Wednesday, July 25, 2007

BBM NAIK ? TINGGAL TUNGGU WAKTU

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Benarkah saat ini telah terjadi kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) ? Mengapa sampai terjadi kelangkaan BBM ? Bukankah negera kita termasuk salah satu negara pemasok minyak dunia ? Mengapa BBM tiba-tiba bisa menghilang begitu saja ?

Padahal berdasarkan data yang ada, jumlah kuota BBM yang disepakati dalam APBN Perubahan 2005, secara total jumlahnya mencapai 59,61 juta kilo liter. Di atas kertas jumlah kuota BBM ini, sebenarnya telah mencukupi untuk kebutuhan sepanjang tahun 2005. Namun mengapa terjadi kelangkaan ? Kelangkaan BBM yang terjadi di sejumlah kota di Indonesia belakangan ini, sesungguhnya sangat tidak masuk akal. Apalagi realisasi penyaluran dalam lima bulan pertama masih sekitar separuh dari kapasitas yang ada, yakni sebesar 25,61 juta kilo liter (Republika, 26 Juli 2005).

Artinya ada persoalan lain yang menjadi penyebab langkanya BBM. Menurut pengamatan saya, akar persoalan utama kelangkaan BBM sebenarnya terletak pada masalah besaran subsidi. Subsidi BBM yang dianggarkan dalam APBN diambang kritis dan tidak mencukupi. Akibat melonjaknya harga minyak di pasar internasional yang menembus harga hingga US $ 60 perbarel. Padahal dalam APBN Perubahan 2005 subsidi BBM yang dianggarkan hanya sebesar Rp 76 trilyun. Itu saja dengan asumsi harga yang lebih rendah dari harga pasar dunia, yaitu sebesar US $ 45 perbarel.

Repotnya, sampai semester pertama tahun 2005, dana subsidi BBM yang telah dicairkan sebesar Rp 46 trilyun. Artinya besarnya subsidi tinggal Rp 30 trilyun. Jelas sisa ini tidak akan mencukupi kebutuhan enam bulan ke depan. Paling banter hanya dapat digunakan untuk mensubsidi tiga setengah bulan kedepan. Padahal tahun anggaran 2005 baru akan berakhir pada akhir bulan Desember 2005. Kondisi inilah yang menurut saya membuat pemerintah menjadi panik. Cermin kepanikan itu, bisa dilihat dengan terbitnya Inpres Nomor 10/2005 tentang Penghematan Energi. Yang kemunculannya terkesan terburu-buru tanpa didahului kajian mendalam. Sehingga menimbulkan pro dan kontra.


Saya prinsip sangat setuju dan mendukung bila pola konsumsi BBM harus direm dan dikendalikan. Namun seharusnya, sebelum Inpres ke luar, mestinya diindentifikasi dan dipetakan lebih lebih dahulu, penggunaan mana yang seharus direm dan dikendalikan. Jangan sampai inpres ini hanya sekedar dimanfaatkan untuk acara seremonial.

Apakah efektif dan efisien bila penghematan engergi hanya sebatas pengurangan penggunaan listrik, alat transportasi dan AC, misalnya ? Apakah justru tidak kontra produktif ?

Kita sepakat penggunaan energi yang boros menyebabkan pembengkaan subsidi BBM yang berimbas pada APBN yang defisit. Untuk menutup defisit, mau tidak mau pemerintah terpaksa harus berhutang. Padahal jumlah kumulatif utang kita sudah sangat besar. Untuk tahun anggaran 2005 saja sekitar sepertiga anggaran, kurang lebih sekitar Rp 140 triliun, telah habis tersedot hanya untuk membayar utang.

Sering muncul pertanyaan. Indonesia termasuk negara penghasilan minyak dunia, tetapi kenapa setiap ada kenaikan harga minyak, kita menjadi kelimpungan ?

Padahal di era tahun tujuhpuluhan saat terjadi booming kenaikan harga minyak, negara kita sempat dimanjakan bermandikan dengan dolar. Bak tertimpa durian runtuh. Namun kenapa sekarang malah terjadi yang sebaliknya ? dan kenapa pemerintah harus memberikan subsidi ?

Rupanya saat ini, telah terjadi “wolak-waliking jaman”. Dulu kita sebagai pengekspor minyak, namun sekarang kita sebagai pengekspor dan sekaligus pengimpor minyak. Akibatnya setiap ada kenaikkan harga minyak dunia kita menjadi kelabakan. Mengapa ?

Setiap ada kenaikkan harga minyak sebesar US $ 1 per barel pemerintah akan mendapat tambahan penghasilan kurang lebih sebesar Rp 3,8 – Rp 3,9 trilyun. Tetapi di sisi lain pemeritah juga harus menambah jatah bagi hasil, untuk daerah-daerah penghasil minyak. Ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda). Selain itu pemerintah juga harus memberi uang yang lebih banyak kepada Pertamina untuk membeli BBM. Mengapa pemerintah harus membeli BBM dari Pertamina ?



Tidak perlu heran, karena Pertamina saat ini telah menjadi persero atau perusahaan yang terpisah. Jadi untuk memproduksi dan mengimpor BBM Pertamina harus ke luar uang sendiri. Sementara itu dalam menjual BBM di dalam negeri Pertamina harus tekor, karena tidak dapat menjual dengan harga pasar internasional. Untuk menutupi selisih harga pasar domestik dan internasional itulah pemerintah mengucurkan dana ke Pertamina. Itulah yang disebut dengan “subsidi”.

Apabila dikalkulasi, maka setiap tambahan pengeluaran pemerintah untuk bagi hasil dan untuk subsidi BBM. Untuk setiap kenaikan harga minyak dunia sebesar US $ 1, bisa mencapai Rp 3,9-Rp 4,5 trilyun. Padahal saat ini kenaikannya mencapai hampir US $ 20. Dapat dibayangkan bila tidak terjadi penghematan, subsidi BBM bisa mencapai angaka Rp 100 triliun. Kuatkah pemerintah menanggung kenaikan subsidi sebesar itu ? Bila kuat untuk seberapa lama ?

Sehingga saya memprediksi apabila harga minyak dunia terus membumbung naik, maka tidak ada pilihan lain. Pemerintah pasti akan menaikkan harga BBM. Inilah pilihan yang tidak popular ! Namun harus tetap diambil.Walaupun pemerintah saat ini menyatakan belum terpikir untuk menaikkan harga BBM. Rasa-rasanya sulit bagi pemerintah untuk tetap memegang janji. Mengingat pilihan yang dihadapi pemerintah saat ini sangat dilematis. Uangnya cumpen.

Bila subsidi ditambah, hutang bertambah. Bila tidak ada tambahan subsidi, kelangkaan BBM pasti akan semakin bertambah meluas. Tetapi bila harga BBM dinaikkan, pasti juga akan menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Dan persoalannya pun akan beralih dari krisis energi ke krisis kepercayaan.

Menurut hemat saya, sambil menunggu dan berharap harga minyak dunia stabil, komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memberantas dan menindak kejahatan penyalahgunaan BBM, seperti penimbunan, pengoplosan dan penyeludupan BBM ke luar negeri harus betul-betul dijalankan.

Law enforcement harus dijalankan dan ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Sangatlah naif bila rakyat dihimbau berhemat, namun di sisi lain segelintir orang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi. Ibaratnya dia tega menari di atas penderitaan wong cilik.



Apa sih ruginya bila sekali waktu pemerintah melindungi dan membela kepentingan wong cilik ? Yang dimanjakan jangan hanya segelitir konglomerat saja. Coba kita lihat ! Bila untuk rekapitulasi perbankan saja pemerintah mampu menyediakan dana Rp 70 trilyun untuk segelintir bankir. Dan ironisnya setelah banknya sehat, mereka jual ke luar negeri. Apakah pantas pemerintah owel bila harus mensubsidi rakyat kecil ?

Langkah lain yang harus ditempuh untuk meringankan subsidi BBM, bisa ditempuh dengan efisien dan efektiftivitas dalam penggunaan dana APBN. Jangan ditolerir praktik mark up dan KKN, yang salama ini telah menjadi tradisi dan membudaya dikalangan birokrat. Sehingga penghematan dana tadi akan lebih bijaksana bila dimanfaatkan untuk membantu rakyat kecil. Setuju ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana Magister Manajemen (MM) Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta.

No comments: