkait dengan aspek finansial, meliputi harta yang dimiliki, sumber sumbangan pendanaan dan penggunaan dana kampanye sangat penting diketahui oleh publik. Sebab dari harta yang dimiliki, serta aliran dana masuk dan dana keluar, masyarakat akan mengetahui motivasi dibalik pencalonan, sumber dana yang digunakan dan siapa saja yang memback up pencalonannya. Adakah tokoh-tokoh golongan hitam yang berdiri dibelakangnya ?

Sebab dalam penyelenggaraan pilkada sangat dimungkinkan terjadinya praktik money laudry. Bila ini terjadi, maka akan sangat berbahaya dan berdampak buruk terhadap pelaksanaan demokrasi. Karena kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang akan diambil oleh cawali pemenang, pasti akan direcoki dan disetir oleh tokoh-tokoh golongan hitam tersebut. Tidak menutup kemungkinan cawali yang demikian nantinya hanya sekedar menjadi “walikota boneka “.

Untuk itu semua lapisan warga masyarakat memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk mengawal demokrasi. Caranya antara lain dengan berperan aktif mencermati secara jeli, setiap sen rupiah yang diperoleh dan dipergunakan para cawali dalam membiayai pencalonannya. Jangan sampai kecolongan. Tetapi tentunya, tidak semua orang memiliki keahlian dan ketrampilan untuk melakukan hal itu. Sebab untuk melakukan pemeriksaan (pengauditan) harus melalui prosedur tertentu yang harus ditempuh. Tidak bisa sembarang orang.

Bagian dari elemen masyarakat yang kompeten melakukan hal itu adalah Kantor Akuntan Publik (KAP). Itulah sebabnya dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 66 huruf m ditegas bahwa KPUK berkewajiban menetapkan KAP. Mengapa KAP yang harus mengaudit dan siapakah Akuntan Publik itu ? Bagaimana prosedur auditnya ?

KAP adalah badan usaha yang telah mendapat ijin dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Akuntan Publik dalam memberikan jasa profesi. Sedangkan Akuntan Publik adalah akuntan yang telah memperoleh ijin dari Menteri Keuangan untuk memberikan jasa profesi. Dalam menjalankan jasa profesinya, akuntan publik dan KAP wajib mematuhi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan Kode Etik yang telah di tetapkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAI), serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan prosedur audit dalam audit dana kampanye adalah audit uji kepatuhan (compliance audit). Uji kepatuhan terhadap ketentuan undang dan peraturan yang berlaku, serta uji kepatuhan dan uji subtansi terhadap aliran kas masuk dan aliran kas keluar atas dana kampanye. Sedangkan skedul waktu pelaksanaan audit adalah sebagai berikut (PP 6/2005, pasal 65 dan 66):

KAP telah mengaudit sumbangan dana kampanye H-1 dan H+ 1, sebelum dan sesudah masa kampanye. Hasil audit kemudian diserahkan kepada KPUK. Sehari setelah menerima laporan sumbangan dana kampanye KPUK mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye melalui media massa.

Sementara itu keseluruhan penggunaan dana kampanye yang digunakan oleh cawali dilaporkan kepada KPUK tiga hari setelah hari pemungutan suara. Paling lambat dua hari dari penerimaan laporan dana kampanye KPUK harus menyerahkan laporan dana kampanye kepada KAP.

KAP melakukan audit dana kampanye paling lambat selama lima belas hari untuk kemudian diserahkan kepada KPUK. KPUK paling lambat tiga hari setelah menerima laporan hasil audit, berkewajiban mengumumkan hasil audit kepada masyarakat secara terbuka.

Pelaksanaan audit dana kampanye ini, untuk mendorong terwujudnya asas tertib penyelenggaraan, transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan umum dalam pilkada di era otonomi daerah. Dengan proses dan prosedur yang demikian diharap pilkada akan melahirkan cawali yang kredibel dan akuntabel.

Melihat begitu pentingnya peran dan tugas KAP dalam mengawal demokrasi. Pemilihan dan penetapan KAP seharus dipersiapkan dengan matang. Bila perlu jauh hari sebelum tahapan kampanye berlangsung. Dengan mengedepankan aspek obyektifitas dan rasionalitas, disertai dengan kreteria dan indikator yang jelas dan transparan.

Mengapa demikian ? Karena sebagaimana diatur dalam PP No. 6/2005, pasal 65 ayat 6 dan 7, KAP mengaudit laporan sumbangan dana kampanye satu hari sebelum dan sesudah masa kampanye berlangsung. Setelah selesai diaudit sumbangan dana kampanye diumumkan KPUK melalui media massa.

Namun yang terjadi KPUK Surakarta, hanya membuat realese tentang sumbangan dana kampanye yang belum diaudit ke media massa, sehari sebelum masa kampanye. Ini artinya sejak awal, telah terjadi “cacat prosedur”, dalam tahapan penetapan KAP dan pelaksanaan audit dana kampanye. Menurut saya ini terjadi akibat kelalaian dan keteledoran KPUK, sehingga penetapan KAP dan pelaksanaan audit tidak sejalan dengan UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005.

Karena pelaksanaan audit tanpa persiapan waktu yang cukup, ini dapat berimbas laporan hasil audit, tidak dapat memenuhi standar auditing. Bila hal ini yang terjadi, bisa memicu konflik dan menimbulkan mosi tidak percaya masyarakat kepada KUPK dan KAP yang ditunjuk. Apa yang saya sampaikan ini tidak ngayoworo. Karena temuan audit, merupakan bukti awal yang kuat, yang dapat ditindak lanjuti oleh pihak yang berwajib dalam memproses terjadinya suatu pelanggaran dalam pilkada.

Coba kita cermati dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005, calon terpilih dapat dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon, apabila ditemukan pelanggaran adanya sumbangan dana kampanye yang berasal dari negara asing, lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing; penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya; pemerintah, BUMN dan BUMD.

Di samping itu temuan audit memiliki implikasi sanksi hukum dan denda. Mulai dari kurungan penjara berkisar 1 s/d 24 bulan. Dan denda berkisar antara 1 juta s/d 1 miliar rupiah. Baik bagi cawali, tim sukses, auditor, penyumbang dana, maupun siapa saja yang memberikan informasi tidak benar terkait dana kampanye.

Apabila penetapan KAP dan pelaksanaan audit dana kampanye sejak awal telah cacat prosedur. Dan hasil audit ternyata jauh dari yang kita duga. Maka sejauh manakah validitas hasil laporan audit dapat dipercaya ? Mampukah hasil laporan audit mengungkap temuan penyimpangan ? Disinilah indepensi dan profesionalisme KAP diuji dan dipertaruhkan. Semoga tidak ada dusta diantara kita ! Mari kita tunggu bersama !

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana MM Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta..






KECIL KEMUNGKINAN DANA MEDICAL KEMBALI

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Kasus CV Medical telah memasuki babak antiklimak. Kamis, 14 Juli 2005 untuk pertama kalinya kasus ini memasuki masa persidangan di pengadilan. Dengan menyeret Direktur CV Medical, Timotius Tri Sabarno sebagai terdakwa utama dalam kasus ini. Kasus ini meledak sekitar pertengahan bulan Maret 2005. Saat Timotius, sudah tidak sanggup memenuhi kewajibannya membayar bunga 10 persen tiap bulan dan mengembalikan modal para investor.

Wajar saja bila Timotius tidak bisa memenuhi kewajibannya. Karena bisnis gingseng yang selalu dibangga-banggakan itu, ternyata hanya bohong-bohongan alias fiktif. Sadar bahwa dirinya telah dikibuli Timotius, umumnya investor hanya pasrah. Tidak melakukan perlawanan secara hukum. Karena faktor psikologis dan malu dengan lingkungannya, maka tidak mengherankan dari puluhan ribu korban, hanya sedikit yang melaporkan dan mengadukan kasus ini ke kepolisian.

Inilah salah satu “kejeniusan” Timotius dalam mengelabui para korban. Dengan suka cita dan suka rela para menyerahkan uang puluhan bahkan sampai ratusan juta. Namun saat kedok penipuan terkuak mereka tidak bisa berbuat banyak. Hanya mampu melontarkan sumpah serapah, namun malu melaporkan kepada yang berwajib.

Kini puluhan ribu petani dan investor hanya menjerit, sambil berharap uangnya dapat kembali. Seraya uangnya akan kembali.

yang mengegerkan ini akhirnya menyisakan banyak masalah. Karena korbannya mencapai puluhan ribu, dengan jumlah total kerugian diprediksi mencapai ratusan milyar. Tidak tanggung-tanggung korbannya, tidak hanya warga Solo, namun tersebar di seluruh Indonesia.

BBM NAIK ? TINGGAL TUNGGU WAKTU

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Benarkah saat ini telah terjadi kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) ? Mengapa sampai terjadi kelangkaan BBM ? Bukankah negera kita termasuk salah satu negara pemasok minyak dunia ? Mengapa BBM tiba-tiba bisa menghilang begitu saja ?

Padahal berdasarkan data yang ada, jumlah kuota BBM yang disepakati dalam APBN Perubahan 2005, secara total jumlahnya mencapai 59,61 juta kilo liter. Di atas kertas jumlah kuota BBM ini, sebenarnya telah mencukupi untuk kebutuhan sepanjang tahun 2005. Namun mengapa terjadi kelangkaan ? Kelangkaan BBM yang terjadi di sejumlah kota di Indonesia belakangan ini, sesungguhnya sangat tidak masuk akal. Apalagi realisasi penyaluran dalam lima bulan pertama masih sekitar separuh dari kapasitas yang ada, yakni sebesar 25,61 juta kilo liter (Republika, 26 Juli 2005).

Artinya ada persoalan lain yang menjadi penyebab langkanya BBM. Menurut pengamatan saya, akar persoalan utama kelangkaan BBM sebenarnya terletak pada masalah besaran subsidi. Subsidi BBM yang dianggarkan dalam APBN diambang kritis dan tidak mencukupi. Akibat melonjaknya harga minyak di pasar internasional yang menembus harga hingga US $ 60 perbarel. Padahal dalam APBN Perubahan 2005 subsidi BBM yang dianggarkan hanya sebesar Rp 76 trilyun. Itu saja dengan asumsi harga yang lebih rendah dari harga pasar dunia, yaitu sebesar US $ 45 perbarel.

Repotnya, sampai semester pertama tahun 2005, dana subsidi BBM yang telah dicairkan sebesar Rp 46 trilyun. Artinya besarnya subsidi tinggal Rp 30 trilyun. Jelas sisa ini tidak akan mencukupi kebutuhan enam bulan ke depan. Paling banter hanya dapat digunakan untuk mensubsidi tiga setengah bulan kedepan. Padahal tahun anggaran 2005 baru akan berakhir pada akhir bulan Desember 2005. Kondisi inilah yang menurut saya membuat pemerintah menjadi panik. Cermin kepanikan itu, bisa dilihat dengan terbitnya Inpres Nomor 10/2005 tentang Penghematan Energi. Yang kemunculannya terkesan terburu-buru tanpa didahului kajian mendalam. Sehingga menimbulkan pro dan kontra.


Saya prinsip sangat setuju dan mendukung bila pola konsumsi BBM harus direm dan dikendalikan. Namun seharusnya, sebelum Inpres ke luar, mestinya diindentifikasi dan dipetakan lebih lebih dahulu, penggunaan mana yang seharus direm dan dikendalikan. Jangan sampai inpres ini hanya sekedar dimanfaatkan untuk acara seremonial.

Apakah efektif dan efisien bila penghematan engergi hanya sebatas pengurangan penggunaan listrik, alat transportasi dan AC, misalnya ? Apakah justru tidak kontra produktif ?

Kita sepakat penggunaan energi yang boros menyebabkan pembengkaan subsidi BBM yang berimbas pada APBN yang defisit. Untuk menutup defisit, mau tidak mau pemerintah terpaksa harus berhutang. Padahal jumlah kumulatif utang kita sudah sangat besar. Untuk tahun anggaran 2005 saja sekitar sepertiga anggaran, kurang lebih sekitar Rp 140 triliun, telah habis tersedot hanya untuk membayar utang.

Sering muncul pertanyaan. Indonesia termasuk negara penghasilan minyak dunia, tetapi kenapa setiap ada kenaikan harga minyak, kita menjadi kelimpungan ?

Padahal di era tahun tujuhpuluhan saat terjadi booming kenaikan harga minyak, negara kita sempat dimanjakan bermandikan dengan dolar. Bak tertimpa durian runtuh. Namun kenapa sekarang malah terjadi yang sebaliknya ? dan kenapa pemerintah harus memberikan subsidi ?

Rupanya saat ini, telah terjadi “wolak-waliking jaman”. Dulu kita sebagai pengekspor minyak, namun sekarang kita sebagai pengekspor dan sekaligus pengimpor minyak. Akibatnya setiap ada kenaikkan harga minyak dunia kita menjadi kelabakan. Mengapa ?

Setiap ada kenaikkan harga minyak sebesar US $ 1 per barel pemerintah akan mendapat tambahan penghasilan kurang lebih sebesar Rp 3,8 – Rp 3,9 trilyun. Tetapi di sisi lain pemeritah juga harus menambah jatah bagi hasil, untuk daerah-daerah penghasil minyak. Ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda). Selain itu pemerintah juga harus memberi uang yang lebih banyak kepada Pertamina untuk membeli BBM. Mengapa pemerintah harus membeli BBM dari Pertamina ?



Tidak perlu heran, karena Pertamina saat ini telah menjadi persero atau perusahaan yang terpisah. Jadi untuk memproduksi dan mengimpor BBM Pertamina harus ke luar uang sendiri. Sementara itu dalam menjual BBM di dalam negeri Pertamina harus tekor, karena tidak dapat menjual dengan harga pasar internasional. Untuk menutupi selisih harga pasar domestik dan internasional itulah pemerintah mengucurkan dana ke Pertamina. Itulah yang disebut dengan “subsidi”.

Apabila dikalkulasi, maka setiap tambahan pengeluaran pemerintah untuk bagi hasil dan untuk subsidi BBM. Untuk setiap kenaikan harga minyak dunia sebesar US $ 1, bisa mencapai Rp 3,9-Rp 4,5 trilyun. Padahal saat ini kenaikannya mencapai hampir US $ 20. Dapat dibayangkan bila tidak terjadi penghematan, subsidi BBM bisa mencapai angaka Rp 100 triliun. Kuatkah pemerintah menanggung kenaikan subsidi sebesar itu ? Bila kuat untuk seberapa lama ?

Sehingga saya memprediksi apabila harga minyak dunia terus membumbung naik, maka tidak ada pilihan lain. Pemerintah pasti akan menaikkan harga BBM. Inilah pilihan yang tidak popular ! Namun harus tetap diambil.Walaupun pemerintah saat ini menyatakan belum terpikir untuk menaikkan harga BBM. Rasa-rasanya sulit bagi pemerintah untuk tetap memegang janji. Mengingat pilihan yang dihadapi pemerintah saat ini sangat dilematis. Uangnya cumpen.

Bila subsidi ditambah, hutang bertambah. Bila tidak ada tambahan subsidi, kelangkaan BBM pasti akan semakin bertambah meluas. Tetapi bila harga BBM dinaikkan, pasti juga akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Dan persoalannya pun akan beralih dari krisis energi ke krisis kepercayaan.

Menurut hemat saya, sambil menunggu dan berharap harga minyak dunia stabil, komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memberantas dan menindak kejahatan penyalahgunaan BBM, seperti penimbunan, pengoplosan dan penyeludupan BBM ke luar negeri harus betul-betul dijalankan.

Law enforcement harus dijalankan dan ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Sangatlah naif bila rakyat dihimbau berhemat, namun di sisi lain segelintir orang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi. Ibaratnya dia tega menari di atas penderitaan wong cilik.



Apa sih ruginya bila sekali waktu pemerintah melindungi dan membela kepentingan wong cilik ? Yang dimanjakan jangan hanya segelitir konglomerat saja. Coba kita lihat ! Bila untuk rekapitulasi perbankan saja pemerintah mampu menyediakan dana Rp 70 trilyun untuk segelintir bankir. Dan ironisnya setelah banknya sehat, mereka jual ke luar negeri. Apakah pantas pemerintah owel bila harus mensubsidi rakyat kecil ?

Langkah lain yang harus ditempuh untuk meringankan subsidi BBM, bisa ditempuh dengan efisien dan efektiftivitas dalam penggunaan dana APBN. Jangan ditolerir praktik mark up dan KKN, yang salama ini telah menjadi tradisi dan membudaya dikalangan birokrat. Sehingga penghematan dana tadi akan lebih bijaksana bila dimanfaatkan untuk membantu rakyat kecil. Setuju ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana Magister Manajemen (MM) Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta.

PELAYANAN PRIMA

Menagih Komitmen Pemkot Solo dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima
Mewujudkan Pelayanan Prima di Lingkungan Pemkot Solo. Pelayanan prima “Service Excellence (SE) adalah suatu sikap atau cara para karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan. SE mencakup 3 aspek yaitu kemampuan professional, kemauan yang teguh dan sikap dalam menyalani, senang, ikhlas dan tulus dalam menyelesaikan pekerjaan dan menangani keluhan.

4 unsur pokok dalam SE:
1. Kecepatan
2. Ketepatan
3. Keramahan
4. Kenyamanan

Standar SE:
1. Sikap personil
2. Kualitas pelayanan
3. Waktu
4. Kemudahan
5. Kenyamanan
6. Keamanan
7. Biaya

Mengapa perlu SE ?
Ketatnya persaingan
Meningkatnya kebutuhan pelanggan
Pertumbuhan industri jasa
Nilai tambah dan citra perusahaan
Keterbatasan Manusia

Merupakan suatu kesatuan pelayanan jasa yang terintegrasi. Bila salah satu tidak ada, maka pelayanan menjadi tidak prima, pincang.

SE, hukumnya wajib bagi organisasi pemerintah, dalam system demokrasi menganut model teori keagenan. Rakyat memberikan mandat kepada pemerintah untuk menyelenggaraan pemerintah. Pemerintah penerima mandat harus menjalankan tugas dengan sepenuh hati, melayani publik dengan mengedepankan unsur transparansi dan akuntabilitas. Walikota adalah pelayanan dan Rakyatlah rajanya.

SE bisa dikatakan unggul atau prima, apabila perusahaan mampu secara jeli mengenali dengan baik keinginan atau kebutuhan pelanggan

Maka birokrasi harus mau instropeksi, kenapa selama ini pelayanannya dikonotasikan buruk, sehingga muncul istilah terlalu birokratis, yang artinya berbelit-belit.
Drs. Suharno, MM, Akuntan

KEMENANGAN JOKOWI KEMENANGAN PENCITRAAN

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Pilkada yang digelar secara serentak di tiga daerah, Kota Solo, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo usai digelar pada hari Senin Kliwon, 27 Juni 2005. Pilkada di kota Solo, dimana masyarakatnya dikenal bersumbu pendek, pada awalnya sempat dibayang-bayangi terjadinya konflik dan amuk masa antar pendukung cawali. Namun syukurlah, kekhawatiran itu ternyata tidak terjadi. Baik yang menang dan yang kalah bisa bersikap legowo. Menang ora umuk, kalah ora ngamuk. Kitapun bernafas lega. Pilkada dapat berjalan dengan lancar, aman dan damai.

Dibanding dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali, pilkada di Kota Solo memiliki nuasa yang berbeda. Saat masa kampanye berlangsung meriah, tampil lebih greget dan hingar bingar. Diprediksi oleh banyak pihak, pesta rakyat ini, menghabiskan dana puluhan milyar. Ini dapat dimaklumi karena dari empat pasangan cawali, tiga diantaranya (Jokowi, Hardono dan Purnomo) adalah para pengusaha besar yang kaya raya. Mereka termasuk pengusaha “ Balung Gajah, Sabuk Galengan “. Hardono dengan total kekayaan sekitar 49 milyar, Purnomo sekitar 41 milyar, dan Jokowi sekitar 9,7 milyar.

Tidak aneh ketiganya tampil all out. Dari tiga kali kampanye terbuka, ketiganya mampu mengerahkan masa puluhan ribu, dengan acara yang dikemas secara spektakuler. Sehingga sangat sulit untuk menebai dan mempridiksi siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Ketiga-tiganya sama-sama kuat. Sama-sama berenergi. Sama-sama mengklaim mendapat dukungan dari beberapa kalangan. Mulai dari tukang becak, pemulung, buruh, ormas, parpol, organisasi profesi sampai kalangan pemuka agama.

Namun demikian, medekati hari H, dikalangan petaruh, sebagian besar mengunggulkan pasangan Hardono dan Purnomo. Pasangan ini diunggulkan, karena keduanya terkesan paling “royal” dan “dermawan” dalam setiap event kampanye. Opini petaruh ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh publisitas besar-besaran diberbagai media. Baik media cetak maupun elektronik, maupun media outdoor. Seperti selebaran, poster, leaflet, pamplet maupun pemasangan iklan di koran, spanduk, banner dan baliho raksasa yang memenuhi setiap jengkal tanah di kota Solo.

Sehingga kemenangan Jokowi sebenarnya agak sedikit agak mengejutkan bagi sementara kalangan. Namun sebenarnya bagi saya dan tim Citra Emas (CES) Surakarta, kemenangan Jokowi sudah kami prediksi sejak awal. Berdasarkan pooling yang kami selenggarakan pada awal Januari 2005, sebagian besar responden menjatuhkan pilihan pada cawali yang berumur antara 40-45 tahun. Dan saat ini Jokowi baru saja merayakan ulang tahun yang ke 44.

Dalam pandangan saya, salah satu faktor penentu utama kemenangan Jokowi adalah keberhasilan dalam masalah pencitraan diri. Pencitraan merupakan salah satu kekuatan utama Jokowi dalam meraih kemenangan sebesar 36,62 % (Solopos, 29 Juni 2005). Kemenangan ini juga semakin memperteguh serta memperkuat kedudukan dan arti penting Public Relations (PR) dalam kancah perpolitikan di tanah air. Karena pembentukan citra (image building), merupakan kata kunci dari aktivitas PR. Keampuhan PR ini pula yang telah menghantarkan SBY menjadi presiden RI pertama yang dipilih rakyat secara langsung.

Membangun citra diri tidak bisa bersifat instant, namun butuh waktu dan proses yang cukup lama. Berdimensi jangka panjang. Resep ini itu telah dibuktikan oleh Jokowi, baik disadari maupun tidak. Jokowi telah secara cerdik menempatkan dan memetakan pencitraan dirinya lebih awal bila dibanding tiga cawali lainnya. Langkah awal tersebut, merupakan langkah strategis yang paling efektif. Merupakan investasi yang tidak dapat diukur secara matematis, namun dapat dirasakan manfaatnya.

Berikut adalah catatan saya, yang terkait dengan bentuk pencitraan yang dilakukan Jokowi dan tim suksesnya. Jokowi adalah sosok cawali yang memiliki karakter pribadi sederhana dan tidak neko-neko. Pencitraan inilah menurut saya yang paling kuat dalam meraih simpati masyarakat. Dalam keseharian dan saat tampil di muka publik Joko, tampil lugas, apa adanya dan low profile. Fiqur yang demikian membuat dirinya tidak memiliki jarak dengan masyarakat mulai kalangan bawah sampai atas. Jokowi sikapnya santun.

Citra sebagai pembela wong cilik juga melekat pada dirinya. Terjun langsung blusukan keperkampungan kumuh dengan jalan kaki atau naik ojek untuk mendengarkan dan menyerap aspirasi mereka. Tanpa wigah-wigih, tulus dan tidak menyukai acara seremonial. Jokowi seolah menyatu dengan penderitaan wong cilik. Di tengah mereka Jokowi tidak banyak mengumbar janji yang muluk-muluk. Lebih banyak mendengar dan meminta doa restu.

Pencitraan diri yang lain, Jokowi tampil sebagai sosok nasionalis dan tokoh yang pluralis serta humanis. Tidak nampak fanatik pada satu golongan tertentu. Mampu ajur-ajer disemua lapisan masyarakat. Berbeda dengan sosok Purnomo dan Hardono, mereka cenderung hanya diterima oleh dikalangan menengah-atas, terpelajar dan kalangan umat islam saja.

Dalam strategi komunikasi Jokowi sangat efektif. Bahasanya lugas, mudah dimengerti dan jargon yang ditampilkan sederhana, namun menggigit, dan gampang diingat ”Berseri tanpa Korupsi”. Jargon ini langsung menukik pada persoalan aktual dan perlu mendapat prioritas utama dalam membangun kota Solo. Jargon ini memiliki power dan ruh, karena ditunjang oleh pribadi Jokowi yang lugu, lugas dan sederhana. Sehigga masyarakat percaya dan menaruh harapan akan terwujudnya jargon itu pada sosok Jokowi.

Visi, misi dan program yang ditawarkan pada saat kampanye pun cukup realistis dan tidak bombastis. Berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Menekankan pemberantasan korupsi, peningkatan kesejahteraan keluarga pra sejahtera, membuka lapangan kerja, biaya pendidikan yang murah. Tidak terjebak pada penyusunan visi dan misi yang normatif dan retoris.

Dalam pengamatan saya, pola dan bentuk kampanye yang digunakan Jokowi lebih banyak pada pendekatan PR bila dibandingkan Advertising. Pada saat Hardono dan Purnomo jor-joran dengan pemasangan spanduk, baner dan baliho raksasa yang unik, Jokowi tidak terpancing. Model iklannya tetap tampil sederhana dan ala kadarnya, namun tetap konsisten mengusung jargon “Berseri tanpa Korupsi”. Rupanya Jokowi tahu persis akan kemampuan dan keterbatasan dana, maka harus pandai-pandai mengelolanya secara efektif dan efisien.

PR adalah pendekatan yang bersifat personal. Bagaimana agar individu atau organisasi disukai dan mendapat dukungan dari publik. Hal ini sejalan dengan pendapat Al Raies dan Laura Ries dalam The Fall of Advertising, The Rise of PR. Kunci keberhasilan dalam meraih simpati dan hati pelanggan terletak pada citra diri. Bukan karena banyaknya biaya iklan yang digelontorkan. Menurut Al Ries dan Laura Ries saat ini advertising telah kehilangan kredibilitas.



Mengapa demikian ? Karena umumnya praktisi periklanan saat ini dalam berkarya membuat rancangan iklan, memiliki kecenderungan dan mengedepankan aspek keunikan dan kreatifitas semata. Persoalan apakah iklan tersebut mampu menggerakkan orang untuk menjatuhkan pilihan pada produk yang bersangkutan itu merupakan persoalan kedua.

Itulah seklumit catatan saya tentang pencitraan diri Jokowi dalam pertarungan memperebutkan AD 1. Pak Jokowi selamat berjuang dan selamat membaktikan diri sepenuh hati untuk kota Solo lima tahun ke depan ! Janji Anda kami tunggu !

*) Penulis adalah Pengurus Perhumas BPC Surakarta, Support Program Citra Emas (CES) Surakarta dan Mantan Kahumas Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta

WASPADAI KOPERASI SILUMAN

PRESS REALESE

Saat memberikan sambutan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) Ke-58 di Gedung Sate, Bandung, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), menginstuksikan agar ada upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan koperasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab (Solopos, 13/7).

Kami sangat mendukung instruksi dan himbuan tersebut. Karena indikasi ke arah penyalahgunaan badan hukum koperasi untuk kepentingan segelitir pemodal nampaknya telah mulai nampak di Solo. Padahal tujuan utama pendirian koperasi adalah untuk membantu dan mensejahterakan para anggotanya.

Indikasi ini terlihat dari fenomena kemunculan Koperasi Simpan Pinjam (KSP), diberbagai penjuru kota, bak cendawan dimusim hujan. Menurut data resmi dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (UKM) Solo, selama paruh tahun 2005 saja, pertumbuhan KSP mencapai 5 %. Menguasai 50 % asset dan omzet dari keseluruhan jenis koperasi yang ada.

Sekilas perkembangan ini kami sangat mengembirakan dan positif. Namun disisi lain perlu diwaspadai dan terus dimonitor secara pro aktif oleh seluruh elemen masyarakat. Utamanya Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (UKM) Solo, sebagai pihak yang paling kompeten.

Sinyalemen SBY, perlu mendapat respons positifbisa jadi benar. Potensi penyalahgunaan itu sangat besar Mengingat untuk mendirikan KSP syarat dan prosedurnya sangat mudah. Cukup hanya 20 orang dan modal Rp 15 juta sudah bisa mendirikan KSP. Peluang inilah yang kemungkinan akan dimanfaatkan oleh pemilik modal besar untuk memutarkan uangnya di KSP. Mengapa pemodal besar lebih suka membentuk KSP daripada mendirikan bank.

Pertama, mendirikan koperasi lebih mudah dibandingkan mendirikan bank. Kemudahan mencakup dalam hal persyaratan, prosedur dan permodalan, dan aspek perpajakan.

Kedua, menginvestasikan dana untuk mendirikan KSP lebih menguntungkan daripada didepositokan di bank, yang tingkat bunganya rendah.

Ketiga, pasar KSP masih sangat potensial, karena membidik masyarakat menengah bawah. dan prospeknya masih menjanjikan. Hal ini disebabkan perekonomian kita yang belum pulih dan merebaknya tingka konsumerisme di tengah masyarakat.

Untuk itu pemkot dalam mengeluarkan ijin pendirian KSP agar lebih selektif. Pemberian ijin pendirian, jangan hanya sekedar mendasarkan pada persyaratan dan prosedur administrative. Tetapi harus diadakan verifikasi lapangan, menyangkut kebenaran validitas keanggotaan dan permodalan yang digunakan.

Ini semua untuk mengantisipasi munculnya KSP siluman atau praktik perbankan gelap dengan kedok koperasi. Sekedar melegalkan usahanya. Bila ini yang terjadi maka pendirian KSP akan melenceng dari visi dan misi utamanya, yaitu meningkatkan kesejahteraan para anggota.

Surakarta, 14 Juli 2005

Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA)
Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi
Surakarta
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Hp. 0812.15.10950


Thursday, June 21, 2007

HASIL POOLING SATU TAHUN PEMERINTAHAN JOKOWI-RUDY

Oleh:
TIM MAP UNISRI

A. Pendahuluan
Pemerintahan negara dibangun atas kesepakatan bersama seluruh individu yang mendiami suatu kawasan teritori (wilayah negara) dalam wujud kontrak sosial (social contract). Kontrak sosial dasar atas bangunan negara kemudian difahami sebagai konstitusi (UUD). Konstitusi memuat kesepakatan dasar kewenangan dasar negara dan bagaimana kewenangan itu diatur dan didistribusikan kedalam seluruh intrumen institusi kelembagaan negara. Dalam konsep negara modern, tidak seluruh hak-hak rakyat diserahkan kepada negara, ada hak-hak alamiah dasar yang tidak ikut diserahkan kepada negara. Lebih dari itu, fungsi negara juga dimaksudkan untuk memaksimalkan hak-hak alamiah setiap individu warga negara. Sejauhmana kewenangan yang miliki oleh negara atas diri warga negara (freeman) berada dalam ranah kedaulatan rakyat yang secara periodik dapat ditinjau melalui pemilihan umum. (John Lock)
Desentralisasi kewenangan negara dalam koridor negara kesatuan berwujud otonomi daerah. Dalam azas desentralisasi tidak melahirkan daerah otonom yang bermakna federalism. Desentralisasi dan otonomi daerah sebatas manajemen pemerintahan negara yang bermuara pada efektivitas pelaksanaan fungsi negara untuk menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pada kontek limitasi kiranya dipahami bahwa walikota bukanlah aparat pemerintah pusat, tetapi pejabat publik lokal yang mempertanggung jawabkan kekuasaannya kepada masyarakat teritorialnya. Pemilihan Walikota Surakarta secara langsung setahun yang lalu, mempertegas relevansi kebesaran teori John lock.
Pasangan Walikota – Wakil Walikota Surakarta Ir. Joko Widodo dan Drs. Fx. Rudyanto yang memegang kekuasaan atas teritorial Kota Surakarta selalu dinantikan buahnya berupa perbaikan hidup dan kehidupan. Dengan otoritas kewenangan yang ada Jokowi – Rudy memiliki kesempatan sepenuhnya merealisir janji-janjinya ketika berkampanye. Satu tahun pemegang mandat kekuasaan eksekutif Pemerintahan Surakarta, memang belum rentang waktu yang cukup untuk melihat perbaikan hidup dan penghidupan warga Surakarta secara luas, akan tetapi waktu satu tahun sebuah waktu yang cukup untuk menilai arah kebijakan dan peletakan pondasi dasar meniti dan menata suatu kehidupan ideal yang dicitakan bersama seluruh warga.

B. Visi – Misi Pemerintahan Pasangan Walikota - Wakil Walikota Jokowi – Rudy

Sebagaimana dicanangkan dalam dalam kampanye pilihan kepada daerah (Pilkada) pasangan calon walikota – wakil walikto Ir. Joko Widodo – Drs Fx. Rudyanto hingga pelantikannya menjadi walikota dan wakil walikota Surakarta, visi yang diusung adalah “berseri tanpa korupsi”. Visi tersebut dijabarkan kedalam empat misi : (1) Terwujudnya iklim kehidupan kota yang kondusif, aman, dan damai. (2) Terwujudnya pembangunan kota yang adil dan demokratis. (3) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat kota. (4) Meningkatkan eksistensi kota dalam tata pergaulan regional, nasional maupun internasional.
Upaya mewujudkan visi dan misi pembangunan kota lima tahun ke depan, ditempuh melalui dua strategi pokok, yaitu : (1) Reaktualisasi tata kehidupan masyarakat kota yang berbudaya. (2) Strategi obtimalisasi potensidalam mewujudkan pembangunan Surakarta Kota Budaya. Dalam rangka gerak dan laju penyelenggaraan pemerintahan umum, pembangunan dan kemasyarakatan, pemerintahan pasangan walikota – wakil walikota Jokowi – Rudy, mengedepankan enam prioritas program kerja diantaranya adalah : (1) Bidang Pendidikan, (2) Bidang Ekonomi, (3) Bidang kesehatan, (4) Defisit Anggaran, (5) Penataan PKL, (6) Penertipan Hunian Liar. Melalui keenam prioritas program kerja itulah pemerintahan Jokowi – Rudy hendak mencapai visi – misi sebagai suatu usaha untuk mencapai tata kehidupan masyarakat Surakarta yang adil dan makmur.
Keberhasilan dari sebuah kerangka kerja birokrasi ditentukan oleh standart ukur baku yang disepakati yaitu masyarakat. Apapun yang dilakukan oleh pemerintah maka tidak akan bermakna bila masyarakat tidak merasakan terjadinya perbaikan kehidupan. Pemererintahan Jokowi – Rudy dipilih langsung oleh rakyat. Harapannya adalah terjadi perbaikan tatakehidupan dalam berbagai aspek. Strategi yang dilaksanakan oleh pemerintah diharapkan oleh masyarakat mampu memperbaiki terselenggaranya bidang-bidang yang telah dicanangkan sebagai prioritas. Dengan demikian untuk melakukan penilaian atas kinerja sebuah pemerintahan, perspsi masyarakat atas bidang yang dijadikan prioritas sangat penting.
Di dalam melakukan penilaian atas kinerja birokrasi publik ada banyak pendapat. Dwiyanto (1995) melakukan pengukuran atas kinerja birokrasi publik dengan menggunakan indikator: (1)produktivitas, (2) kualitas layanan, (3)responsivitas, (4)responsibility, dan (5)akuntabilitas (Dwiyanto,dkk, 48: 2002). Kumorotomo (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publi, antara lain : (1) efisiensi, (2) efektivitas, (3) keadilan, dan (4) daya tanggap.

Dalam konteks kinerja pelayanan publik di Indonesia pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prinsip pelayanan tersebut adalah: (1)kesederhanaan, (2)Kejelasan, (3)kepastian, (4)keamanan, (5)Keterbukaan, (6)efisiensi, (7)Ekonomis, dan (8) keadilan.
Lebih lanjut Dwiyanto (2002) menyatakan, secara garis besar berbagai parameter yang digunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pengguna jasa. Pembagian pendekatan atau perspektif tersebut hendaknya tidak secara diametris, melainkan tetap dipahami sebagai seatu sudut pandang yang saling berinteraksi diantara keduanya.
Dalam pollling yang dilakukan ini, usaha untuk melihat kinerja pelayanan publik atas enam prioritas pemerintahan Jokowi – Rudy (Bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, defisit anggaran, penataan PKL, dan penertiban hunian liar), dari perspektif pengguna jasa. Sedangkan indikator dan pengukuran yang digunakan dalam polling Kinerja satu tahun Pemerintahan Jokowi – Rudy adalah:

(1) Partisipasi publik:Derajat pemberian bagi publik oleh walikota untuk menyampaikan aspirasinya terkaiat dengan masalah pembangunan (hunian liar), pelayanan publik (pendidikan & kesehatan) dan pengembangan ekonomi (iklim usaha dan investasi)
- Sarana yang digunakan walikota untuk menampung aspirasi tersebut
- Bentuk-bentuk partisipasi publik
- Bagaimana publik memanfaatkan ruang partisipasi tersebut

(2) Penegakan hukum:
- Bentuk-bentuk penyelesaian pedagang kaki lima
- Kemampuan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus PKL dan hunian liar
- Rasa aman menurut masyarakat dari gangguan dan ancaman serta intimidasi aparat.
- Ada tidaknya kepastian hukum dalam penyelesaian kasus PKL dan hunian liar.

(3) Transparansi:
- Bagaimana keterbukaan pemkot dalam hal-hal menyangkut masalah defisit anggaran
- Bagaimana akses masyarakat terhadap informasi tentang penggunaan anggaran & masalah
defisit anggaran.

(4) Responsivitas:
- Bagaimana perhatian walikota terhadap masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi (UKM)
PKL dan hunian liar.
- Bagaimana respon walikota terhadap keluhan masyarakat dalam masalah pendidikan,
kesehatan, ekonomi, PKL dan hunian liar.
- Bagaimana pengaruh pemberitaan media masa terhadap tindakan atai kebijakan yang
diambil walikota dalam menangani masalah-masalah pendidikan, kesehatan dan usaha-
usaha kecil menengah, serta persoalan PKL dan hunian liar.
(5) Efisiensi dan efektivitas:
- Bagaimana tingkat keberhasilan pemerintah kota dalam mengatasi masalah defisit
anggaran.
- Berapa lama dan dan berapa besar biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk
memperoleh pelayanan (kesehatan dan ijin usaha/investasi) dari Pemkot.
(6) Akuntabilitas:
- Bagaimana praktek KKN di Pemkot dan Dinas dalam proses tender, penyusunan anggaran
dan program, serta upaya pemberantasannya.
- Bagaimana praktek politik uang dalam proses pemilihan pejabat publik oleh walikota.
(7) Keadilan:
- Sudah atau belumkah walikota memberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi
yang adil kepada semua pihak.
- Sudah atau belumkah walikota mempengaruhi aparat penegak (misal : Satpol PP) hukum
untuk memberikan pelayanan hukum yang adil.
(8) Manajemen Konflik dan upaya membangun konsensus:
- Mampu atau tidakkah walikota mengelola konflik yang berkaitan dengan PKL dan hunian
liar.
- Efektif atau tidakkah pendekatan yang diambil oleh walikota dalam menangai masalah PKL
dan hunian liar.

C. Methode Polling
1. Populasi:
Penduduk Kota Surakarta berusia berusia 17 – 60 tahun yang memiliki sambungan telepon rumah tangga dengan jumlah 80.633 (Buku Petunjuk Telepon Surakarta Tahun 2006)
2. Sampel
Kerangka sampel menggunakan Buku Petunjuk Telepon Solo Tahun 2006 (BPT Solo - 2006). Jumlah sampel ditentukan 600 responden, yang diambil secara acak.
Tehnik penarikan sampel : Sistematika sampling.
3. Instrumen data:
Kuisioner Guide (Terlampir)
4. Tehnik Pengambilan data: Wawancara terstruktur.
D. Personil:
Konsultan : 1. Dr. Falih Suaedi, M.Si (Unair / MAP - UNISRI)
2. Dr. Slamet Rosyadi, M.Si (Unsoed / MAP - UNISRI)
Pelaksana Peneliti : Drs. Suwardi, M.Si (Ketua)
Tenaga Lapangan : 30 orang Mahasiswa UNISRI semester IV-VI

E. Sumber Pendanaan:
Pasca Sarjana Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Magister Administrasi Publik (MAP – UNISRI)

F. Deskripsi Hasil Polling Berdasarkan Indikator Kinerja :

1. Pelaksanaan Polling :
- Pengambilan data (wawancara terstruktur) selama 10 hari (3 – 12 Juli 2006) dengan tenaga
lapangan sebanyak 30 orang mahasiswa semester IV, VI dan VIII.
- Tingkat pengembalian kusioner yang layak untuk dianalisis 97 % atau sebanyak 582
kuisioner.
2. Analsis Hasil Polling (Hasil analisis didasarkan pada standart error sebesar 5 %.)

Dari tabel-1 dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Secara keseluruhan kinerja pemerintahan Jokowi – Rudy memiliki kecenderungan baik di mata masyarakat, walaupun belum maksimal. Hal ini ditunjukan dengan jawaban klasifikasi-1(sangat baik) dan klasifikasi-2 (Baik). Jawaban klasifikasi-1 berada pada kisaran: 1,50 – 10,31 dengan rata-rata (5,46 %), dan 22,88 – 35,75 dengan rata-rata (29,45 %) untuk jawaban klasifikasi-2. Jawaban klasifikasi-3 (cukup) berada pada kisaran yang lebih tinggi : 23,45 – 45,80 dengan rata-rata (37,27 %) Sedangkan jawaban klasifikasi-4 (kurang baik) dan klasifikasi-5 (sangat kurang baik) relatif rendah : Berada pada kisaran 8,96 – 16,11 dengan rata-rata (11,28 %) untuk jawaban klasifikasi-4, dan jawaban klasifikasi-5 berada pada kisaran 0,75 – 7,56 dengan rata-rata (3,30).

2. Tingginya angka jawaban “tidak tahu” (13,03) atas keseluruhan pertanyaan yang diajukan bisa jadi menyiratkan adanya ketidak pedulian masyarakat atas kebijakan publik (sikap apatis), namun demikian jawaban “tidak tahu” juga mengindikasikan persoalan manajemen komunikasi publik. Kemampuan pemerintahan Jokowi – Rudy dalam mengatasi masalah defisit anggaran (sebagai contoh paling menonjol dari hasil polling) belum terkomunikasikan dengan baik ke masyarakat, sehingga masyarakat masih cenderung bersikap hati-hati dalam memberikan penilaian. Bahkan prosentase masyarakat yang menjawab “tidak tahu” atas pertanyaan yang terkait dengan informasi penyelesaian defisit anggaran cukup tinggi (22,15 %). Hal ini mengindikasikan manajemen komunikasi publik yang dibangun Pemkot kurang maksimal.

G. Analisis Kinerja Prioritas Kebijakan Pemerintahan

Di samping kesimpulan yang didasarkan pada tabel-1, berikut dipaparkan hasil polling terhadap prioritas kebijakan Pemerintahan Jokowi-Rudy, sebagai berikut:

1. Bidang Pendidikan
Bidang pendidikan merupakan bidang yang memperoleh prioritas utama dalam Pemerintahan Jokowi-Rudy. Hasil polling atas pelayanan pendidikan, kepada responden ditanyakan, tentang kepedulian walikota terhadap bidang pendidikan.
Masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah bidang pendidikan, yaitu : 18,55 % menyatakan sangat peduli, 37,95 % peduli, 30,91% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 7,88 % dan 1,92 % sangat kurang peduli. Sisanya 2, 77 % menjawab tidak tahu.

2. Bidang Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan publik yang strategis. Ketika masyarakat ditanya tentang kepedulian walikota terhadap pelayanan kesehatan, masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadapat masalah bidang kesehatan, yaitu : 11,78 % menyatakan sangat peduli, 34,73 % peduli, 38,52% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 8,84 % dan sangat kurang peduli 0,008 %. Sisanya 5, 26 % menjawab tidak tahu.
3. Bidang Ekonomi :
Salah satu janji pasangan Walikota – Wakil Walikota Jokowi – Rudy ketika berkampanye adalah kehendak yang kuat untuk menumbuhkan sektor ekonomi skala kecil. Usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi menjadi pilihan alternatif dalam menggerakan ekonomi rakyat.
Keberpihakan walikota terhadap usaha kecil dan koperasi, ditanyakan secara khusus. Masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah ekonomi (UKM dan Koperasi), yaitu: 11,13 % menyatakan sangat peduli, 33,63 % peduli, 40,31% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 9,13 % dan sangat kurang peduli 2,44 %. Sisanya 3,347 % menjawab tidak tahu.
4. Defisit Anggaran
Hasil polling atas kebijakan walikota dalam mengatasi masalah defisit anggaran berasal dari pertanyaan nomor 6, 7 dan 8
- Pertanyaan nomor 6 menanyakan informasi terkait dengan keberhasilan walikota di dalam mengatasi defisit anggaran.
- Pertanyaan nomor 7 menanyakan tentang pemahaman masyarakat berkaitan dengan keterbukaan kebijakan walikota dalam mengatasi defisit anggaran.
- Pertanyaan nomor 8 menanyakan tentang kemudahan masyarakat memperoleh informasi tentang penggunaan anggaran dan defisit anggaran.
Dari ketiga pertanyaan nomor 6, 7,dan 8 berkaitan dengan penyelesaian masalah defisit anggaran, merupakan pertanyaan terkait dengan kemudahan memperoleh informasi atas langkah kebijakan walikota dalam mengatasi masalah defisit anggaran. Dari ketiga pertanyaan yang diajukan, pendapat masyarakat cukup beragam. Diantaranya 29,03 % mengetahui, dan 23,45 % cukup mengetahui. Namun demikian di sisi lain data polling juga menunjukan 22, 15 % masyarakat menjawab tidak tahu.
5. Penataan PKL
Dalam rangka penataan pedagang kaki lima (PKL) Pemkot Surakarta membentuk Kantor Pengelola PKL. Jumlah PKL di Solo yang tercatat oleh Kantor Pengelola PKL Pemkot Surakarta mencapai angka 5.617 PKL. Dari data yang ada Pemkot Surakarta melalui Kantor Pengelola PKL telah mempu mengidentifikasi permasalahan, dan merumuskan kebijakan dalam rangka penataan PKL secara lebih baik baik semua pihak.
Polling berkaiatan dengan kebijakan penataan PKL berasal dari pertanyaan nomor: 12 yang menanyakan keseriusan walikota melakukan penataan PKL. Masyarakat berpendapat walikota cenderung serius di dalam penataan PKL. 11,78 % menyatakan sangat serius, 41,26 % menyatakan serius, 32,84 cukup. Sedangkan yang menyatakan kurang serius dan sangat kurang serius adalah 8,63 % dan 1,68 %. Sisanya 3,89 % menyatakan tidak tahu.

6. Penyelesaian Hunian Liar.
Polling berkaiatan dengan penyelesaian masalah hunian liar berasal dari pertanyaan nomor: 13 yang menanyakan keseriusan walikota menyelesaikan masalah hunian liar. Pendapat masyarakat terhadap kebijakan walikota dalam menyelesaikan masalah hunian liar kurang maksimal, dimana 3,14 % menyatakan sangat serius, dan 31,68 % masyarakat menyatakan serius. Sedang yang menyatakan cukup serius relatif besar, yaitu 36,63 %. Yang menyatakan kurang serius cukup signifikan 17, 52 %, sedangkan yang menyatakan sangat kurang serius 2,02 %. Sisanya 8,88 % masyarakat menyatakan tidak tahu.

7. Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Visi pemerintahan Jokowi – Rudy : “berseri tanpa korupsi” merupakan ihwal penting untuk dinilai. Kadar kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, secara umum rendah. KKN dalam kehidupan pemerintahan dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai gejala umum terjadi dibanyak tempat termasuk institusi pemerintahan.

Pertanyaan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi ditanyakan dalam Indikator akuntabilitas pemerintahan Jokowi-Rudy. Data hasil polling menunjukan jawaban yang beragam. Walaupun mereka yang menyatakan pendapat akuntabilitas pemerintahan Jokowi – Rudy terkait dengan KKN cenderung baik (5,22 % sangat serius, 22,88 % serius, dan 36,35 cukup), namun ada 20,55 % masyarakat yang menyatakan tidak tahu.

Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat cenderung mengambil sikap ragu-ragu untuk menilai kebijakan walikota sekarang di dalam memberantas KKN. Keragu-raguan diduga dipengaruhi oleh opini publik tentang korupsi birokrasi secara umum di Indonesia, dan pemberitaan yang sangat gencar tentang keterlibatan institusi pemerintahan di Kota Solo sebelumnya.POLLING SATU TAHUN
PASANGAN WALIKOTA –WAKIL WALIKOTA JOKOWI – RUDY
TIM MAP UNISRI

A. Pendahuluan
Pemerintahan negara dibangun atas kesepakatan bersama seluruh individu yang mendiami suatu kawasan teritori (wilayah negara) dalam wujud kontrak sosial (social contract). Kontrak sosial dasar atas bangunan negara kemudian difahami sebagai konstitusi (UUD). Konstitusi memuat kesepakatan dasar kewenangan dasar negara dan bagaimana kewenangan itu diatur dan didistribusikan kedalam seluruh intrumen institusi kelembagaan negara. Dalam konsep negara modern, tidak seluruh hak-hak rakyat diserahkan kepada negara, ada hak-hak alamiah dasar yang tidak ikut diserahkan kepada negara. Lebih dari itu, fungsi negara juga dimaksudkan untuk memaksimalkan hak-hak alamiah setiap individu warga negara. Sejauhmana kewenangan yang miliki oleh negara atas diri warga negara (freeman) berada dalam ranah kedaulatan rakyat yang secara periodik dapat ditinjau melalui pemilihan umum. (John Lock)
Desentralisasi kewenangan negara dalam koridor negara kesatuan berwujud otonomi daerah. Dalam azas desentralisasi tidak melahirkan daerah otonom yang bermakna federalism. Desentralisasi dan otonomi daerah sebatas manajemen pemerintahan negara yang bermuara pada efektivitas pelaksanaan fungsi negara untuk menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pada kontek limitasi kiranya dipahami bahwa walikota bukanlah aparat pemerintah pusat, tetapi pejabat publik lokal yang mempertanggung jawabkan kekuasaannya kepada masyarakat teritorialnya. Pemilihan Walikota Surakarta secara langsung setahun yang lalu, mempertegas relevansi kebesaran teori John lock.
Pasangan Walikota – Wakil Walikota Surakarta Ir. Joko Widodo dan Drs. Fx. Rudyanto yang memegang kekuasaan atas teritorial Kota Surakarta selalu dinantikan buahnya berupa perbaikan hidup dan kehidupan. Dengan otoritas kewenangan yang ada Jokowi – Rudy memiliki kesempatan sepenuhnya merealisir janji-janjinya ketika berkampanye. Satu tahun pemegang mandat kekuasaan eksekutif Pemerintahan Surakarta, memang belum rentang waktu yang cukup untuk melihat perbaikan hidup dan penghidupan warga Surakarta secara luas, akan tetapi waktu satu tahun sebuah waktu yang cukup untuk menilai arah kebijakan dan peletakan pondasi dasar meniti dan menata suatu kehidupan ideal yang dicitakan bersama seluruh warga.

B. Visi – Misi Pemerintahan Pasangan Walikota - Wakil Walikota Jokowi – Rudy

Sebagaimana dicanangkan dalam dalam kampanye pilihan kepada daerah (Pilkada) pasangan calon walikota – wakil walikto Ir. Joko Widodo – Drs Fx. Rudyanto hingga pelantikannya menjadi walikota dan wakil walikota Surakarta, visi yang diusung adalah “berseri tanpa korupsi”. Visi tersebut dijabarkan kedalam empat misi : (1) Terwujudnya iklim kehidupan kota yang kondusif, aman, dan damai. (2) Terwujudnya pembangunan kota yang adil dan demokratis. (3) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat kota. (4) Meningkatkan eksistensi kota dalam tata pergaulan regional, nasional maupun internasional.
Upaya mewujudkan visi dan misi pembangunan kota lima tahun ke depan, ditempuh melalui dua strategi pokok, yaitu : (1) Reaktualisasi tata kehidupan masyarakat kota yang berbudaya. (2) Strategi obtimalisasi potensidalam mewujudkan pembangunan Surakarta Kota Budaya. Dalam rangka gerak dan laju penyelenggaraan pemerintahan umum, pembangunan dan kemasyarakatan, pemerintahan pasangan walikota – wakil walikota Jokowi – Rudy, mengedepankan enam prioritas program kerja diantaranya adalah : (1) Bidang Pendidikan, (2) Bidang Ekonomi, (3) Bidang kesehatan, (4) Defisit Anggaran, (5) Penataan PKL, (6) Penertipan Hunian Liar. Melalui keenam prioritas program kerja itulah pemerintahan Jokowi – Rudy hendak mencapai visi – misi sebagai suatu usaha untuk mencapai tata kehidupan masyarakat Surakarta yang adil dan makmur.
Keberhasilan dari sebuah kerangka kerja birokrasi ditentukan oleh standart ukur baku yang disepakati yaitu masyarakat. Apapun yang dilakukan oleh pemerintah maka tidak akan bermakna bila masyarakat tidak merasakan terjadinya perbaikan kehidupan. Pemererintahan Jokowi – Rudy dipilih langsung oleh rakyat. Harapannya adalah terjadi perbaikan tatakehidupan dalam berbagai aspek. Strategi yang dilaksanakan oleh pemerintah diharapkan oleh masyarakat mampu memperbaiki terselenggaranya bidang-bidang yang telah dicanangkan sebagai prioritas. Dengan demikian untuk melakukan penilaian atas kinerja sebuah pemerintahan, perspsi masyarakat atas bidang yang dijadikan prioritas sangat penting.
Di dalam melakukan penilaian atas kinerja birokrasi publik ada banyak pendapat. Dwiyanto (1995) melakukan pengukuran atas kinerja birokrasi publik dengan menggunakan indikator: (1)produktivitas, (2) kualitas layanan, (3)responsivitas, (4)responsibility, dan (5)akuntabilitas (Dwiyanto,dkk, 48: 2002). Kumorotomo (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publi, antara lain : (1) efisiensi, (2) efektivitas, (3) keadilan, dan (4) daya tanggap.

Dalam konteks kinerja pelayanan publik di Indonesia pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prinsip pelayanan tersebut adalah: (1)kesederhanaan, (2)Kejelasan, (3)kepastian, (4)keamanan, (5)Keterbukaan, (6)efisiensi, (7)Ekonomis, dan (8) keadilan.
Lebih lanjut Dwiyanto (2002) menyatakan, secara garis besar berbagai parameter yang digunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pengguna jasa. Pembagian pendekatan atau perspektif tersebut hendaknya tidak secara diametris, melainkan tetap dipahami sebagai seatu sudut pandang yang saling berinteraksi diantara keduanya.
Dalam pollling yang dilakukan ini, usaha untuk melihat kinerja pelayanan publik atas enam prioritas pemerintahan Jokowi – Rudy (Bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, defisit anggaran, penataan PKL, dan penertiban hunian liar), dari perspektif pengguna jasa. Sedangkan indikator dan pengukuran yang digunakan dalam polling Kinerja satu tahun Pemerintahan Jokowi – Rudy adalah:
(1) Partisipasi publik:
- Derajat pemberian bagi publik oleh walikota untuk menyampaikan aspirasinya terkaiat dengan masalah pembangunan (hunian liar), pelayanan publik (pendidikan & kesehatan) dan pengembangan ekonomi (iklim usaha dan investasi
- Sarana yang digunakan walikota untuk menampung aspirasi tersebut
- Bentuk-bentuk partisipasi publik
- Bagaimana publik memanfaatkan ruang partisipasi tersebut

(2) Penegakan hukum:
- Bentuk-bentuk penyelesaian pedagang kaki lima
- Kemampuan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus PKL dan hunian liar
- Rasa aman menurut masyarakat dari gangguan dan ancaman serta intimidasi aparat.
- Ada tidaknya kepastian hukum dalam penyelesaian kasus PKL dan hunian liar.

(3) Transparansi:
- Bagaimana keterbukaan pemkot dalam hal-hal menyangkut masalah defisit anggaran
- Bagaimana akses masyarakat terhadap informasi tentang penggunaan anggaran & masalah defisit anggaran.

(4) Responsivitas:
- Bagaimana perhatian walikota terhadap masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi (UKM) PKL dan hunian liar.
- Bagaimana respon walikota terhadap keluhan masyarakat dalam masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi, PKL dan hunian liar.
- Bagaimana pengaruh pemberitaan media masa terhadap tindakan atai kebijakan yang diambil walikota dalam menangani masalah-masalah pendidikan, kesehatan dan usaha-usaha kecil menengah, serta persoalan PKL dan hunian liar.
(5) Efisiensi dan efektivitas:
- Bagaimana tingkat keberhasilan pemerintah kota dalam mengatasi masalah defisit anggaran.
- Berapa lama dan dan berapa besar biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk memperoleh pelayanan (kesehatan dan ijin usaha/investasi) dari Pemkot.
(6) Akuntabilitas:
- Bagaimana praktek KKN di Pemkot dan Dinas dalam proses tender, penyusunan anggaran dan program, serta upaya pemberantasannya.
- Bagaimana praktek politik uang dalam proses pemilihan pejabat publik oleh walikota.
(7) Keadilan:
- Sudah atau belumkah walikota memberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang adil kepada semua pihak.
- Sudah atau belumkah walikota mempengaruhi aparat penegak (misal : Satpol PP) hukum untuk memberikan pelayanan hukum yang adil.
(8) Manajemen Konflik dan upaya membangun konsensus:
- Mampu atau tidakkah walikota mengelola konflik yang berkaitan dengan PKL dan hunian liar.
- Efektif atau tidakkah pendekatan yang diambil oleh walikota dalam menangai masalah PKL dan hunian liar.

C. Methode Polling
1. Populasi:
Penduduk Kota Surakarta berusia berusia 17 – 60 tahun yang memiliki sambungan telepon rumah tangga dengan jumlah 80.633 (Buku Petunjuk Telepon Surakarta Tahun 2006)
2. Sampel
Kerangka sampel menggunakan Buku Petunjuk Telepon Solo Tahun 2006 (BPT Solo - 2006). Jumlah sampel ditentukan 600 responden, yang diambil secara acak.
Tehnik penarikan sampel : Sistematika sampling.
3. Instrumen data:
Kuisioner Guide (Terlampir)
4. Tehnik Pengambilan data: Wawancara terstruktur.
D. Personil:
Konsultan : 1. Dr. Falih Suaedi, M.Si (Unair / MAP - UNISRI)
2. Dr. Slamet Rosyadi, M.Si (Unsoed / MAP - UNISRI)
Pelaksana Peneliti : Drs. Suwardi, M.Si (Ketua)
Tenaga Lapangan : 30 orang Mahasiswa UNISRI semester IV-VI
E. Sumber Pendanaan:
Pasca Sarjana Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Magister Administrasi Publik (MAP – UNISRI)
F. Deskripsi Hasil Polling Berdasarkan Indikator Kinerja :

1. Pelaksanaan Polling :
- Pengambilan data (wawancara terstruktur) selama 10 hari (3 – 12 Juli 2006) dengan tenaga lapangan sebanyak 30 orang mahasiswa semester IV, VI dan VIII.
- Tingkat pengembalian kusioner yang layak untuk dianalisis 97 % atau sebanyak 582 kuisioner.
2. Analsis Hasil Polling
(Hasil analisis didasarkan pada standart error sebesar 5 %.)

Dari tabel-1 dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Secara keseluruhan kinerja pemerintahan Jokowi – Rudy memiliki kecenderungan baik di mata masyarakat, walaupun belum maksimal. Hal ini ditunjukan dengan jawaban klasifikasi-1(sangat baik) dan klasifikasi-2 (Baik). Jawaban klasifikasi-1 berada pada kisaran: 1,50 – 10,31 dengan rata-rata (5,46 %), dan 22,88 – 35,75 dengan rata-rata (29,45 %) untuk jawaban klasifikasi-2.
Jawaban klasifikasi-3 (cukup) berada pada kisaran yang lebih tinggi : 23,45 – 45,80 dengan rata-rata (37,27 %)
Sedangkan jawaban klasifikasi-4 (kurang baik) dan klasifikasi-5 (sangat kurang baik) relatif rendah : Berada pada kisaran 8,96 – 16,11 dengan rata-rata (11,28 %) untuk jawaban klasifikasi-4, dan jawaban klasifikasi-5 berada pada kisaran 0,75 – 7,56 dengan rata-rata (3,30).
2. Tingginya angka jawaban “tidak tahu” (13,03) atas keseluruhan pertanyaan yang diajukan bisa jadi menyiratkan adanya ketidak pedulian masyarakat atas kebijakan publik (sikap apatis), namun demikian jawaban “tidak tahu” juga mengindikasikan persoalan manajemen komunikasi publik. Kemampuan pemerintahan Jokowi – Rudy dalam mengatasi masalah defisit anggaran (sebagai contoh paling menonjol dari hasil polling) belum terkomunikasikan dengan baik ke masyarakat, sehingga masyarakat masih cenderung bersikap hati-hati dalam memberikan penilaian. Bahkan prosentase masyarakat yang menjawab “tidak tahu” atas pertanyaan yang terkait dengan informasi penyelesaian defisit anggaran cukup tinggi (22,15 %). Hal ini mengindikasikan manajemen komunikasi publik yang dibangun Pemkot kurang maksimal.

G. Analisis Kinerja Prioritas Kebijakan Pemerintahan

Di samping kesimpulan yang didasarkan pada tabel-1, berikut dipaparkan hasil polling terhadap prioritas kebijakan Pemerintahan Jokowi-Rudy, sebagai berikut:

1. Bidang Pendidikan
Bidang pendidikan merupakan bidang yang memperoleh prioritas utama dalam Pemerintahan Jokowi-Rudy. Hasil polling atas pelayanan pendidikan, kepada responden ditanyakan, tentang kepedulian walikota terhadap bidang pendidikan.
Masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah bidang pendidikan, yaitu : 18,55 % menyatakan sangat peduli, 37,95 % peduli, 30,91% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 7,88 % dan 1,92 % sangat kurang peduli. Sisanya 2, 77 % menjawab tidak tahu.

2. Bidang Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan publik yang strategis. Ketika masyarakat ditanya tentang kepedulian walikota terhadap pelayanan kesehatan, masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadapat masalah bidang kesehatan, yaitu : 11,78 % menyatakan sangat peduli, 34,73 % peduli, 38,52% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 8,84 % dan sangat kurang peduli 0,008 %. Sisanya 5, 26 % menjawab tidak tahu.

3. Bidang Ekonomi :
Salah satu janji pasangan Walikota – Wakil Walikota Jokowi – Rudy ketika berkampanye adalah kehendak yang kuat untuk menumbuhkan sektor ekonomi skala kecil. Usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi menjadi pilihan alternatif dalam menggerakan ekonomi rakyat.
Keberpihakan walikota terhadap usaha kecil dan koperasi, ditanyakan secara khusus. Masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah ekonomi (UKM dan Koperasi), yaitu: 11,13 % menyatakan sangat peduli, 33,63 % peduli, 40,31% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 9,13 % dan sangat kurang peduli 2,44 %. Sisanya 3,347 % menjawab tidak tahu.

4. Defisit Anggaran
Hasil polling atas kebijakan walikota dalam mengatasi masalah defisit anggaran berasal dari pertanyaan nomor 6, 7 dan 8
- Pertanyaan nomor 6 menanyakan informasi terkait dengan keberhasilan walikota di dalam mengatasi defisit anggaran.
- Pertanyaan nomor 7 menanyakan tentang pemahaman masyarakat berkaitan dengan keterbukaan kebijakan walikota dalam mengatasi defisit anggaran.
- Pertanyaan nomor 8 menanyakan tentang kemudahan masyarakat memperoleh informasi tentang penggunaan anggaran dan defisit anggaran.
Dari ketiga pertanyaan nomor 6, 7,dan 8 berkaitan dengan penyelesaian masalah defisit anggaran, merupakan pertanyaan terkait dengan kemudahan memperoleh informasi atas langkah kebijakan walikota dalam mengatasi masalah defisit anggaran. Dari ketiga pertanyaan yang diajukan, pendapat masyarakat cukup beragam. Diantaranya 29,03 % mengetahui, dan 23,45 % cukup mengetahui. Namun demikian di sisi lain data polling juga menunjukan 22, 15 % masyarakat menjawab tidak tahu.
5. Penataan PKL
Dalam rangka penataan pedagang kaki lima (PKL) Pemkot Surakarta membentuk Kantor Pengelola PKL. Jumlah PKL di Solo yang tercatat oleh Kantor Pengelola PKL Pemkot Surakarta mencapai angka 5.617 PKL. Dari data yang ada Pemkot Surakarta melalui Kantor Pengelola PKL telah mempu mengidentifikasi permasalahan, dan merumuskan kebijakan dalam rangka penataan PKL secara lebih baik baik semua pihak.
Polling berkaiatan dengan kebijakan penataan PKL berasal dari pertanyaan nomor: 12 yang menanyakan keseriusan walikota melakukan penataan PKL. Masyarakat berpendapat walikota cenderung serius di dalam penataan PKL. 11,78 % menyatakan sangat serius, 41,26 % menyatakan serius, 32,84 cukup. Sedangkan yang menyatakan kurang serius dan sangat kurang serius adalah 8,63 % dan 1,68 %. Sisanya 3,89 % menyatakan tidak tahu.

6. Penyelesaian Hunian Liar.
Polling berkaiatan dengan penyelesaian masalah hunian liar berasal dari pertanyaan nomor: 13 yang menanyakan keseriusan walikota menyelesaikan masalah hunian liar. Pendapat masyarakat terhadap kebijakan walikota dalam menyelesaikan masalah hunian liar kurang maksimal, dimana 3,14 % menyatakan sangat serius, dan 31,68 % masyarakat menyatakan serius. Sedang yang menyatakan cukup serius relatif besar, yaitu 36,63 %. Yang menyatakan kurang serius cukup signifikan 17, 52 %, sedangkan yang menyatakan sangat kurang serius 2,02 %. Sisanya 8,88 % masyarakat menyatakan tidak tahu.

7. Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Visi pemerintahan Jokowi – Rudy : “berseri tanpa korupsi” merupakan ihwal penting untuk dinilai. Kadar kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, secara umum rendah. KKN dalam kehidupan pemerintahan dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai gejala umum terjadi dibanyak tempat termasuk institusi pemerintahan.

Pertanyaan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi ditanyakan dalam Indikator akuntabilitas pemerintahan Jokowi-Rudy. Data hasil polling menunjukan jawaban yang beragam. Walaupun mereka yang menyatakan pendapat akuntabilitas pemerintahan Jokowi – Rudy terkait dengan KKN cenderung baik (5,22 % sangat serius, 22,88 % serius, dan 36,35 cukup), namun ada 20,55 % masyarakat yang menyatakan tidak tahu.

Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat cenderung mengambil sikap ragu-ragu untuk menilai kebijakan walikota sekarang di dalam memberantas KKN. Keragu-raguan diduga dipengaruhi oleh opini publik tentang korupsi birokrasi secara umum di Indonesia, dan pemberitaan yang sangat gencar tentang keterlibatan institusi pemerintahan di Kota Solo sebelumnya.