Monday, January 21, 2008

SEMINAR PENDIDIKAN PONPES AL MUKMIN

dimuat harian Solopos, 22 Januari 2008

Kamis, 17 Januari 2008, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, bertempat di Gedung Mahad Aly, Komplek Ponpes Al Mukmin, menyelenggarakan seminar pendidikan dengan mengangkat tema: " Membangun Sumber Daya Insani untuk Mewujudkan Lembaga Islam yang Berkualitas". Seminar diikuti oleh para ustadz dan ustadzah dilingkungan ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo. Acara seminar dibuka oleh Direktur Ponpes Al Mukmin, Ustadz KH. Wahyudin.

Dalam kata sambutannya beliau menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran metode lebih penting daripada materi, namun ada yang lebih penting lagi daripada metode yaitu faktor manusia atau guru. Untuk itu diharapkan agar para ustadz dan ustandzah mau untuk membuka diri terhadap perubahan. Seluruh upaya untuk memperbaiki pendidikan dan pembelajaran kesemuanya harus bermuara pada nilai-nilai agama yaitu Al Quran dan Sunah Nabi.

Tampil sebagai pembicara adalah Dekan FKIP UNS, Prof.Dr. H. Furqon Hidayatulloh, Ph.D menyampaikan materi " Profil dan Ciri-ciri Lembaga Pendidikan Islam yang Berkualitas " dan Staf Pengajar Pasca Sarjana MM dan Progdi Akuntansi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, menyampaikan materi " Membangun Sumber Daya Insani Unggul ".

Solo, 18 Januari 2008
Realese disampaikan oleh

Drs. Suharno, MM, Akuntan
Hp. 0813. 295. 117. 45

Friday, January 18, 2008

GONJANG-GANJING TAHU TEMPE PEMERINTAH TERJEBAK STRATEGI DAGANG AS

Artikel dimuat di harian Solopos, Sabtu, 19 Januari 2008

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Magister Manajemen dan Progdi Akuntansi
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Tahu-tahu tempe, tahu-tahu tempe
asale mung saka dele tur enak rasane,
kabeh-kabeh mbutuhake jalaran murah regane

Itulah sepenggal bait tembang dolanan yang dulu pernah popular dan sering didendangkan masyarakat pada era tahun 70 an. Lagu tersebut berjudul Tahu-tempe. Kini tahu-tempe kembali menjadi buah bibir masyarakat, namun dalam konteks yang berbeda. Dalam sepekan terakhir tahu-tempe naik pamor kembali, pemberitaan di media cetak dan elektronik sangat gencar, seolah bersaing dengan pemberitaan kondisi kritis kesehatan pak Harto.

Pemberitaan ini mencuat, karena tahu-tempe tiba-tiba hilang dari peredaran. Apabila ada bakul yang menjual ukuran pun telah mengalami penyusutan, lebih kecil dari biasanya. Kalau pun ukurannya tetap harganya naik sekitar 50 persen. Sehingga syair lagu di atas, bila sekarang akan didendangkan syairnya harus dirubah tidak lagi, murah regane (murah harganya), namun larang regane (mahal harganya).

Mengapa tahu-tempe menghilang dari pasar ? Tentunya kita semua sudah tahu jawabannya. Kenaikkan atau kelangkaan tahu-tempe ini karena dipicu kenaikkan harga kedelai di pasaran yang melonjak dua kali lipat. Semula harga per kg kedelai Rp 4000,00 saat ini harga di pasar menembus harga Rp 8.000,00 per kg. Kenaikkan harga kedelai yang tak wajar membuat para pengrajin tahu-tempe menjerit dan kalang kabut. Bahkan tidak sedikit yang gulung tikar. Sebab mereka tidak mungkin untuk menaikkan harga jual tahu-tempe sebanding dengan kenaikkan harga kedelai. Kalau pun harganya dipaksakan ikut naik, pasti tidak laku. Karena umumnya konsumen tahu-tempe adalah masyarakat menengah bawah. Mereka sangat sensitif terhadap kenaikkan harga komoditas kebutuhan sehari-hari.

Reaktif dan Parsial

Unjuk rasa dan demo pun merebak diberbagai daerah menuntut pemerintah segera turun tangan menangani masalah ini. Karena sudah tidak lagi mampu menanggung derita, puncak kekesalan para pengrajin tahu-tempe diekspresikan dengan berdemo di depan Istana Negara. Jurus ini nampaknya, cukup manjur. Terbukti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya cawe-cawe turun tangan merespons tuntutan mereka.

Secara khusus SBY menggelar rapat sidang kabinet terbatas membahas kenaikkan dan kelengkaan kedelai. SBY meminta para menteri, pelaku usaha dan lembaga negara terkait dengan perdagangan kedelai untuk segera mencari alternatif sumber impor (Solopos, 16 Januari 2008). Di samping itu sebelumnya Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memutuskan menurunkan bea masuk impor dari 10 persen menjadi 0 persen. Ada juga imbuan kepada pihak swasta maupun BUMN untuk menggalakkan penanaman kedelai di tanah air.

Cukupkah imbuan-imbuan tersebut menyelesaikan permasalahan kenaikan harga dan kelangkaan kedelai di tanah air ?

Sikap dan kebijakan pemerintah yang demikian menurut hemat penulis baru sebatas lip service dan tindakan retorika politis pragmatis semata. Penulis yakin langkah diambil tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan membuat masalah baru. Kebijakan menurunkan bea masuk impor sampai nol persen misalnya, justru mendorong para spekulan berlomba-lomba mengimpor kedelai untuk ditimbun di gudang, dan akan melempar ke pasar bila harga sudah melangit.

Nampaknya pemerintah tidak memiliki grand design yang jelas dan sistimatis dalam menangani permasalahan ini. Mestinya pemerintah mencari akar permasalahan. Bukan bertindak reaktif dan parsial. Bila kita mau menengok kebelakang, sumber utama munculnya kelangkaan dan kenaikkan harga kedelai sebenarnya berpangkal dari kesalahan pengambil kebijakan pemerintah pada masa silam.

Kronologis Permasalahan

Mari kita lihat kronologisnya. Tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang membebaskan petani menanam dan mengembangkan komoditas yang mereka sukai. Akibatnya banyak petani yang beralih menanam kedelai, jagung, ubi jalar, kacang tanah, dan tanaman palawija yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.

Dampaknya sejak tahun 1992 luas areal tanaman kedelai terus berkurang. Semula tahun 1992 luas panen kedelai lokal bisa mencapai 1.665.706 hektar, sembilan tahun kemudian, tahun 2001 turun tinggal menjadi 723.029 hektar. Empat tahun kemudian, pada tahun 2005 luas panen turun lagi menjadi 621.541 hektar. Tahun 2006 menjadi 580.534 hektar dan tahun 2007 menjadi 456.824 hektar atau tinggal 27,4 persen dari luas panen 1992.

Sementara itu bila mengacu data Biro Pusat Statistik (BPS) produksi kedelai 2006 mencapai 747.611 ton dan pada 2007 turun menjadi 608.263 ton. Sedangkan impor kedelai justru naik sebesar 6,7 persen. Kenaikkan impor kedelai mulai nampak sejak tahun 1998, saat pemerintah menerapkan kebijakan membuka kran impor kedelai. Tercatat tahun 1998 pemerintah mengimpor kedelai 394 ton. Tahun 1999 melonjak menjadi 1,3 juta ton. Sejak 2000-2006 rata-rata impor kedelai yang sebagian besar dari Amerika Serikat (AS) mencapai 1,2 juta ton tiap tahunnya.

Ini memang kondisi paradok. Di saat hasil panen kedelai lokal terus merosot, pada tahun 2000 produksi kedelai AS melimpah ruah. Pemerintah AS pun kewalahan menampung panen kedelai dari petani. Untuk menjaga insentif harga bagi petaninya, pemerintah AS melalui United State Departement of Agriculture (USDA) pada tahun 2000 meluncurkan kredit ekspor sebesar 12 juta dollar AS dan tahun 2001 ditingkatkan lagi menjadi 750 juta dollar AS. Fasilitas kredit yang demikian besar itu diberikan khusus kepada importer kedelai dari Indonesia (Kompas, 16 Januari 2008).

Bak mendapat durian runtuh, para importir kedelai dari Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan, mereka berlomba memanfaatkan fasilitas tersebut. Importir mulai mendatangkan kedelai dari AS dalam jumlah besar ke Indonesia. Pasar merespons sangat positif, karena harganya lebih murah dan kualitasnya lebih bagus bila disbanding dengan kedelai lokal. Harga kedelai lokal Rp 2.500,00 per kg, sedangkan harga kedelai impor hanya Rp 1.950,00 per kg.

Kebijakan pemerintah AS tersebut sekilas nampaknya manis dan sangat menguntungkan bagi Indonesia. Namun sebenarnya AS telah memasang perangkap. Umpan fasilitas kredit ekspor senilai ratusan juta dollar. Perangkap maut itu akhirnya memakan korban. Kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor. Petani mulai meninggalkan tanam kedelai. Mereka berpaling pada komoditas yang lebih menguntungkan, seperti jagung dan palawija. Produksi kedelai nasional pun terus menurun. Padahal tahun 1992 Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai dengan produksi sekitar 1,8 juta ton.

Di saat ketergantungan terhadap kedelai impor sangat tinggi. Sekitar 70 persen kedelai Indonesia dipasok AS. Petani AS mulai selingkuh, mereka berpaling dan beralih menanam jagung, karena lebih menguntungkan. Peralihan komoditas ini dipicu oleh kebijakan pemerintah AS yang mulai mengembangkan energi alternatif bahan bakar nabati, dengan mengembangkan etanol berbasis jagung. Akibatnya produksi kedelai AS menjadi turun

Sesuai dengan kaidah hukum ekonomi, bila penawaran berkurang padahal permintaan tetap, maka harga pun akan melambung. Tidak itu saja, melambungnya harga kedelai juga dipicu oleh lonjakan harga minyak sawit mentah yang mendorong tingginya harga minyak goreng dunia, sehingga sebagian produksi kedelai juga dialokasikan untuk bahan baku minyak goreng. Kedelai pun semakin langka. Harganya pun semakin tidak terkendali.

Nasib pengrajin tahu-tempe, memang sedang apes, mirip pepatah mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula ! Namun kita tidak perlu patah arang, seperti kata Bung Karno, “ Kita adalah bangsa besar, kita bukan bangsa tempe ? “ Bagaimana pendapat Anda ?

Tuesday, January 1, 2008

MALL PRAKTEK KOPERASI SILUMAN BERWATAK KAPITALIS

Artikel dimuat di Tabloid Retal, Edisi III, Nopember 2007

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen dan Ketua Pengawas Koperasi Universtas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Mencuatnya kasus dugaan penggelapan dana masyarakat dan penyimpangan pengelolaan koperasi diwilayah hukum Surakarta awal bulan September merupakan cerminan fenomena puncak gunung es. Kejadian mal praktek tersebut nampaknya tidak hanya terjadi di Koperasi Manunggal Utama Karya dan Manunggal Sejati saja. Namun juga terjadi di banyak koperasi yang lain. Hanya saja kebetulan, saat ini yang terekspose ke media massa baru kedua koperasi tersebut.

Kenapa saya berani mengatakan demikian ? Coba kita amati dan cermati. Betapa pesatnya pertumbuhan jumlah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dalam dua tahun terakhir ini. Bak cendawan di musim hujan. Hampir disetiap ruas jalan di kota Solo berdiri KSP. Menurut data resmi dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (UKM) Solo, selama paruh tahun 2005 saja, pertumbuhan KSP telah mencapai 5 %.

Namun anehnya mereka mampu menguasai 50 % asset dan omzet dari keseluruhan jenis koperasi yang ada. Dari sini saja sebenarnya kita sudah bisa menduga. Pasti ada yang tidak beres. Bila pertumbuhan 5 % menguasai 50 % omzet dari seluruh koperasi yang ada, maka dapat dipastikan, KSP-KSP baru tersebut diback up oleh kalangan pemodal besar (kaum kapitalis).

Bila kita tidak jeli mengamati, sekilas tampaknya perkembangan ini sangat mengembirakan dan positif. Seolah-olah kesadaran masyarakat berkoperasi telah meningkat. Padahal anggapan tersebut tidak seluruhnya benar. Malah pantas kita curigai, karena pertumbuhannya nampak tidak wajar. Sebab yang banyak bermunculan hanya KSP, selain KSP pada saat yang bersamaan banyak koperasi yang justru gulung tikar.

Sejak awal sebenarnya saya telah menyarankan agar pertambahan jumlah KSP diwaspadai dan terus dimonitor secara pro aktif oleh seluruh elemen masyarakat. Utamanya Dinas Koperasi sebagai pihak yang paling kompeten. Karena ada sinyalemen yang cukup kuat. Pendirian KSP dilakukan oleh para pemodal besar. Bukan dari anggota untuk anggota. Bukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Tetapi hanya digunakan sebagai alat kepentingan pribadi untuk meraup keuntungan semata.

KOPERASI SILUMAN

Koperasi hanya dijadikan topeng atau kedok dan digunakan untuk berlindung dari urusan legitimasi dan regulasi. Koperasi semacam inilah yang populer disebut sebagai ” Koperasi Siluman ”. Wadahnya koperasi namun ruhnya kapitalisme. Tidak memiliki jati diri sebagai koperasi yang sesungguhnya.

Mengapa muncul banyak koperasi siluman ? Karena untuk mendirikan KSP syarat dan prosedurnya sangat mudah. Cukup mengumpulkan nama dan foto copy 20 orang sebagai anggota pendiri dan mengumpulkan modal Rp 15 juta sudah bisa mendirikan koperasi primer. Peluang inilah yang dimanfaatkan dan ditangkap para pemilik modal besar untuk memutarkan modalnya. Mereka lebih suka memilih mendirikan KSP dibandingkan mendirikan bank, karena tiga alasan.

Pertama, mendirikan koperasi lebih mudah dan sangat sederhana. Masih ditambah sering mendapat fasilitas kemudahan dari pemerintah. Misalnya dalam hal: persyaratan, prosedur, permodalan dan aspek perpajakan lebih ringan serta tidak begitu njlimet bila dibandingkan mendirikan bank.

Kedua, mendirikan KSP profit marginnya lebih besar bila dibandingkan dengan deposito di bank. Deposito tingkat bunganya saat ini hanya berkisar 9 % pertahun. Bila diputar di KSP bisa mendapat bunga minimal 24 % pertahun.

Ketiga, pasar KSP sangat potensial dan prospeknya lebih menjanjikan, karena membidik dan melayani segmen masyarakat menengah ke bawah. Apalagi saat ini kondisi perekonomian yang masih lesu, akibatnya banyak masyarakat kesulitan memperoleh modal segar. Pilihan pintas untuk memperoleh moda adalah KSP. Mudah persyaratannya, tidak berbelit-belit dan cepat pelayanannya.

Tidak aneh bila akhirnya orang berlomba-lomba mendirikan KSP. Walaupun mereka tidak memahami visi dan missi KSP. Ironisnya tindakannya justru berseberangan dan berlawanan dengan asas dan semangat koperasi. Sebagaimana yang diimpikan dan diidamkan oleh Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta. Dan diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33.

Seandainya Bung Hatta masih hidup pastilah beliau akan prihatin dan mungkin malah menangis melihat KSP yang menjamur saat ini. Sebab dalam kegiatan operasional banyak KSP yang berpraktik seperti lembaga perbankan. Kegiatan tersebut jelas-jelas melanggar ketentuan perundang-undang, khususnya UU No 07/1992, tentang perbankan. Dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa ijin diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 10 milyar.

Dengan tegas dan jelas disebutkan pula, salah satu lembaga yang tidak boleh menghimpun dana langsung dari masyarakat adalah koperasi. Sebagaimana diatur dalam ayat (2) sebagai berikut: dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau KOPERASI.

Bila ketentuan tersebut dilanggar maka sanksi atau hukuman dapat dijatuhkan pada mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

KESANNYA DIDIAMKAN

Selain melanggar undang-undang perbankan, bertindak sebagai bank gelap, KSP yang model begini sering kali mengenakan bunga yang mencekik. Tidak ubahnya seperti renteneir. Namun kesannya apa yang dilakukan oleh KSP ” nakal ” ini didiamkan oleh pemerintah, khususnya Dinas Koperasi. Aparat berwajib pun baru bertindak bila kasus mencuat telah kepermukaan.

Pertanyaannya siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan dan tugas untuk mencegah dan menindak penyimpangan ini ? Menurut pendapat saya, Dinas Koperasi lah yang memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Sebab dari sanalah ijin operasional KSP dikeluarkan.

Namun selama ini Dinas Koperasi dalam mengeluarkan ijin operasional KSP hanya sekedar menyandarkan kepada terpenuhinya persyaratan dan prosedur administratif normatif. Cenderung formalitas. Tanpa melakukan verifikasi lapangan yang memadai, menyangkut kebenaran validitas nama-nama anggota yang diajukan dan sumber modal yang digunakan. Hanya sebatas ada tidaknya foto copy KTP.

Tugas pembinaan rutin yang dilakukan sering kali baru sebatas pendataan jumlah koperasi dan pelatihan-pelatihan yang bersifat proyek. Ke depannya Dinas Koperasi mestinya lebih pro aktif dan sensitif dalam melakukan memonitoring. Bila tidak, maka dapat dipastikan semakin banyak korban yang berjatuhan. Dampaknya citra koperasi pun akan semakin terpuruk di tengah masyarakat.

Padahal Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap keberadaan dan perkembangan koperasi di Indonesia. Saat memberikan sambutan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) Ke-58 di Gedung Sate, SBY pernah mengingatkan dan menginstruksikan agar ada upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan koperasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Bila Dinas Koperasi merasa tidak memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap koperasi lalu lembaga mana yang akan melakukannya ? Apakah Bank Indonesia (BI) ? Jelas tidak ! Tugas BI sebagai mana diatur dalam Undang-undang No. 07 tahun 1992 tentang perbankan, pasal 29 ayat 1 adalah sebatas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dunia perbankan.

Kita semua berharap koperasi ke depannya bisa benar-benar menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Soko guru yang kuat dan kokoh. Bukan sekedar soko pelengkap yang gapuk, rapuh dan mudah roboh. Dengan satu syarat, pemerintah tegas melaksanakan law enforcement terhadap perundangan dan peraturan yang berlaku. Bukankah demikian ?

LANGKAH STRATEGIS MEMACU KINERJA PDAM SOLO

Artikel dimuat di Harian Solopos, 26 Nopember 2007

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen dan Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Walikota Solo, Jokowi, bertekad membenahi manajemen Perusahaan Daerah (PD), khususnya Bank Pasar dan PDAM. Menjadi perusahaan yang sehat dan dikelola secara professional. Tidak lagi membebani PAD, namun sebaliknya mampu membukukan keuntungan dan memberikan kontribusi pemasukan bagi PAD.

Tidak tanggung-tanggung, Walikota, secara terbuka menyatakan di media masa, akan menjadikan kinerja Bank Pasar dan PDAM meningkat 10 kali lipat dari kondisi saat ini. Timbul pertanyaan disebagian kalangan masyarakat, mampukah Walikota mewujudkan komitmen dan obesesinya tersebut ? Ataukah pernyataan tersebut hanya sebatas retorika politik ?

Pertanyaan tersebut wajar. Sebab belum lama ini kita dibuat tersentak dengan pernyataan Plth. Direktur Tehnik PDAM Solo, Drs. Sudiyanto, MM, yang menyatakan PDAM mengalami kerugian hingga mencapai senilai Rp 930 juta selama Januari-September tahun 2007. Konon pengelolaan dua kolam renang Tirtomoyo Jebres dan Tirtomoyo Manahan menjadi penyebab utama kerugian.

Akibatnya realisasi target pendapatan PDAM hingga triwulan III tahun 2007 baru mencapai sekitar 40 %. Padahal jumlah uang yang harus disetorkan ke Pemkot senilai Rp 2 miliar. Untuk menutup kerugian tersebut PDAM akan mengintensifkan penagihan tunggakan, dan berharap adanya tambahan pendapatan dari biaya sambungan baru. Ada sekitar 3.000 calon pelanggan yang ditargetkan akan dilayani pada tahun ini dengan biaya pemasangan 1 hingga 1,1 juta/unit. (Solopos, 08 Nopember 2007).


PDAM rugi bukan barang aneh. Hampir semua PDAM di Indonesia mengalami hal yang serupa. Kalaupun membukukan laba tingkat Return on Assets (ROA) umumnya hanya berkisar 3 %. Secara teori perusahaan yang sehat ROA bisa mencapai 10 %. Artinya secara umum kondisi PDAM di Indonesia dalam kondisi yang tidak sehat.

Ada lima faktor yang menjadi penyebab tidak sehatnya perusahaan yang dikelola oleh pemerintah di Indonesia. Pertama, tingkat profitabilitasnya rendah, Kedua, cara usahanya terkotak-kotak dan diwarnai usaha birokratis, Ketiga, tidak berorientasi pasar, kualitas dan kinerja usaha, Keempat, produktivitas dan utilitas asset masih rendah dan Kelima, pemasaran dan distribusi tidak terkoornir dengan baik.

Sementara itu menurut, Hari S. Malang Joedo (2006), dalam “ Reinventing BUMD, Kunci Sukses Mengembangkan BUMD Produktif dan Profesional “, faktor utama rendahnya kinerja BUMD disebabkan “undermanaged”. Terjadinya kegagalan dalam memahami manajemen secara hakiki. Mencakup sisi paradigma, struktur organisasi, nilai manajemen dan impak yang terjadi.

Paradigma manajemen yang ada disebagian besar BUMD adalah paradigma manajemen yang berorientasi produksi. Manajemen condong berkutat pada masalah tehnik dan produksi. Paradigma ini tercermin dari struktur oganisasi yang production/technical heavy. Berorientasi dan bertumpu pada masalah tehnis dan administrasi. Sementara isu-isu pemasaran dan pengembangan SDM belum mendapatkan posisi yang sama-sama strategis.

Pendekatan yang semacam ini secara langsung mencirikan value (nilai) perusahaan. Nilai perusahaan adalah gen atau pembawa karakter yang menjadi dasar dalam menentukan bagaimana organisasi dan SDM-nya berperilaku. Dengan paradigma dan struktur organisasi seperti di atas biasanya berperilaku manajemen agak arogan take it or lease. Kalau tidak mau ambil silahkan pergi. Impaknya pelayanan publik kurang memuaskan, masih jauh dari harapan masyarakat. Tingkat efisiensinya rendah yang berujung kontribusi laba yang tidak sepadan dengan investasi yang dikeluarkan.

Kembali pada permasalahan di atas. Mampukah manajemen PDAM Solo untuk mencapai target anggaran 2007 ? Dan dalam waktu dua hingga tahun ke depan melipatgandakan kinerjanya hingga 10 kali lipat ?

Dalam kalkulasi penulis agak berat terpenuhinya target anggaran 2007. Karena dalam waktu 2,5 bulan yang tersisa ini, harus ada pemasukan pendapatan sekitar 2,93 miliar. Dengan rincian 930 juta untuk menutup kerugian dan 2 miliar untuk setor ke PAD. Pencapaian angka sebesar itu pun, posisi PDAM baru dalam kondisi titik impas atau BEP (Break Event Point). Belum mampu membukukan keuntungan.

Dalam kondisi yang benar-benar rugi dan dapat dipertanggungjawabkan, menurut hemat penulis PDAM sebenarnya tidak perlu memaksakan diri untuk menyerahkan setoran ke PAD. Penggunaan istilah setoran sebenarnya kurang pas. Sebab dalam kondisi rugi bila dipaksakan setor, maka pada hakikatnya PDAM/PEMKOT sedang “memakan“ asetnya sendiri. Seharusnya yang diserahkan ke PAD bukan setoran. Tetapi besaran prosentase laba yang diperoleh pada tahun yang bersangkutan. Bila rugi tetap memaksakan diri setor ke PAD, di tengah jalan PDAM akan mengalami kesulitan likuiditas. Ujung-ujungnya pasti akan ngrencoki APBD.

Langkah strategis menuju perubahan

Obsesi Walikota meningkatkan 10 kali lipat kinerja PDAM, sebenarnya bukan sesuatu yang ngoyoworo. Potensi ekonomi dan prospek pasarnya masih sangat terbuka. Dari data website PDAM yang penulis akses ternyata pelanggan PDAM tidak hanya wilayah Solo. Namun juga melayani sebagian wilayah Sukoharjo, Klaten dan Karanganyar.

Pelanggan dari tahun ke tahun terus meningkat. Dari 53 ribu pelanggan didominasi pelanggan rumah tangga katagori 2, sekitar 36 ribu pelanggan. Sayang katagori Niaga 1, 2 yang sangat potensial mendatangkan keuntungan, karena tarifnya lebih mahal, perkembangan dari tahun ke tahun (2002-2005) justru mengalami penurunan. Niaga katagori 1 jumlah pelanggan pada tahun 2002 tercatat 5.387, tahun 2003 turun menjadi 5.386, tahun 2004 turun menjadi 5.200 dan tahun 2005 turun kembali menjadi 5.138.

Sedangkan niaga katagori 2 perkembangannya sebagai berikut. Tahun 2002 (315), tahun 2003 (311), tahun 2004 (309) dan tahun 2005 (306). Padahal saat ini perkembangan dunia bisnis di Solo sedang tumbuh dengan pesat. Di samping itu PDAM, memiliki peluang bisnis untuk melakukan diversifikasi produk yang tidak meninggalkan core bisnisnya. Misalnya membuka pabrik air mineral dalam kemasan yang pasarnya masih sangat terbuka lebar.

Kesemuanya akan terwujud bila Walikota melakukan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk mereformasi PDAM secara fundamental. Dengan menekankan aspek kepemimpinan yang visioner, manajemen yang handal dan professional dan SDM yang kompeten yang bertumpu pada prinsip-prinsip good governance.

Penulis yakin ke depan PDAM Solo akan mampu berperan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah sekaligus menjadi pelayanan publik yang professional dan mampu berkontribusi positif terhadap PAD. Bagaimanakah pendapat Anda ?

HARAPAN PENEGAKAN HUKUM TAHUN 2008 " HUKUM BERKEADILAN "

Oleh : Prof.Dr. Teguh Prasetyo,S.H.,M.Si.[1]

Tahun 2008 sebentar lagi akan kita jalani, berbagai harapan tentang tatanan kehidupan yang lebih baik tentu muncul di tahun baru tersebut, perbaikan ekonomi, pertumbuhan ekonnomi mikro maupun makro, makin berkurangnya pengangguran, makin tertibnya kehidupan dalam masyarakat dan penegakan hukum yang makin mantap dan adil. Kalau kita cermati sejak reformasi bergulir sekitar 10 tahun yang lalu para tokoh reformasi dan pemerintah telah bertekad mengembalikan supremasi hukum dalam praktek penyelenggaraan negara, langkah ini dianggap tepat karena praktek rezim sebelumnya telah menumbuh suburkan praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang sudah mengakar, sehingga tidak mengherankan kalau berdasarkan survai yang dilakukan oleh Tranparency Internasional, sebuah lembaga swadaya internasional anti korupsi yang bermarkas di Jerman Indonesia termasuk jajaran Negara paling korup di dunia, sebutan yang tidak mengenakkan tetapi realitanya demikian.

Dalam perjalannya, ternyata semangat reformasi yang menggema tidak sanggup memberantas praktek KKN secara tuntas, meskipun kita akui terdapat berbagai kemajuan dalam penegakan hukum. Kemajuan yang telah dicapai dibentuknya lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peradilan anti korupsi (Tipikor), munculnya berbagai lembaga pengawas anti korupsi, berbagai peraturan penanganan korupsi seperti INPRES tentang percepatan penanganan korupsi, banyak pejabat negara mulai bupati, gubernur, mantan menteri, mantan presiden, politisi, birokrat berurusan dengan hukum dan ada yang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Mereka yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa dinon aktifkan sementara dari jabatannya hal ini untuk obyektifitas pemeriksaan Kondisi ini tidak terdapat dalam rezim sebelumnya, kalau ada pejabat yang diguna korupsi penawar hukumnya yang membebaskan dari tuduhan tersebut telah disiapkan yaitu tindakan mereka bukan korupsi tetapi salah prosedur, jadi masuk dalam ranah hukum admistrasi negara bukan hukum pidana.

Kemajuan – kemajuan ini ternyata tidak banyak membawa perubahan yang signifikan sebutan sebagai negara terkorup masih kita sandang, banyak kasus korupsi, illegal logging, money luandring, BLBI yang merugikan keuangan negara trilyun nan rupiah belum bisa ditangani dengan tuntas,bahkan muncul kesan di dalam masyarakat bahwa dalam penanganan tindak pidana korupsi pemerintah terkesan tebang pilih. Penangan yang belum tuntas dalam pemberantasan korupsi tersebut yang menjadikan masyarakat apatis dan menjadi tidak percaya lagi terhadap hukum, kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya kasus korupsi yang dijatuhi pidana ringan bahkan ada pula yang diputus bebas jadi peradilan sulit untuk diprediksi (lact of predictability).

Penegakan Hukum Yang Diharapkan

Ketika kita sudah bertekad melaksanakan supremasi hukum, hukum harus dijadikan panglima yang mampu mengatasi semua permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya penanganan tindak pidana korupsi. Suatu negara yang ingin berhasil melaksanakan pembangunannya salah satu persyaratannya kekuasaan yudikatif yang merdeka, bebas dan tidak memihak, kuat, hanya dengan kekuasaan yudikatif yang powerful, maka semua praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) akan dapat ditekan sehingga korupsi tidak bisa tumbuh subur lagi ditengah – tengah praktek penyelenggaraan negara.

Arah penanganan korupsi harus memakai skala prioritas dan bersifat terbuka (akuntabilitas) dimulai dari penanganan korupsi kelas kakap, penangannya tidak pandang bulu siapa yang terlibat harus diproses dalam hukum, pengadilan nanti yang menentukan salah tidaknya perbuatan mereka. Target dari penanganan tindak pidana korupsi pengembalian kerugian negara yang diakibatkan dari perbuatan korupsi tersebut dan penjatuhan pidana yang berat yang dapat membuat jera bagi yang bersangkutan dan mempengaruhi orang lain untuk tidak berbuat korupsi jadi penanangan korupsi yang tegas bisa berefek represif dan preventif.

Dalam rangka obyektifitas penanganan korupsi tim majelis hakim bisa ditambah dari tiga menjadi lima dengan komposisi tidak semua dari hakim kariel tetapi juga dari hakim nonkariel atau hakim ad hoc, yang jumlahnya lebih banyak dari hakim non kariel. Persoalannya sekarang siapkah para penegak hukum kita memperbaiki citra badan peradilan yang sudah buruk ini?, kalau kita selalu mendasarkan pada teori saja upaya perbaikan citra tersebut terasa sulit karena hanya berangan angan saja, tetapi kalau pola pikir kita (mind set) telah berubah dan bertekad untuk memperbaiki citra, kami yakin tidak begitu lama citra badan peradilan bisa ditingkatkan dan orang bisa menaruh kepercayaan pada badan peradilan itu. Oleh sebab itu penegak hukum sebagai individu dan institusi yang otonom harus mempunyai kemandirian, krieativitas, kearifan, moralitas dalam menjalankan hukum untuk mencapai keadilan.

Membangun Paradikma Hukum Berkeadilan

Hukum dan penegakan hukum diharapkan mampu mengatasi dan mengamputasi persoalan korupsi di Indonesia yang sudah terbilang akut dan kronis. Agar hukum tidak dilecehkan atau dicemooh hukum harus berwibawa artinya hukum dapat menuntaskan persoalan yang dihadapi dan dapat memberikan putusan yang adil. Kenyataannya belum sepenuhnya penegakan hukum mampu menuntaskan persoalan yang krusial tersebut, penanganan korupsi masuh berlarut – larut, putusan, uang denda dan pengganti kerugian negara masih jauh dibawah kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi , menyiasati persoalan tersebut penulis mencoba mengusulkan konsep hukum berkeadilan.

Dalam hukum berkeadilan hendaknya kita jangan terjebak dalam rutinitas penanganan perkara, harus bisa mengkaji secara cermat kasus perkara yang sedang ditangani, alat – alat bukti yang ada, barang – barang bukti yang ditemukan, rumusan dakwaan yang cermat dan teliti dan tuntutan yang sesuai dengan akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Kesemua proses tersebut harus dengan mendasarkan pendekatan ilmu dan ilmu pengetahuan, mendengarkan reaksi dan tuntutan masyakat, konvensi internasional, pendek kata pendekatan yang digunakan tidak boleh bersifat tertutup melainkan terbuka.

Pendekatan terbuka dan bersifat lintas bidang merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan mengingat persoalan hukum tidak bisa bersifat stiril bebas nilai, namun kenyataannya banyak faktor – faktor yang perlu diperhatikan. Sebetulnya faktor – faktor diluar hukum sudah dikenal dan dipertimbangkan hakim sebelum menjatuhkan putusannya, yakni faktor – faktor yang memperberat hukuman dan faktor – faktor yang memperingan hukuman. Namun kedua faktor tersebut belum bisa untuk dijadikan unsur yang representatif untuk terbentuknya hukum berkeadilan.

Hukum berkeadilan merupakan target yang akan diujudkan, karena merupakan target maka diperlukan proses untuk mewujudkannya, proses ini yang merupakan proses peradilan pidana dimulai dalam tahap penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, penuntutan, pemeriksaan dalam siding pengadilan dan pelaksanaan hukuman. Proses peradilan pidana mengacu asas cepat, sederhana dan biaya murah. Asas ini hendaknya diwujudkan dan menjiwai proses peradilan pidana yang mempunyai rangkaian penanganan perkara berjenjang dan sangat panjang.

Paradikma hukum berkeadilan menempatkan hukum untuk mencari hakekat kebenaran yang hakiki (tidak kebenaran semu, atau kebenaran yang dibuat), menempatkan hukum di atas kepentingan pribadi, golongan, bersifat terbuka dalam arti menerima input – input dari masyarakat, konvensi internasional, hasil – hasil seminar, penelitian, melihat reaksi masyarakat serta mendasarkan pada pengetahuan dan ilmu pengatahuan yang terus berkembang maju. Pelaksanan hukum yang mampu menyerap dengan baik unsur – unsur di atas tersebut keputusan yang akan diambilnya lebih mencerminkan keadilan yang ada dalam masyarakat. Hukum dan pelaksana hukum harus dekat dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan reaksi di dalam masyarakat.

Hukum berkeadilan merupakan sistem, maka upaya untuk mewujudkannya merupakan kerja keras kita semua, masing – masing aparat penegak hukum harus mempunyai tekad yang sama untuk menegakan hukum dan keadilan, tumbuhnya tekad ini sebagai upaya membangun visi penegakan hukum yang sama diantara aparat penegak hukum sehingga terdapat satu gerak langkah dan sikap dalam upaya menciptakan keadilan. Terwujudnya keadilan yang adil suatu pekerjaan yang tidak gampang, karena terhadap putusan yang telah dijatuhkan adalah adil bagi seseorang belum tentu adil bagi orang lain. Mewujudkan keadilan adalah mewujudkan cita – cita yang abtrak kedalam peristiwa yang kongkrit.

Upaya untuk mewujudkan hukum berkeadilan dimulai dari membangun sikap mental diantara aparat penegak hukum, sikap yang mau keluar dari rutinitas kerja yang bersifat tertutup, sikap untuk terus mengikuti perkembangan pengetahuan dan ilmu pengetuhan yang terus berkembang maju (kalau perlu dituntut studi lanjut dalam jenjang Strata 2 maupun Strata 3), dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki perlu dikembangkan sikap mau menempatkan kepentingan hukum di atas kepentingan pribadi dan golongan. Penanganan perkara harus bersifat terbuka dan akuntabilitas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengikuti perjalanan perkara yang sedang ditangani hal ini mengingat sering terjadi persepsi yang berbeda antara masyarakat dan penegak hukum. Masyarakat menganggap setiap perkara yang dilaporkan adalah perkara pidana dan terdakwanya harus dihukum seberat – beratnya dan uang yang dikorupsi harus juga dikembalikan pada negara. Pandangan masyarakat yang demikian itu membawa konsekuensi penanganan perkaranya harus cepat dan terdakwanya dihukum berat.

Padahal laporan masyarakat dengan data pendukungnya belum tentu semua menjadi alat bukti dan barang bukti yang mempunyai nilai hukum. Laporan masyarakat sebagai petunjuk awal tentang tindak pidana yang dilanggar dan segera ditindaklanjuti dengan pengumpulan alat bukti, barang bukti. Apabila laporan masyarakat tidak didukung dengan alat bukti maupun barang bukti yang sah menurut hukum tentu akan mengalami kesulitan dalam proses penangan hukum selanjutnya.

Dalam kondisi yang demikian harus ada progressreport tentang perjalanan kasus yang ditangani, progressreport tidak hanya diberikan kepada atasan tetapi juga perlu diumumkan kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa memahami serta tidak mempunyai prasangka yang bukan – bukan kaitannya dengan penegakan hukum terhadap perkara yang sedang diproses. Hukum berkeadilan mampu menjelaskan proses penanganan perkara, karena tujuan dari proses perkara pidana adalah menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yang telah terbukti kesalahannya dan membebaskan terdakwa yang tidak terbukti kesalahannya, memproses perkara pidana kalau didukung alat bukti dan memhentikan perkara pidana kalau perkara tersebut tidak didukung oleh alat bukti yang sah.

1) Penulis adalah Guru Besar dan Direktur Pasca Sarjana Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta.

PREDIKSI EKONOMI 2008: SEKTOR RIIL JALAN DI TERMPAT

Artikel Dimuat di Harian Solopos, Senin 02 Januari 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen dan Program Studi Akuntansi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Seakan telah menjadi tradisi setiap menyongsong tahun baru, tidak terkecuali tahun 2008. Selalu terbesit ingin mengetahui bagaimana peruntungan dan nasib kita ? Lebih baik ataukah lebih buruk ? Khususnya yang menyangkut kehidupan dan penghidupan dalam sendi ekonomi.

Apabila kita jujur, menghadapi tahun 2008, sebagian besar masyarakat, masih dihantui dan diliputi rasa dag dig dug, sambil berharap-harap cemas. Mengingat kondisi dan situasi perekonomian di tahun 2007 di sektor riil dirasakan sangat berat. Harga sembako yang semakin melambung, sehingga tidak terjangkau masyarakat. Berakibat semakin rendahnya daya beli masyarakat. Walaupun dalam hitung-hitungan di atas kertas indikator perekonomian 2007, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi dan suku bunga perbankan versi pemerintah menunjukkan tanda-tanda positif.

Seperti apa kondisi dan potret perekonomian Indonesia 2008 ? Menurut catatan penulis ada tiga pandangan dalam mensikapi dan memprediksi perekonomian Indonesia 2008.

Pandangan pertama, optimis yakni pemerintah. Wajar apabila pemerintah berpandangan optimis bahkan sangat optimis menghadapi tahun 2008. Dalam kerangka untuk menarik simpati masyarakat, karena pilpres tahun 2009 sudah di depan mata. Dalam versi pemerintah pertumbuhan ekonomi 2008 akan mencapai 6,8 persen lebih tinggi bila dibandingkan tahun 2007 yang hanya 6,3 persen.

Dengan pertumbuhan sebesar itu diharapankan bisa membuka lapangan kerja dan menurunkan angka pengangguran. Pandangan optimis ini juga didukung oleh Bank dunia yang memuji perekonomian Indonesia telah berada di on track. Pertumbuhan ekonomi 2008 versi Bank Dunia diprediksi membaik dari 6,2 menjadi 6,4 persen.

Pandangan kedua, pesimis. Pandangan pesimis umumnya berasal dari kalangan pelaku dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Hampir sebagian besar masyarakat saat ini tidak percaya dan meragukan dengan angka-angka dan data tentang indikator ekonomi yang dipublikasikan pemerintah. Sebab mereka lebih melihat pada realitas di lapangan. Masyarakat kecil, khususnya wong cilik kehidupan dan kesejahteraan tidak ada perubahan sama sekali. Bahkan merasakan kehidupan yang semakin serba sulit. Untuk mencukupi kebutuhan mendasar yang layak saja mereka tidak mampu.

Menurut, Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph. D, Kepala Departemen Ekonomi FE UGM sebagaimana yang dilansir oleh harian Suara Merdeka, 22 Desember 2007, kebijakan pemerintahan SBY selama tiga tahun terakhir, di atas kertas sepintas memang telah membawa perubahan signifikan bagi kemajuan ekonomi. Angka pencapaian pertumbuhan sebagai indikator keberhasilan pembangunan ekonomi tumbuh menyakinkan, rata-rata di atas 5 persen.

Namun angka pertumbuhan tersebut terkesan sangat rapuh, karena hanya dinikmati oleh 40 persen golongan menengah dan 20 persen golongan terkaya. Sementara 40 persen golongan termiskin yang nota bene adalah wong cilik, tidak menikmati sama sekali, justru semakin miskin. Kualitas pertumbuhan relatif rendah. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi “ belum on the right track”. Hal senada juga diungkapkan IMF bahwa perekonomian Indonesia 2008 hanya tumbuh 6,1 persen lebih rendah dari APBN 2007 yang sebesar 6,3 persen.

Pandangan Ketiga, moderat, berasal dari kalangan akademisi. Umumnya akademisi memprediksi kondisi perekonomian Indonesia akan stabil bahkan bisa meningkat sepanjang asumsi-asumsi tertentu dipenuhi. Misalnya harga minyak dunia tidak melambung, program dan kebijakan pemerintah di sektor moneter dijalankan dengan konsisten, pemerintah melakukan reformasi birokrasi dengan sungguh-sungguh.

Dari ketiga pandangan tersebut, baik tersurat dan tersirat memiliki benang merah yang sama. Bahwa perekonomian di tahun 2008, khususnya di sektor riil masih menghadapi tantangan dan kendala yang berat. Semua pihak, baik pemerintah maupun pelaku dunia usaha masih harus bekerja keras dan memiliki komitmen yang sama untuk kembali bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Pertumbuhan Semu.

Pemerintahan SBY hendaknya tidak hanya melakukan strategi komunikasi tebar pesona melalui publikasi aspek moneter yang serba manis. Sebab dengan pendekatan sektor moneter semata, yang sekedar mengamankan APBN, tidak akan berdampak secara langsung dan signifikan pada sektor riil. Kita semua tentunya merasakan bahwa kenyataan di lapangan kondisi perekonomian masih carut marut.

Pertumbuhan yang nampak tinggi, sebenarnya lebih didorong oleh konsumsi pemerintah. Dengan demikian angka pertumbuhan yang tinggi tersebut, di atas angka enam persen, sebenarnya merupakan pertumbuhan yang semu. Pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas. Indikatornya angka pengangguran masih tinggi, karena investasi yang dilakukan bertumpu pada padat modal dan tehnologi.

Dalam pandangan penulis, kondisi perekonomian 2008 belum begitu mengembirakan. Bila dianalogkan, ibaratnya mendung masih menggelayut dan cuaca belum berasahabat. Sewaktu-waktu bisa terjadi hujan lebat yang disertai badai puting beliung. Ancaman terbesar berasal dari faktor eksternal yaitu kenaikkan harga minyak mentah dunia.

Patokan harga minyak dalam RAPBN 2008 60 dolar perbarel masih terlalu rendah. Idealnya dipatok pada kisaran 60-75 dolar perbarel. Karena harga pasar saat ini masih bertengger di atas 90 dolar perbarel. Selisih yang cukup besar bisa membahayakan perekonomian Indonesia. Bila subsidi BBM membengkak, sehingga defisit anggaran semakin besar. Tidak ada pilihan lain pemerintah pasti akan menaikkan haga BBM.

Kenaikan harga BBM dalam negeri akan memukul sektor riil. Karena BBM merupakan kebutuhan vital dan mendasar dalam dunia industri dan transportasi. Dampak kenaikkan BBM memicu tingginya angka inflasi. Akhirnya daya beli masyarakat semikin makin melemah hingga titik nadir. Perusahaan pun banyak yang gulung tikar dan PHK pun tidak terelakkan.

Pemerintah sebagai Tumpuan.

Dalam kondisi yang demikian, satu-satunya tumpuan untuk mampu menggerakkan sektor ekonomi saat ini hanya ada di tangan pemerintah. Sebab hanya pemerintah yang memiliki sumber pendanaan. Namun sayangnya dalam tiga tahun pemerintahan SBY penyerapan anggaran tidak bisa maksimal.

Faktor penghambat antara lain adalah proses penyusunan penganggaran yang tidak tepat waktu. Karena terlalu lama dibahas ditingkat eksekutif dan legislatif. Akibatnya hampir seluruh program dan kegiatan ditumpuk pada akhir tahun.

Faktor lain adanya ketakukan pihak eksekutif dalam menjalankan program dan kegiatan terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menjadikan APBN/APBD sebagai stimulus ekonomi untuk menggerakkan sektor riil. Kebijakan pemerintah yang tidak memberikan stimulasi pada peningkatan daya beli masyarakat dan membuka lapangan kerja, sebenarnya sangat disayangkan. Terkesan pemerintah hanya cari amannya saja.

Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah menyangkut perilaku kebijakan birokrasi yang cenderung lebih memihak pada kaum kapitalis. Indikatornya adanya distribusi yang tidak adil dan seimbang. Aset negara banyak yang jatuh ke swasta dengan alasan meningkatkan efisiensi anggaran dan mencar pajak yang lebih besar.

Perilaku tersebut sebenarnya sangat jauh menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 yang menganut paham demokrasi ekonomi yang sekarang popular dengan istilah ekonomi kerakyatan. Sekedar menjadi lip service dan retorika politik semata.

Kita semua berharap dan berdoa tahun 2008 lebih baik dari 2007. Namun bila hal-hal mendasar di atas tidak segera diperbaiki dan dibenahi penulis memiliki keyakinan tahun 2008 sektor riil masih akan jalan ditempat. Bahkan tidak menutup kemungkinan berjalan mundur ke belakang. Seperti undur-undur. Bagaimana pendapat Anda ?