Friday, January 18, 2008

GONJANG-GANJING TAHU TEMPE PEMERINTAH TERJEBAK STRATEGI DAGANG AS

Artikel dimuat di harian Solopos, Sabtu, 19 Januari 2008

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Magister Manajemen dan Progdi Akuntansi
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Tahu-tahu tempe, tahu-tahu tempe
asale mung saka dele tur enak rasane,
kabeh-kabeh mbutuhake jalaran murah regane

Itulah sepenggal bait tembang dolanan yang dulu pernah popular dan sering didendangkan masyarakat pada era tahun 70 an. Lagu tersebut berjudul Tahu-tempe. Kini tahu-tempe kembali menjadi buah bibir masyarakat, namun dalam konteks yang berbeda. Dalam sepekan terakhir tahu-tempe naik pamor kembali, pemberitaan di media cetak dan elektronik sangat gencar, seolah bersaing dengan pemberitaan kondisi kritis kesehatan pak Harto.

Pemberitaan ini mencuat, karena tahu-tempe tiba-tiba hilang dari peredaran. Apabila ada bakul yang menjual ukuran pun telah mengalami penyusutan, lebih kecil dari biasanya. Kalau pun ukurannya tetap harganya naik sekitar 50 persen. Sehingga syair lagu di atas, bila sekarang akan didendangkan syairnya harus dirubah tidak lagi, murah regane (murah harganya), namun larang regane (mahal harganya).

Mengapa tahu-tempe menghilang dari pasar ? Tentunya kita semua sudah tahu jawabannya. Kenaikkan atau kelangkaan tahu-tempe ini karena dipicu kenaikkan harga kedelai di pasaran yang melonjak dua kali lipat. Semula harga per kg kedelai Rp 4000,00 saat ini harga di pasar menembus harga Rp 8.000,00 per kg. Kenaikkan harga kedelai yang tak wajar membuat para pengrajin tahu-tempe menjerit dan kalang kabut. Bahkan tidak sedikit yang gulung tikar. Sebab mereka tidak mungkin untuk menaikkan harga jual tahu-tempe sebanding dengan kenaikkan harga kedelai. Kalau pun harganya dipaksakan ikut naik, pasti tidak laku. Karena umumnya konsumen tahu-tempe adalah masyarakat menengah bawah. Mereka sangat sensitif terhadap kenaikkan harga komoditas kebutuhan sehari-hari.

Reaktif dan Parsial

Unjuk rasa dan demo pun merebak diberbagai daerah menuntut pemerintah segera turun tangan menangani masalah ini. Karena sudah tidak lagi mampu menanggung derita, puncak kekesalan para pengrajin tahu-tempe diekspresikan dengan berdemo di depan Istana Negara. Jurus ini nampaknya, cukup manjur. Terbukti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya cawe-cawe turun tangan merespons tuntutan mereka.

Secara khusus SBY menggelar rapat sidang kabinet terbatas membahas kenaikkan dan kelengkaan kedelai. SBY meminta para menteri, pelaku usaha dan lembaga negara terkait dengan perdagangan kedelai untuk segera mencari alternatif sumber impor (Solopos, 16 Januari 2008). Di samping itu sebelumnya Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memutuskan menurunkan bea masuk impor dari 10 persen menjadi 0 persen. Ada juga imbuan kepada pihak swasta maupun BUMN untuk menggalakkan penanaman kedelai di tanah air.

Cukupkah imbuan-imbuan tersebut menyelesaikan permasalahan kenaikan harga dan kelangkaan kedelai di tanah air ?

Sikap dan kebijakan pemerintah yang demikian menurut hemat penulis baru sebatas lip service dan tindakan retorika politis pragmatis semata. Penulis yakin langkah diambil tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan membuat masalah baru. Kebijakan menurunkan bea masuk impor sampai nol persen misalnya, justru mendorong para spekulan berlomba-lomba mengimpor kedelai untuk ditimbun di gudang, dan akan melempar ke pasar bila harga sudah melangit.

Nampaknya pemerintah tidak memiliki grand design yang jelas dan sistimatis dalam menangani permasalahan ini. Mestinya pemerintah mencari akar permasalahan. Bukan bertindak reaktif dan parsial. Bila kita mau menengok kebelakang, sumber utama munculnya kelangkaan dan kenaikkan harga kedelai sebenarnya berpangkal dari kesalahan pengambil kebijakan pemerintah pada masa silam.

Kronologis Permasalahan

Mari kita lihat kronologisnya. Tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang membebaskan petani menanam dan mengembangkan komoditas yang mereka sukai. Akibatnya banyak petani yang beralih menanam kedelai, jagung, ubi jalar, kacang tanah, dan tanaman palawija yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi.

Dampaknya sejak tahun 1992 luas areal tanaman kedelai terus berkurang. Semula tahun 1992 luas panen kedelai lokal bisa mencapai 1.665.706 hektar, sembilan tahun kemudian, tahun 2001 turun tinggal menjadi 723.029 hektar. Empat tahun kemudian, pada tahun 2005 luas panen turun lagi menjadi 621.541 hektar. Tahun 2006 menjadi 580.534 hektar dan tahun 2007 menjadi 456.824 hektar atau tinggal 27,4 persen dari luas panen 1992.

Sementara itu bila mengacu data Biro Pusat Statistik (BPS) produksi kedelai 2006 mencapai 747.611 ton dan pada 2007 turun menjadi 608.263 ton. Sedangkan impor kedelai justru naik sebesar 6,7 persen. Kenaikkan impor kedelai mulai nampak sejak tahun 1998, saat pemerintah menerapkan kebijakan membuka kran impor kedelai. Tercatat tahun 1998 pemerintah mengimpor kedelai 394 ton. Tahun 1999 melonjak menjadi 1,3 juta ton. Sejak 2000-2006 rata-rata impor kedelai yang sebagian besar dari Amerika Serikat (AS) mencapai 1,2 juta ton tiap tahunnya.

Ini memang kondisi paradok. Di saat hasil panen kedelai lokal terus merosot, pada tahun 2000 produksi kedelai AS melimpah ruah. Pemerintah AS pun kewalahan menampung panen kedelai dari petani. Untuk menjaga insentif harga bagi petaninya, pemerintah AS melalui United State Departement of Agriculture (USDA) pada tahun 2000 meluncurkan kredit ekspor sebesar 12 juta dollar AS dan tahun 2001 ditingkatkan lagi menjadi 750 juta dollar AS. Fasilitas kredit yang demikian besar itu diberikan khusus kepada importer kedelai dari Indonesia (Kompas, 16 Januari 2008).

Bak mendapat durian runtuh, para importir kedelai dari Indonesia tidak menyia-nyiakan kesempatan, mereka berlomba memanfaatkan fasilitas tersebut. Importir mulai mendatangkan kedelai dari AS dalam jumlah besar ke Indonesia. Pasar merespons sangat positif, karena harganya lebih murah dan kualitasnya lebih bagus bila disbanding dengan kedelai lokal. Harga kedelai lokal Rp 2.500,00 per kg, sedangkan harga kedelai impor hanya Rp 1.950,00 per kg.

Kebijakan pemerintah AS tersebut sekilas nampaknya manis dan sangat menguntungkan bagi Indonesia. Namun sebenarnya AS telah memasang perangkap. Umpan fasilitas kredit ekspor senilai ratusan juta dollar. Perangkap maut itu akhirnya memakan korban. Kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor. Petani mulai meninggalkan tanam kedelai. Mereka berpaling pada komoditas yang lebih menguntungkan, seperti jagung dan palawija. Produksi kedelai nasional pun terus menurun. Padahal tahun 1992 Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai dengan produksi sekitar 1,8 juta ton.

Di saat ketergantungan terhadap kedelai impor sangat tinggi. Sekitar 70 persen kedelai Indonesia dipasok AS. Petani AS mulai selingkuh, mereka berpaling dan beralih menanam jagung, karena lebih menguntungkan. Peralihan komoditas ini dipicu oleh kebijakan pemerintah AS yang mulai mengembangkan energi alternatif bahan bakar nabati, dengan mengembangkan etanol berbasis jagung. Akibatnya produksi kedelai AS menjadi turun

Sesuai dengan kaidah hukum ekonomi, bila penawaran berkurang padahal permintaan tetap, maka harga pun akan melambung. Tidak itu saja, melambungnya harga kedelai juga dipicu oleh lonjakan harga minyak sawit mentah yang mendorong tingginya harga minyak goreng dunia, sehingga sebagian produksi kedelai juga dialokasikan untuk bahan baku minyak goreng. Kedelai pun semakin langka. Harganya pun semakin tidak terkendali.

Nasib pengrajin tahu-tempe, memang sedang apes, mirip pepatah mengatakan sudah jatuh tertimpa tangga pula ! Namun kita tidak perlu patah arang, seperti kata Bung Karno, “ Kita adalah bangsa besar, kita bukan bangsa tempe ? “ Bagaimana pendapat Anda ?

No comments: