Thursday, June 21, 2007

HASIL POOLING SATU TAHUN PEMERINTAHAN JOKOWI-RUDY

Oleh:
TIM MAP UNISRI

A. Pendahuluan
Pemerintahan negara dibangun atas kesepakatan bersama seluruh individu yang mendiami suatu kawasan teritori (wilayah negara) dalam wujud kontrak sosial (social contract). Kontrak sosial dasar atas bangunan negara kemudian difahami sebagai konstitusi (UUD). Konstitusi memuat kesepakatan dasar kewenangan dasar negara dan bagaimana kewenangan itu diatur dan didistribusikan kedalam seluruh intrumen institusi kelembagaan negara. Dalam konsep negara modern, tidak seluruh hak-hak rakyat diserahkan kepada negara, ada hak-hak alamiah dasar yang tidak ikut diserahkan kepada negara. Lebih dari itu, fungsi negara juga dimaksudkan untuk memaksimalkan hak-hak alamiah setiap individu warga negara. Sejauhmana kewenangan yang miliki oleh negara atas diri warga negara (freeman) berada dalam ranah kedaulatan rakyat yang secara periodik dapat ditinjau melalui pemilihan umum. (John Lock)
Desentralisasi kewenangan negara dalam koridor negara kesatuan berwujud otonomi daerah. Dalam azas desentralisasi tidak melahirkan daerah otonom yang bermakna federalism. Desentralisasi dan otonomi daerah sebatas manajemen pemerintahan negara yang bermuara pada efektivitas pelaksanaan fungsi negara untuk menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pada kontek limitasi kiranya dipahami bahwa walikota bukanlah aparat pemerintah pusat, tetapi pejabat publik lokal yang mempertanggung jawabkan kekuasaannya kepada masyarakat teritorialnya. Pemilihan Walikota Surakarta secara langsung setahun yang lalu, mempertegas relevansi kebesaran teori John lock.
Pasangan Walikota – Wakil Walikota Surakarta Ir. Joko Widodo dan Drs. Fx. Rudyanto yang memegang kekuasaan atas teritorial Kota Surakarta selalu dinantikan buahnya berupa perbaikan hidup dan kehidupan. Dengan otoritas kewenangan yang ada Jokowi – Rudy memiliki kesempatan sepenuhnya merealisir janji-janjinya ketika berkampanye. Satu tahun pemegang mandat kekuasaan eksekutif Pemerintahan Surakarta, memang belum rentang waktu yang cukup untuk melihat perbaikan hidup dan penghidupan warga Surakarta secara luas, akan tetapi waktu satu tahun sebuah waktu yang cukup untuk menilai arah kebijakan dan peletakan pondasi dasar meniti dan menata suatu kehidupan ideal yang dicitakan bersama seluruh warga.

B. Visi – Misi Pemerintahan Pasangan Walikota - Wakil Walikota Jokowi – Rudy

Sebagaimana dicanangkan dalam dalam kampanye pilihan kepada daerah (Pilkada) pasangan calon walikota – wakil walikto Ir. Joko Widodo – Drs Fx. Rudyanto hingga pelantikannya menjadi walikota dan wakil walikota Surakarta, visi yang diusung adalah “berseri tanpa korupsi”. Visi tersebut dijabarkan kedalam empat misi : (1) Terwujudnya iklim kehidupan kota yang kondusif, aman, dan damai. (2) Terwujudnya pembangunan kota yang adil dan demokratis. (3) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat kota. (4) Meningkatkan eksistensi kota dalam tata pergaulan regional, nasional maupun internasional.
Upaya mewujudkan visi dan misi pembangunan kota lima tahun ke depan, ditempuh melalui dua strategi pokok, yaitu : (1) Reaktualisasi tata kehidupan masyarakat kota yang berbudaya. (2) Strategi obtimalisasi potensidalam mewujudkan pembangunan Surakarta Kota Budaya. Dalam rangka gerak dan laju penyelenggaraan pemerintahan umum, pembangunan dan kemasyarakatan, pemerintahan pasangan walikota – wakil walikota Jokowi – Rudy, mengedepankan enam prioritas program kerja diantaranya adalah : (1) Bidang Pendidikan, (2) Bidang Ekonomi, (3) Bidang kesehatan, (4) Defisit Anggaran, (5) Penataan PKL, (6) Penertipan Hunian Liar. Melalui keenam prioritas program kerja itulah pemerintahan Jokowi – Rudy hendak mencapai visi – misi sebagai suatu usaha untuk mencapai tata kehidupan masyarakat Surakarta yang adil dan makmur.
Keberhasilan dari sebuah kerangka kerja birokrasi ditentukan oleh standart ukur baku yang disepakati yaitu masyarakat. Apapun yang dilakukan oleh pemerintah maka tidak akan bermakna bila masyarakat tidak merasakan terjadinya perbaikan kehidupan. Pemererintahan Jokowi – Rudy dipilih langsung oleh rakyat. Harapannya adalah terjadi perbaikan tatakehidupan dalam berbagai aspek. Strategi yang dilaksanakan oleh pemerintah diharapkan oleh masyarakat mampu memperbaiki terselenggaranya bidang-bidang yang telah dicanangkan sebagai prioritas. Dengan demikian untuk melakukan penilaian atas kinerja sebuah pemerintahan, perspsi masyarakat atas bidang yang dijadikan prioritas sangat penting.
Di dalam melakukan penilaian atas kinerja birokrasi publik ada banyak pendapat. Dwiyanto (1995) melakukan pengukuran atas kinerja birokrasi publik dengan menggunakan indikator: (1)produktivitas, (2) kualitas layanan, (3)responsivitas, (4)responsibility, dan (5)akuntabilitas (Dwiyanto,dkk, 48: 2002). Kumorotomo (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publi, antara lain : (1) efisiensi, (2) efektivitas, (3) keadilan, dan (4) daya tanggap.

Dalam konteks kinerja pelayanan publik di Indonesia pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prinsip pelayanan tersebut adalah: (1)kesederhanaan, (2)Kejelasan, (3)kepastian, (4)keamanan, (5)Keterbukaan, (6)efisiensi, (7)Ekonomis, dan (8) keadilan.
Lebih lanjut Dwiyanto (2002) menyatakan, secara garis besar berbagai parameter yang digunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pengguna jasa. Pembagian pendekatan atau perspektif tersebut hendaknya tidak secara diametris, melainkan tetap dipahami sebagai seatu sudut pandang yang saling berinteraksi diantara keduanya.
Dalam pollling yang dilakukan ini, usaha untuk melihat kinerja pelayanan publik atas enam prioritas pemerintahan Jokowi – Rudy (Bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, defisit anggaran, penataan PKL, dan penertiban hunian liar), dari perspektif pengguna jasa. Sedangkan indikator dan pengukuran yang digunakan dalam polling Kinerja satu tahun Pemerintahan Jokowi – Rudy adalah:

(1) Partisipasi publik:Derajat pemberian bagi publik oleh walikota untuk menyampaikan aspirasinya terkaiat dengan masalah pembangunan (hunian liar), pelayanan publik (pendidikan & kesehatan) dan pengembangan ekonomi (iklim usaha dan investasi)
- Sarana yang digunakan walikota untuk menampung aspirasi tersebut
- Bentuk-bentuk partisipasi publik
- Bagaimana publik memanfaatkan ruang partisipasi tersebut

(2) Penegakan hukum:
- Bentuk-bentuk penyelesaian pedagang kaki lima
- Kemampuan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus PKL dan hunian liar
- Rasa aman menurut masyarakat dari gangguan dan ancaman serta intimidasi aparat.
- Ada tidaknya kepastian hukum dalam penyelesaian kasus PKL dan hunian liar.

(3) Transparansi:
- Bagaimana keterbukaan pemkot dalam hal-hal menyangkut masalah defisit anggaran
- Bagaimana akses masyarakat terhadap informasi tentang penggunaan anggaran & masalah
defisit anggaran.

(4) Responsivitas:
- Bagaimana perhatian walikota terhadap masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi (UKM)
PKL dan hunian liar.
- Bagaimana respon walikota terhadap keluhan masyarakat dalam masalah pendidikan,
kesehatan, ekonomi, PKL dan hunian liar.
- Bagaimana pengaruh pemberitaan media masa terhadap tindakan atai kebijakan yang
diambil walikota dalam menangani masalah-masalah pendidikan, kesehatan dan usaha-
usaha kecil menengah, serta persoalan PKL dan hunian liar.
(5) Efisiensi dan efektivitas:
- Bagaimana tingkat keberhasilan pemerintah kota dalam mengatasi masalah defisit
anggaran.
- Berapa lama dan dan berapa besar biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk
memperoleh pelayanan (kesehatan dan ijin usaha/investasi) dari Pemkot.
(6) Akuntabilitas:
- Bagaimana praktek KKN di Pemkot dan Dinas dalam proses tender, penyusunan anggaran
dan program, serta upaya pemberantasannya.
- Bagaimana praktek politik uang dalam proses pemilihan pejabat publik oleh walikota.
(7) Keadilan:
- Sudah atau belumkah walikota memberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi
yang adil kepada semua pihak.
- Sudah atau belumkah walikota mempengaruhi aparat penegak (misal : Satpol PP) hukum
untuk memberikan pelayanan hukum yang adil.
(8) Manajemen Konflik dan upaya membangun konsensus:
- Mampu atau tidakkah walikota mengelola konflik yang berkaitan dengan PKL dan hunian
liar.
- Efektif atau tidakkah pendekatan yang diambil oleh walikota dalam menangai masalah PKL
dan hunian liar.

C. Methode Polling
1. Populasi:
Penduduk Kota Surakarta berusia berusia 17 – 60 tahun yang memiliki sambungan telepon rumah tangga dengan jumlah 80.633 (Buku Petunjuk Telepon Surakarta Tahun 2006)
2. Sampel
Kerangka sampel menggunakan Buku Petunjuk Telepon Solo Tahun 2006 (BPT Solo - 2006). Jumlah sampel ditentukan 600 responden, yang diambil secara acak.
Tehnik penarikan sampel : Sistematika sampling.
3. Instrumen data:
Kuisioner Guide (Terlampir)
4. Tehnik Pengambilan data: Wawancara terstruktur.
D. Personil:
Konsultan : 1. Dr. Falih Suaedi, M.Si (Unair / MAP - UNISRI)
2. Dr. Slamet Rosyadi, M.Si (Unsoed / MAP - UNISRI)
Pelaksana Peneliti : Drs. Suwardi, M.Si (Ketua)
Tenaga Lapangan : 30 orang Mahasiswa UNISRI semester IV-VI

E. Sumber Pendanaan:
Pasca Sarjana Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Magister Administrasi Publik (MAP – UNISRI)

F. Deskripsi Hasil Polling Berdasarkan Indikator Kinerja :

1. Pelaksanaan Polling :
- Pengambilan data (wawancara terstruktur) selama 10 hari (3 – 12 Juli 2006) dengan tenaga
lapangan sebanyak 30 orang mahasiswa semester IV, VI dan VIII.
- Tingkat pengembalian kusioner yang layak untuk dianalisis 97 % atau sebanyak 582
kuisioner.
2. Analsis Hasil Polling (Hasil analisis didasarkan pada standart error sebesar 5 %.)

Dari tabel-1 dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Secara keseluruhan kinerja pemerintahan Jokowi – Rudy memiliki kecenderungan baik di mata masyarakat, walaupun belum maksimal. Hal ini ditunjukan dengan jawaban klasifikasi-1(sangat baik) dan klasifikasi-2 (Baik). Jawaban klasifikasi-1 berada pada kisaran: 1,50 – 10,31 dengan rata-rata (5,46 %), dan 22,88 – 35,75 dengan rata-rata (29,45 %) untuk jawaban klasifikasi-2. Jawaban klasifikasi-3 (cukup) berada pada kisaran yang lebih tinggi : 23,45 – 45,80 dengan rata-rata (37,27 %) Sedangkan jawaban klasifikasi-4 (kurang baik) dan klasifikasi-5 (sangat kurang baik) relatif rendah : Berada pada kisaran 8,96 – 16,11 dengan rata-rata (11,28 %) untuk jawaban klasifikasi-4, dan jawaban klasifikasi-5 berada pada kisaran 0,75 – 7,56 dengan rata-rata (3,30).

2. Tingginya angka jawaban “tidak tahu” (13,03) atas keseluruhan pertanyaan yang diajukan bisa jadi menyiratkan adanya ketidak pedulian masyarakat atas kebijakan publik (sikap apatis), namun demikian jawaban “tidak tahu” juga mengindikasikan persoalan manajemen komunikasi publik. Kemampuan pemerintahan Jokowi – Rudy dalam mengatasi masalah defisit anggaran (sebagai contoh paling menonjol dari hasil polling) belum terkomunikasikan dengan baik ke masyarakat, sehingga masyarakat masih cenderung bersikap hati-hati dalam memberikan penilaian. Bahkan prosentase masyarakat yang menjawab “tidak tahu” atas pertanyaan yang terkait dengan informasi penyelesaian defisit anggaran cukup tinggi (22,15 %). Hal ini mengindikasikan manajemen komunikasi publik yang dibangun Pemkot kurang maksimal.

G. Analisis Kinerja Prioritas Kebijakan Pemerintahan

Di samping kesimpulan yang didasarkan pada tabel-1, berikut dipaparkan hasil polling terhadap prioritas kebijakan Pemerintahan Jokowi-Rudy, sebagai berikut:

1. Bidang Pendidikan
Bidang pendidikan merupakan bidang yang memperoleh prioritas utama dalam Pemerintahan Jokowi-Rudy. Hasil polling atas pelayanan pendidikan, kepada responden ditanyakan, tentang kepedulian walikota terhadap bidang pendidikan.
Masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah bidang pendidikan, yaitu : 18,55 % menyatakan sangat peduli, 37,95 % peduli, 30,91% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 7,88 % dan 1,92 % sangat kurang peduli. Sisanya 2, 77 % menjawab tidak tahu.

2. Bidang Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan publik yang strategis. Ketika masyarakat ditanya tentang kepedulian walikota terhadap pelayanan kesehatan, masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadapat masalah bidang kesehatan, yaitu : 11,78 % menyatakan sangat peduli, 34,73 % peduli, 38,52% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 8,84 % dan sangat kurang peduli 0,008 %. Sisanya 5, 26 % menjawab tidak tahu.
3. Bidang Ekonomi :
Salah satu janji pasangan Walikota – Wakil Walikota Jokowi – Rudy ketika berkampanye adalah kehendak yang kuat untuk menumbuhkan sektor ekonomi skala kecil. Usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi menjadi pilihan alternatif dalam menggerakan ekonomi rakyat.
Keberpihakan walikota terhadap usaha kecil dan koperasi, ditanyakan secara khusus. Masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah ekonomi (UKM dan Koperasi), yaitu: 11,13 % menyatakan sangat peduli, 33,63 % peduli, 40,31% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 9,13 % dan sangat kurang peduli 2,44 %. Sisanya 3,347 % menjawab tidak tahu.
4. Defisit Anggaran
Hasil polling atas kebijakan walikota dalam mengatasi masalah defisit anggaran berasal dari pertanyaan nomor 6, 7 dan 8
- Pertanyaan nomor 6 menanyakan informasi terkait dengan keberhasilan walikota di dalam mengatasi defisit anggaran.
- Pertanyaan nomor 7 menanyakan tentang pemahaman masyarakat berkaitan dengan keterbukaan kebijakan walikota dalam mengatasi defisit anggaran.
- Pertanyaan nomor 8 menanyakan tentang kemudahan masyarakat memperoleh informasi tentang penggunaan anggaran dan defisit anggaran.
Dari ketiga pertanyaan nomor 6, 7,dan 8 berkaitan dengan penyelesaian masalah defisit anggaran, merupakan pertanyaan terkait dengan kemudahan memperoleh informasi atas langkah kebijakan walikota dalam mengatasi masalah defisit anggaran. Dari ketiga pertanyaan yang diajukan, pendapat masyarakat cukup beragam. Diantaranya 29,03 % mengetahui, dan 23,45 % cukup mengetahui. Namun demikian di sisi lain data polling juga menunjukan 22, 15 % masyarakat menjawab tidak tahu.
5. Penataan PKL
Dalam rangka penataan pedagang kaki lima (PKL) Pemkot Surakarta membentuk Kantor Pengelola PKL. Jumlah PKL di Solo yang tercatat oleh Kantor Pengelola PKL Pemkot Surakarta mencapai angka 5.617 PKL. Dari data yang ada Pemkot Surakarta melalui Kantor Pengelola PKL telah mempu mengidentifikasi permasalahan, dan merumuskan kebijakan dalam rangka penataan PKL secara lebih baik baik semua pihak.
Polling berkaiatan dengan kebijakan penataan PKL berasal dari pertanyaan nomor: 12 yang menanyakan keseriusan walikota melakukan penataan PKL. Masyarakat berpendapat walikota cenderung serius di dalam penataan PKL. 11,78 % menyatakan sangat serius, 41,26 % menyatakan serius, 32,84 cukup. Sedangkan yang menyatakan kurang serius dan sangat kurang serius adalah 8,63 % dan 1,68 %. Sisanya 3,89 % menyatakan tidak tahu.

6. Penyelesaian Hunian Liar.
Polling berkaiatan dengan penyelesaian masalah hunian liar berasal dari pertanyaan nomor: 13 yang menanyakan keseriusan walikota menyelesaikan masalah hunian liar. Pendapat masyarakat terhadap kebijakan walikota dalam menyelesaikan masalah hunian liar kurang maksimal, dimana 3,14 % menyatakan sangat serius, dan 31,68 % masyarakat menyatakan serius. Sedang yang menyatakan cukup serius relatif besar, yaitu 36,63 %. Yang menyatakan kurang serius cukup signifikan 17, 52 %, sedangkan yang menyatakan sangat kurang serius 2,02 %. Sisanya 8,88 % masyarakat menyatakan tidak tahu.

7. Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Visi pemerintahan Jokowi – Rudy : “berseri tanpa korupsi” merupakan ihwal penting untuk dinilai. Kadar kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, secara umum rendah. KKN dalam kehidupan pemerintahan dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai gejala umum terjadi dibanyak tempat termasuk institusi pemerintahan.

Pertanyaan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi ditanyakan dalam Indikator akuntabilitas pemerintahan Jokowi-Rudy. Data hasil polling menunjukan jawaban yang beragam. Walaupun mereka yang menyatakan pendapat akuntabilitas pemerintahan Jokowi – Rudy terkait dengan KKN cenderung baik (5,22 % sangat serius, 22,88 % serius, dan 36,35 cukup), namun ada 20,55 % masyarakat yang menyatakan tidak tahu.

Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat cenderung mengambil sikap ragu-ragu untuk menilai kebijakan walikota sekarang di dalam memberantas KKN. Keragu-raguan diduga dipengaruhi oleh opini publik tentang korupsi birokrasi secara umum di Indonesia, dan pemberitaan yang sangat gencar tentang keterlibatan institusi pemerintahan di Kota Solo sebelumnya.POLLING SATU TAHUN
PASANGAN WALIKOTA –WAKIL WALIKOTA JOKOWI – RUDY
TIM MAP UNISRI

A. Pendahuluan
Pemerintahan negara dibangun atas kesepakatan bersama seluruh individu yang mendiami suatu kawasan teritori (wilayah negara) dalam wujud kontrak sosial (social contract). Kontrak sosial dasar atas bangunan negara kemudian difahami sebagai konstitusi (UUD). Konstitusi memuat kesepakatan dasar kewenangan dasar negara dan bagaimana kewenangan itu diatur dan didistribusikan kedalam seluruh intrumen institusi kelembagaan negara. Dalam konsep negara modern, tidak seluruh hak-hak rakyat diserahkan kepada negara, ada hak-hak alamiah dasar yang tidak ikut diserahkan kepada negara. Lebih dari itu, fungsi negara juga dimaksudkan untuk memaksimalkan hak-hak alamiah setiap individu warga negara. Sejauhmana kewenangan yang miliki oleh negara atas diri warga negara (freeman) berada dalam ranah kedaulatan rakyat yang secara periodik dapat ditinjau melalui pemilihan umum. (John Lock)
Desentralisasi kewenangan negara dalam koridor negara kesatuan berwujud otonomi daerah. Dalam azas desentralisasi tidak melahirkan daerah otonom yang bermakna federalism. Desentralisasi dan otonomi daerah sebatas manajemen pemerintahan negara yang bermuara pada efektivitas pelaksanaan fungsi negara untuk menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pada kontek limitasi kiranya dipahami bahwa walikota bukanlah aparat pemerintah pusat, tetapi pejabat publik lokal yang mempertanggung jawabkan kekuasaannya kepada masyarakat teritorialnya. Pemilihan Walikota Surakarta secara langsung setahun yang lalu, mempertegas relevansi kebesaran teori John lock.
Pasangan Walikota – Wakil Walikota Surakarta Ir. Joko Widodo dan Drs. Fx. Rudyanto yang memegang kekuasaan atas teritorial Kota Surakarta selalu dinantikan buahnya berupa perbaikan hidup dan kehidupan. Dengan otoritas kewenangan yang ada Jokowi – Rudy memiliki kesempatan sepenuhnya merealisir janji-janjinya ketika berkampanye. Satu tahun pemegang mandat kekuasaan eksekutif Pemerintahan Surakarta, memang belum rentang waktu yang cukup untuk melihat perbaikan hidup dan penghidupan warga Surakarta secara luas, akan tetapi waktu satu tahun sebuah waktu yang cukup untuk menilai arah kebijakan dan peletakan pondasi dasar meniti dan menata suatu kehidupan ideal yang dicitakan bersama seluruh warga.

B. Visi – Misi Pemerintahan Pasangan Walikota - Wakil Walikota Jokowi – Rudy

Sebagaimana dicanangkan dalam dalam kampanye pilihan kepada daerah (Pilkada) pasangan calon walikota – wakil walikto Ir. Joko Widodo – Drs Fx. Rudyanto hingga pelantikannya menjadi walikota dan wakil walikota Surakarta, visi yang diusung adalah “berseri tanpa korupsi”. Visi tersebut dijabarkan kedalam empat misi : (1) Terwujudnya iklim kehidupan kota yang kondusif, aman, dan damai. (2) Terwujudnya pembangunan kota yang adil dan demokratis. (3) Meningkatnya kesejahteraan masyarakat kota. (4) Meningkatkan eksistensi kota dalam tata pergaulan regional, nasional maupun internasional.
Upaya mewujudkan visi dan misi pembangunan kota lima tahun ke depan, ditempuh melalui dua strategi pokok, yaitu : (1) Reaktualisasi tata kehidupan masyarakat kota yang berbudaya. (2) Strategi obtimalisasi potensidalam mewujudkan pembangunan Surakarta Kota Budaya. Dalam rangka gerak dan laju penyelenggaraan pemerintahan umum, pembangunan dan kemasyarakatan, pemerintahan pasangan walikota – wakil walikota Jokowi – Rudy, mengedepankan enam prioritas program kerja diantaranya adalah : (1) Bidang Pendidikan, (2) Bidang Ekonomi, (3) Bidang kesehatan, (4) Defisit Anggaran, (5) Penataan PKL, (6) Penertipan Hunian Liar. Melalui keenam prioritas program kerja itulah pemerintahan Jokowi – Rudy hendak mencapai visi – misi sebagai suatu usaha untuk mencapai tata kehidupan masyarakat Surakarta yang adil dan makmur.
Keberhasilan dari sebuah kerangka kerja birokrasi ditentukan oleh standart ukur baku yang disepakati yaitu masyarakat. Apapun yang dilakukan oleh pemerintah maka tidak akan bermakna bila masyarakat tidak merasakan terjadinya perbaikan kehidupan. Pemererintahan Jokowi – Rudy dipilih langsung oleh rakyat. Harapannya adalah terjadi perbaikan tatakehidupan dalam berbagai aspek. Strategi yang dilaksanakan oleh pemerintah diharapkan oleh masyarakat mampu memperbaiki terselenggaranya bidang-bidang yang telah dicanangkan sebagai prioritas. Dengan demikian untuk melakukan penilaian atas kinerja sebuah pemerintahan, perspsi masyarakat atas bidang yang dijadikan prioritas sangat penting.
Di dalam melakukan penilaian atas kinerja birokrasi publik ada banyak pendapat. Dwiyanto (1995) melakukan pengukuran atas kinerja birokrasi publik dengan menggunakan indikator: (1)produktivitas, (2) kualitas layanan, (3)responsivitas, (4)responsibility, dan (5)akuntabilitas (Dwiyanto,dkk, 48: 2002). Kumorotomo (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam menilai kinerja organisasi pelayanan publi, antara lain : (1) efisiensi, (2) efektivitas, (3) keadilan, dan (4) daya tanggap.

Dalam konteks kinerja pelayanan publik di Indonesia pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prinsip pelayanan tersebut adalah: (1)kesederhanaan, (2)Kejelasan, (3)kepastian, (4)keamanan, (5)Keterbukaan, (6)efisiensi, (7)Ekonomis, dan (8) keadilan.
Lebih lanjut Dwiyanto (2002) menyatakan, secara garis besar berbagai parameter yang digunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama, melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pemberi pelayanan, dan pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan publik dari perspektif pengguna jasa. Pembagian pendekatan atau perspektif tersebut hendaknya tidak secara diametris, melainkan tetap dipahami sebagai seatu sudut pandang yang saling berinteraksi diantara keduanya.
Dalam pollling yang dilakukan ini, usaha untuk melihat kinerja pelayanan publik atas enam prioritas pemerintahan Jokowi – Rudy (Bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, defisit anggaran, penataan PKL, dan penertiban hunian liar), dari perspektif pengguna jasa. Sedangkan indikator dan pengukuran yang digunakan dalam polling Kinerja satu tahun Pemerintahan Jokowi – Rudy adalah:
(1) Partisipasi publik:
- Derajat pemberian bagi publik oleh walikota untuk menyampaikan aspirasinya terkaiat dengan masalah pembangunan (hunian liar), pelayanan publik (pendidikan & kesehatan) dan pengembangan ekonomi (iklim usaha dan investasi
- Sarana yang digunakan walikota untuk menampung aspirasi tersebut
- Bentuk-bentuk partisipasi publik
- Bagaimana publik memanfaatkan ruang partisipasi tersebut

(2) Penegakan hukum:
- Bentuk-bentuk penyelesaian pedagang kaki lima
- Kemampuan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus PKL dan hunian liar
- Rasa aman menurut masyarakat dari gangguan dan ancaman serta intimidasi aparat.
- Ada tidaknya kepastian hukum dalam penyelesaian kasus PKL dan hunian liar.

(3) Transparansi:
- Bagaimana keterbukaan pemkot dalam hal-hal menyangkut masalah defisit anggaran
- Bagaimana akses masyarakat terhadap informasi tentang penggunaan anggaran & masalah defisit anggaran.

(4) Responsivitas:
- Bagaimana perhatian walikota terhadap masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi (UKM) PKL dan hunian liar.
- Bagaimana respon walikota terhadap keluhan masyarakat dalam masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi, PKL dan hunian liar.
- Bagaimana pengaruh pemberitaan media masa terhadap tindakan atai kebijakan yang diambil walikota dalam menangani masalah-masalah pendidikan, kesehatan dan usaha-usaha kecil menengah, serta persoalan PKL dan hunian liar.
(5) Efisiensi dan efektivitas:
- Bagaimana tingkat keberhasilan pemerintah kota dalam mengatasi masalah defisit anggaran.
- Berapa lama dan dan berapa besar biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk memperoleh pelayanan (kesehatan dan ijin usaha/investasi) dari Pemkot.
(6) Akuntabilitas:
- Bagaimana praktek KKN di Pemkot dan Dinas dalam proses tender, penyusunan anggaran dan program, serta upaya pemberantasannya.
- Bagaimana praktek politik uang dalam proses pemilihan pejabat publik oleh walikota.
(7) Keadilan:
- Sudah atau belumkah walikota memberikan pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang adil kepada semua pihak.
- Sudah atau belumkah walikota mempengaruhi aparat penegak (misal : Satpol PP) hukum untuk memberikan pelayanan hukum yang adil.
(8) Manajemen Konflik dan upaya membangun konsensus:
- Mampu atau tidakkah walikota mengelola konflik yang berkaitan dengan PKL dan hunian liar.
- Efektif atau tidakkah pendekatan yang diambil oleh walikota dalam menangai masalah PKL dan hunian liar.

C. Methode Polling
1. Populasi:
Penduduk Kota Surakarta berusia berusia 17 – 60 tahun yang memiliki sambungan telepon rumah tangga dengan jumlah 80.633 (Buku Petunjuk Telepon Surakarta Tahun 2006)
2. Sampel
Kerangka sampel menggunakan Buku Petunjuk Telepon Solo Tahun 2006 (BPT Solo - 2006). Jumlah sampel ditentukan 600 responden, yang diambil secara acak.
Tehnik penarikan sampel : Sistematika sampling.
3. Instrumen data:
Kuisioner Guide (Terlampir)
4. Tehnik Pengambilan data: Wawancara terstruktur.
D. Personil:
Konsultan : 1. Dr. Falih Suaedi, M.Si (Unair / MAP - UNISRI)
2. Dr. Slamet Rosyadi, M.Si (Unsoed / MAP - UNISRI)
Pelaksana Peneliti : Drs. Suwardi, M.Si (Ketua)
Tenaga Lapangan : 30 orang Mahasiswa UNISRI semester IV-VI
E. Sumber Pendanaan:
Pasca Sarjana Universitas Slamet Riyadi Surakarta Program Magister Administrasi Publik (MAP – UNISRI)
F. Deskripsi Hasil Polling Berdasarkan Indikator Kinerja :

1. Pelaksanaan Polling :
- Pengambilan data (wawancara terstruktur) selama 10 hari (3 – 12 Juli 2006) dengan tenaga lapangan sebanyak 30 orang mahasiswa semester IV, VI dan VIII.
- Tingkat pengembalian kusioner yang layak untuk dianalisis 97 % atau sebanyak 582 kuisioner.
2. Analsis Hasil Polling
(Hasil analisis didasarkan pada standart error sebesar 5 %.)

Dari tabel-1 dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Secara keseluruhan kinerja pemerintahan Jokowi – Rudy memiliki kecenderungan baik di mata masyarakat, walaupun belum maksimal. Hal ini ditunjukan dengan jawaban klasifikasi-1(sangat baik) dan klasifikasi-2 (Baik). Jawaban klasifikasi-1 berada pada kisaran: 1,50 – 10,31 dengan rata-rata (5,46 %), dan 22,88 – 35,75 dengan rata-rata (29,45 %) untuk jawaban klasifikasi-2.
Jawaban klasifikasi-3 (cukup) berada pada kisaran yang lebih tinggi : 23,45 – 45,80 dengan rata-rata (37,27 %)
Sedangkan jawaban klasifikasi-4 (kurang baik) dan klasifikasi-5 (sangat kurang baik) relatif rendah : Berada pada kisaran 8,96 – 16,11 dengan rata-rata (11,28 %) untuk jawaban klasifikasi-4, dan jawaban klasifikasi-5 berada pada kisaran 0,75 – 7,56 dengan rata-rata (3,30).
2. Tingginya angka jawaban “tidak tahu” (13,03) atas keseluruhan pertanyaan yang diajukan bisa jadi menyiratkan adanya ketidak pedulian masyarakat atas kebijakan publik (sikap apatis), namun demikian jawaban “tidak tahu” juga mengindikasikan persoalan manajemen komunikasi publik. Kemampuan pemerintahan Jokowi – Rudy dalam mengatasi masalah defisit anggaran (sebagai contoh paling menonjol dari hasil polling) belum terkomunikasikan dengan baik ke masyarakat, sehingga masyarakat masih cenderung bersikap hati-hati dalam memberikan penilaian. Bahkan prosentase masyarakat yang menjawab “tidak tahu” atas pertanyaan yang terkait dengan informasi penyelesaian defisit anggaran cukup tinggi (22,15 %). Hal ini mengindikasikan manajemen komunikasi publik yang dibangun Pemkot kurang maksimal.

G. Analisis Kinerja Prioritas Kebijakan Pemerintahan

Di samping kesimpulan yang didasarkan pada tabel-1, berikut dipaparkan hasil polling terhadap prioritas kebijakan Pemerintahan Jokowi-Rudy, sebagai berikut:

1. Bidang Pendidikan
Bidang pendidikan merupakan bidang yang memperoleh prioritas utama dalam Pemerintahan Jokowi-Rudy. Hasil polling atas pelayanan pendidikan, kepada responden ditanyakan, tentang kepedulian walikota terhadap bidang pendidikan.
Masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah bidang pendidikan, yaitu : 18,55 % menyatakan sangat peduli, 37,95 % peduli, 30,91% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 7,88 % dan 1,92 % sangat kurang peduli. Sisanya 2, 77 % menjawab tidak tahu.

2. Bidang Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan pelayanan publik yang strategis. Ketika masyarakat ditanya tentang kepedulian walikota terhadap pelayanan kesehatan, masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadapat masalah bidang kesehatan, yaitu : 11,78 % menyatakan sangat peduli, 34,73 % peduli, 38,52% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 8,84 % dan sangat kurang peduli 0,008 %. Sisanya 5, 26 % menjawab tidak tahu.

3. Bidang Ekonomi :
Salah satu janji pasangan Walikota – Wakil Walikota Jokowi – Rudy ketika berkampanye adalah kehendak yang kuat untuk menumbuhkan sektor ekonomi skala kecil. Usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi menjadi pilihan alternatif dalam menggerakan ekonomi rakyat.
Keberpihakan walikota terhadap usaha kecil dan koperasi, ditanyakan secara khusus. Masyarakat berpendapat walikota cenderung memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masalah ekonomi (UKM dan Koperasi), yaitu: 11,13 % menyatakan sangat peduli, 33,63 % peduli, 40,31% cukup. Sedangkan yang berpendapat kurang peduli hanya 9,13 % dan sangat kurang peduli 2,44 %. Sisanya 3,347 % menjawab tidak tahu.

4. Defisit Anggaran
Hasil polling atas kebijakan walikota dalam mengatasi masalah defisit anggaran berasal dari pertanyaan nomor 6, 7 dan 8
- Pertanyaan nomor 6 menanyakan informasi terkait dengan keberhasilan walikota di dalam mengatasi defisit anggaran.
- Pertanyaan nomor 7 menanyakan tentang pemahaman masyarakat berkaitan dengan keterbukaan kebijakan walikota dalam mengatasi defisit anggaran.
- Pertanyaan nomor 8 menanyakan tentang kemudahan masyarakat memperoleh informasi tentang penggunaan anggaran dan defisit anggaran.
Dari ketiga pertanyaan nomor 6, 7,dan 8 berkaitan dengan penyelesaian masalah defisit anggaran, merupakan pertanyaan terkait dengan kemudahan memperoleh informasi atas langkah kebijakan walikota dalam mengatasi masalah defisit anggaran. Dari ketiga pertanyaan yang diajukan, pendapat masyarakat cukup beragam. Diantaranya 29,03 % mengetahui, dan 23,45 % cukup mengetahui. Namun demikian di sisi lain data polling juga menunjukan 22, 15 % masyarakat menjawab tidak tahu.
5. Penataan PKL
Dalam rangka penataan pedagang kaki lima (PKL) Pemkot Surakarta membentuk Kantor Pengelola PKL. Jumlah PKL di Solo yang tercatat oleh Kantor Pengelola PKL Pemkot Surakarta mencapai angka 5.617 PKL. Dari data yang ada Pemkot Surakarta melalui Kantor Pengelola PKL telah mempu mengidentifikasi permasalahan, dan merumuskan kebijakan dalam rangka penataan PKL secara lebih baik baik semua pihak.
Polling berkaiatan dengan kebijakan penataan PKL berasal dari pertanyaan nomor: 12 yang menanyakan keseriusan walikota melakukan penataan PKL. Masyarakat berpendapat walikota cenderung serius di dalam penataan PKL. 11,78 % menyatakan sangat serius, 41,26 % menyatakan serius, 32,84 cukup. Sedangkan yang menyatakan kurang serius dan sangat kurang serius adalah 8,63 % dan 1,68 %. Sisanya 3,89 % menyatakan tidak tahu.

6. Penyelesaian Hunian Liar.
Polling berkaiatan dengan penyelesaian masalah hunian liar berasal dari pertanyaan nomor: 13 yang menanyakan keseriusan walikota menyelesaikan masalah hunian liar. Pendapat masyarakat terhadap kebijakan walikota dalam menyelesaikan masalah hunian liar kurang maksimal, dimana 3,14 % menyatakan sangat serius, dan 31,68 % masyarakat menyatakan serius. Sedang yang menyatakan cukup serius relatif besar, yaitu 36,63 %. Yang menyatakan kurang serius cukup signifikan 17, 52 %, sedangkan yang menyatakan sangat kurang serius 2,02 %. Sisanya 8,88 % masyarakat menyatakan tidak tahu.

7. Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
Visi pemerintahan Jokowi – Rudy : “berseri tanpa korupsi” merupakan ihwal penting untuk dinilai. Kadar kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, secara umum rendah. KKN dalam kehidupan pemerintahan dipahami oleh sebagian masyarakat sebagai gejala umum terjadi dibanyak tempat termasuk institusi pemerintahan.

Pertanyaan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi ditanyakan dalam Indikator akuntabilitas pemerintahan Jokowi-Rudy. Data hasil polling menunjukan jawaban yang beragam. Walaupun mereka yang menyatakan pendapat akuntabilitas pemerintahan Jokowi – Rudy terkait dengan KKN cenderung baik (5,22 % sangat serius, 22,88 % serius, dan 36,35 cukup), namun ada 20,55 % masyarakat yang menyatakan tidak tahu.

Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat cenderung mengambil sikap ragu-ragu untuk menilai kebijakan walikota sekarang di dalam memberantas KKN. Keragu-raguan diduga dipengaruhi oleh opini publik tentang korupsi birokrasi secara umum di Indonesia, dan pemberitaan yang sangat gencar tentang keterlibatan institusi pemerintahan di Kota Solo sebelumnya.

Tuesday, June 19, 2007

PERAN KADIN DALAM MENDUKUNG VISI KOTA SOLO

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen (MM)
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Menjelang berlangsungnya Musyawarah Kota (Mukota) IV Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Solo, bursa pemilihan calon Ketua Umum (Ketum) Kadin Surakarta semakin memanas. Hampir tiap hari, selama dua minggu terakhir Solopos menurunkan liputan pernak-pernik seputar rencana pelaksanaan Mukota. Mulai dari prosedur dan mekanisme penyelenggaraan Mukota, desakan reformasi paradigma kelembagaan sampai dukung mendukung bakal calon (Balon) Ketum.

Situasi memanas menjelang Mukota menurut penulis adalah hal yang wajar-wajar saja dalam suatu organiasi. Bahkan boleh dikatakan telah menjadi ritual dan tradisi rutin setiap menjelang pergantian kepengurusan organisasi, tidak terkecuali Kadin. Tidak hanya di Solo namun juga di kota atau kabupaten lain di Indonesia. Namun fenomena tersebut biasanya hanya obor blarak. Sebatas ramai pada saat pemilihan Ketum saja, tetapi setelah kepengurusan terbentuk sepi dari aktivitas riil.

Dukung mendukung balon Ketum merupakan dinamika berorganisasi yang positif. Sepanjang yang didukung adalah visi, misi, dan program yang diusung dari balon Ketum. Bukan sebatas fiqur orangnya. Bila yang diusung dan didukung menjadi Ketum hanya sebatas fiqur orangnya, karena pertimbangan dan memiliki kepentingan tertentu, pasti akan menimbulkan akses negatif dibelakang hari. Oganisasi hanya sebatas dijadikan alat untuk meraih dan mencapai kepentingan dan keuntungan pribadi.

Artikel singkat dan sederhana ini penulis sampaikan, bukan dimaksud untuk mendukung salah satu calon Ketum. Apakah itu mas Hardono maupun mbak Baningsih ? Sebab menurut penulis keduanya memiliki potensi yang sama hebatnya. Baik dari segi bobot, bibit dan bebet. Namun sehebat apapun, keduanya tidak akan mampu memimpin Kadin dengan baik dan profesional bila tidak mendapat dukungan aktif dari anggota. Pepatah mengatakan “ Sehebat-hebatnya Superman, masih kalah dengan super tim “.
Bagi pelaku dunia usaha di Solo, penulis yakin mereka tidak begitu peduli dengan fiqur calon Ketum. Mereka hanya berharap Kadin ke depan bisa menjadi organisasi yang mandiri dan professional. Terbebas dari aspek kepentingan individu, kelompok, maupun golongan tertentu. Dapat berkiprah secara nyata, utamanya dalam memfasilitasi, memberdayakan dan memperjuangkan kepentingan para anggota. Di samping itu Kadin harus dapat menjadi mitra pemerintah daerah yang sejajar dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan kota Solo dalam sektor usaha dan ekonomi.

Kepengurusan Kadin 2007-2012 idealnya harus mampu merumuskan visi, misi dan program kerja serta kegiatan yang membumi yang sejalan dan selaras dengan visi dan misi Kota Solo. Berdasarkan Peraturan Daerah No 10 tahun 2001, Visi Kota Solo adalah ”Terwujudnya Kota Solo sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa pendidikan, pariwisata dan olah raga.” Visi ini kemudian dipertegas oleh Walikota Solo, Jokowi, ketika memperingati Ulang Tahun Kota Solo ke 261 pada 17 Februari 2006.

Sedangkan Misi Kota Solo adalah, pertama revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat dengan komitmen cinta kota yang berdasarkan pada nilai-nilai ”Sala Kota Budaya”. Kedua, meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dalam penguasaan dan pendayaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, guna mewujudkan inovasi dan integritas masyarakat madani yang berdasarkan kepada ke Tuhanan Yang Maha Esa. Ketiga, mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi serta mendayagunakan potensi wisata dan teknologi terapan yang akrab lingkungan. Keempat, membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan hak-hak Asasi Manusia dan Demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat utamanya penyelenggara pemerintah.

Jokowi menegaskan blue print pengembangan dan pembangunan Solo akan tetap mengacu pada jati diri dan potensi wilayah. Bicara masalah potensi wilayah, kota Solo sangat luar biasa baik dilihat dari aspek geografi, sosial dan ekonomi. Kota Solo memiliki luas wilayah 4.406 ha. Sebagian besar lahannya digunakan untuk pemukiman yaitu seluas 2.672,21 ha dan sisanya untuk ekonomi, industri, perdagangan, jasa dan pertanian.

Namun disisi lain saat ini kota Solo menghadapi permasalahan klasik yaitu tingginya angka pengangguran. Jumlah angkatan kerja di Kota Solo mencapai 237.888, atau sebesar 44,50% dari seluruh penduduk Kota Solo. Jumlah angkatan kerja yang bekerja mencapai 89,14% dari angkatan kerja, sedangkan sebesar 10,86% termasuk dalam katagori pengangguran terbuka.

Bila visi, misi, program kerja dan kegiatan Kadin disinkronkan dan disinergikan dengan visi Kota Solo maka akan memiliki dampak positif yang luar biasa dalam mempercepat laju pertumbuhan perkonomian yang berdampak pada penurunan jumlah pengangguran.

Selama ini ada kesan Kadin dan Pemkot masih jalan sendiri-sendiri. Di samping itu Kadin sebagai satu-satunya organisasi tempat bernaungnya para pengusaha yang resmi diakui pemerintah, masih terkesan elite dan politis. Hanya golongan pengusaha menengah dan besar saja yang masuk menjadi anggota. Sementara golongan pengusaha kecil dan mikro yang jumlahnya jauh lebih banyak belum tercover.

Perlu ada kesetaraan antara pengusaha besar dan kecil. Sejak krisis melanda Indonesia telah menyebabkan perubahan besar dalam dunia usaha. Dulu bisnis dikuasai oleh usaha besar yang diwakili oleh konglomerat, namun sekarang angkatan kerja justru dikuasai oleh UKM. Untuk itu sebaiknya tidak ada lagi dikotomi usaha besar, menengah atau kecil.

Kadin Solo ke depannya harus lebih pro aktif dalam mensosialisasikan dan merangkul semua pelaku usaha yang ada di kota Solo, tanpa pandang bulu. Hal ini sejalan dengan arah perubahan yang terjadi saat ini semakin berkembangnya tuntutan demokratisasi ekonomi. Tuntutan ini pada prinsipnya adalah tuntutan bagi terbukanya peluang partisipasi yang sama dan seluas-luasnya bagi semua pelaku usaha. Peluang partisipasi tidak boleh dibatasi oleh berbagai disain kebijakan maupun interaksi dalam dunia usaha yang mengarah pada praktek-praktek monopolistik dan oligopolistik. Berkaitan dengan ini, Kadin perlu mengaktualkan dirinya dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat yang bebas dari KKN, sejalan dengan slogan walikota Berserti tanpa korupsi. Penulis yakin para pengurus dan anggota Kadin Solo akan memiliki satu semangat yang sama dalam membangun Kadin, sepi ing pamrih, rawe ing gawe.
Selamat ber-Mukota !!!


REFORMASI PENGELOLAAN TSTJ MENDESAK ?

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Nama Taman Satwataru Jurug (TSTJ) di era tahun 80-an pernah berjaya dan berkibar ditingkat nasional. TSTJ terletak di sebelah timur kota Solo, berada ditepi Bengawan Solo. Jurug dan Bengawan Solo merupakan sebuah brand yang melegenda, terkenal ditingkat nasional maupun manca negara. Namun kini pamornya mulai meredup. Seiring dengan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Tidak terawat dan terkesan kumuh.

Berbagai upaya pernah dilakukan oleh Pemkot Solo untuk memulihkan dan mengangkat citra TSTJ. Diantara Walikota Solo, Jokowi, ingin menjadikan TSTJ menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMN), berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang dikelola secara professional. Namun gagasan ini sampai hari ini ternyata masih menjadi wacana perdebatan yang hangat dikalangan dewan.

Kalangan dewan belum sependapat dengan usulan eksekutif ini, akibatnya Raperda BUMD yang diajukan oleh Walikota jauh hari, sampai hari ini masih terkatung-katung. Walaupun dewan telah membentuk Pansus (Panitia Khusus) dan telah melakukan studi banding ke Jakarta. Sepulang dari studi banding Pansus membawa oleh-oleh yang cukup mengejutkan. Tim pansus menyatakan bahwa TSTJ kurang tepat bila diwadahi dalam format BUMD.

Ketua Pansus, Supriyanto, mengemukakan bila TSTJ berbentuk BUMD akan mengalami banyak kendala dalam hal masalah regulasi. Sedangkan salah satu anggota Pansus, Epi Rizandi, menyatakan bila TSTJ pengelolaannya dalam bentuk BUMD, maka tidak akan memberikan profit ke pemerintah.

Menurut penulis pendapat yang dinyatakan oleh anggota dewan tersebut terasa naïf. Sungguh aneh dan janggal bila kesimpulan disetujui atau tidaknya pengelolaan TSTJ dalam bentuk BUMD hanya disandarkan hasil studi banding semata. Pendapat tersebut masih premature. Sebab tanpa dilakukan dengan kajian yang mendalam.
Studi banding semestinya hanya sebagai bahan pelengkap dan pertimbangan saja. Pengkajian Raperda seharusnya menitik beratkan pada analisis kritis terhadap konsep Raperda itu sendiri. Mulai dari tataran visi, misi dan strategi, sampai pada implementasi pengendaliannya.

Konsep tersebut harus dikaji secara obyektif, simultan dan terintegrasi, dari berbagai sudut pandang, ekonomi, finansial, hukum, sosial dan politis. Tidak adil rasanya bila tim pansus menyimpulkan baik buruknya kinerja BUMD hanya sebatas melihat apa yang sedang terjadi.

Polemik berkepanjangan terhadap bentuk usaha TSTJ rupanya membuat gusar Koordinator Tim Pengelola TSTJ, Ir. Soejadi, sampai akhirnya mengeluarkan statement yang agak keras, sebagaimana yang dilansir Solopos, 01 April 2007, “ Tidak ada alasan bagi pihak manapun untuk menolak pembentukan BUMD berupa Perseroan Terbatas untuk pengelolaan TSTJ “


Kita memang seharusnya tidak ngebyah uyah semua BUMD kinerja rendah dan menjadi wahana Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta sering dijadikan “sapi perah” dan mesin uang bagi sebagian oknum, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif. BUMD akan menjadi badan usaha yang sehat, kuat, mandiri dan professional sepanjang konsep dasarnya jelas, memiliki payung hukum yang kuat dan sistem pengendaliannya dirancang secara matang.

Idealnya BUMD, tidak terkecuali TSTJ, keberadaannya mengemban tiga misi utama. Pertama, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua, menjadi organisasi pelayanan publik dalam bidang wisata dan konservasi flora maupun fauna. Ketiga, menjadi salah satu sumber andalan Penerimaan Asli Daerah (PAD).

Kunci Keberhasilan

Bagaimana langkah yang harus ditempuh, agar BUMD TSTJ mampu mengemban tiga misi tersebut, serta dapat menjawab keinginan masyarakat Solo, menjadi BUMD berbentuk PT yang dapat mengangkat derajat sosial ekonomi masyarakat ?

Jawabnya sangat sederhana, pengelolaan TSTJ harus direformasi, baik dalam aspek regulasi dan manajemen, dalam istilah Hari S. Malang Joedo (2006: 149-151) disebut dengan istilah Reinventing BUMD. Untuk menuju reinventing BUMD ada lima langkah yang harus ditempuh yaitu:

Pertama, adanya komitmen politik dari Kepala Daerah dan DPRD. Bentuk komitmennya diantaranya dengan membuat Perda BUMD. Perda dibutuhkan untuk memberikan arah ke depan bagi keberadaan dan pengelolaan BUMD yang lebih baik dan professional. .

Keduanya, perlunya dukungan strategis dari Pemkot yang diwujudkan antara lain dengan pembentukan Badan Pengelola dan Pengawas BUMD, secara transparan dan akuntabel.

Ketiga, perlunya master plan reinventing BUMD secara yang terpadu, tidak saling tumpang tindih antara satu BUMD dengan BUMD yang lainnya.

Keempat, melaksanakan reinventing BUMD dalam kerangka kelembagaan, yang ditata dalam tata kelola yang baik (good gavernance). Sehingga pelaksanaannya tidak bersifat sporadis, sektarian dan parsial.

Kelima, melakukan kontrol yang ketat dan konsisten terhadap proses reinventing BUMD. Kontrol yang dilakukan dalam rangka memastikan bahwa semua pelaku telah melaksanaan sesuai dengan kesepakatan. Artinya ada perangkat hukum atau kebijakan yang memberikan sanksi atas pelanggaran atau penyimpangan terhadap proses tersebut.

Kelima langkah tadi perlu ditempuh bila ingin mewujudkan TSTJ menjadi BUMD kebanggaan masyarakat Solo. Memang untuk mewujudkannya, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Menurut penulis usulan dari eksekutif yang menghendaki pengelolaan TSTJ dalam bentuk BUMD yang berbentuk PT adalah sebuah pilihan yang paling tepat, karena Pemkot telah memposisikan TSTJ sebagai profit center, sehingga pengelolanya harus terpisah dari campur tangan birokrasi.

Sebagai konsekuensinya pihak manajemen dituntut professional dan memiliki komitmen yang tinggi, keseriusan, kerja keras dan kerja cerdas, agar TSTJ mampu mandiri sekaligus dapat memberikan kontribusi pada PAD Kota Solo. Bukankah demikian ? Bagaimana dengan pendapat Anda ?

MENJADIKAN TSTJ PROFIT CENTER

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Prestasi, Ir. Sudjadi, selaku ketua satuan kerja yang diserahi tugas untuk
mengelola Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) selama masa transisi pantas diajungi jempol. Mantan Deputi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini mendapat tugas dari Walikota Solo Jokowi untuk menyiapkan TSTJ menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pilihan Walikota Solo, Jokowi, terhadap Sudjadi, sangat pas. Sesuai dengan kaidah manajemen modern ` the right man on the right place `.

Sebagai bukti target waktu yang diberikan selama enam bulan untuk menyelamatkan aset, memulihkan dan mengembangkan, serta menyiapkan Raperda TSTJ menjadi BUMD dapat diselesaikan dengan baik. Hanya dalam waktu tiga bulan.

Indikator keberhasilan dapat dilihat dari peningkatan pendapatan TSTJ. Sebagaimana dipaparkan dalam Suara Merdeka, edisi 05 Agustus 2006. Sejak Sudjadi menerima mandat pada bulan Mei 2006, pendapatan TSTJ meningkat tajam, bila dibanding pada bulan yang sama pada tahun 2005. Pendapatan bulan Mei 2005 sebesar Rp 99.693.000,00, sedangkan pendapatan Mei 2006 sebesar Rp 102.867.000,00. Berarti mengalami kenaikkan sebesar 3,18 persen.

Pendapatan Juni 2005 sebesar Rp 172.279.000,00 pendapatan Juni 2006 menjadi Rp 282.730.000,00. Ini berarti mengalami kenaikkan sebesar 64, 11 persen. Sedangkan pendapatan Juli 2005 sebesar Rp 144.073.000,00 dan pendapatan Juli 2006 sebesar Rp 172.216.000,00. Berarti naik sebesar 1,95 persen.

Memang pendapatan TSTJ sangat berfluktuasi. Ini dapat dimaklumi. Sebab sebagai sarana rekreasi keluarga, jumlah pengunjung sangat dipengaruhi oleh faktor libur sekolah. Namun bila dihitung rata-rata, kenaikkan pendapatan selama tiga bulan terakhir dibanding dengan periode yang sama tahun lalu mengalami peningkatan sekitar 23,08 persen. Sedangkan keuntungan bersih yang diperoleh selama tiga bulan mencapai sekitar Rp 120 juta. Keuntungan ini bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata perbulan yang sebesar Rp 185 juta, maka tingkat keuntungan mencapai sebesar 65 persen.

Ini membuktikan dan meneguhkan kenyakinan saya. Bila TSTJ dikelola serius dan sepenuh hati. Dengan menerapkan kaidah manajemen modern dan menempatkan SDM yang kompeten dan profesional. Tidak mustahil bila TSTJ bisa menjadi ” tambang emas ” bagi Kota Solo. Menjadi andalan salah satu primadona penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat potensial.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka konsep pengembangan dan pengelolaan TSTJ yang akan diwadahi dalam bentuk BUMD, seyogyanya dijadikan profit center (pusat laba). Bukan lagi sekedar menjadi cost center (pusat biaya). Apabila TSTJ menjadi pusat laba, maka Walikota harus mendelegasikan secara penuh pengelolaan TSTJ kepada seorang manajer dari kalangan profesional. Bisa diambil dari kalangan birokrasi atau mengambil orang luar. Tetapi rekruetmentnya harus melalui tahapan fit and proper test.

Manajer terpilih akan diberi tugas dan tanggungjawab sepenuhnya untuk mengelola TSTJ. Sebelum melaksanakan tugas, manajer TSTJ harus menyusun program dan kegiatan, beserta anggarannya untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Termasuk didalamnya target-target pendapatan dan prediksi pencapaian laba untuk setiap tahunnya.

Secara periodik kinerja manajemen TSTJ dievaluasi oleh pihak eksekutif maupun legeslatif. Bila terjadi penyimpangan atau kegagalan, manajer yang bersangkutan harus dimintai pertanggungjawaban. Kemudian diberi kesempatan untuk melakukan pembenahan. Namun bila tetap gagal, maka pihak manajemen harus diganti. Apabila terjadi penyimpangan yang berindikasi adanya tindak korupsi, maka harus diproses secara hukum dan diberi sanksi yang tegas.

Bila langkah ini diambil apakah tidak berarti mengkomersilkan atau membisniskan TSTJ ? Apakah nanti harga karcis masuk tidak mahal ? Apakah terjangkau oleh masyarakat bawah ? Itu mungkin beberapa pertanyaan yang ada dibenak masyarakat.

Bila Walikota Solo Jokowi berkomitmen menjadikan TSTJ sebagai Taman Hiburan Rakyat (THR). Saya kira patut kita hargai dan pantas kita sengkuyung bersama. Sebab bila pengelolaan TSTJ mendasarkan pada konsep value for money yang bertumpu pada tiga E, yaitu: ekonomi, efesiensi dan efektifitas. Walikota masih bisa campur tangan untuk menentukan besarannya harga karcis yang terjangkau oleh masyarakat dari kalangan bawah. Murah dan meriah ! Dengan fasilitas yang lengkap dan memadai. Saya optimis dengan tarif murah, TSTJ tetap dapat meraup keuntungan.

Mengapa tidak ? Ini bukan sekedar impian. Dengan satu catatan ! Pengelolaan TSTJ harus terbebas dari kepentingan politik dan kepentingan lainnya. Sistem pengelolaan dan rekruement pegawai harus transparan. Dan pengelolaan keuangan harus akuntabel. Bila prasyarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka TSTJ akan lebih baik bila diprivatisasi atau pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta.

Sebab pengalaman masa lalu menunjukkan BUMD/BUMN sering menjadi sapi perah bagi kalangan birokrasi dan elit politik. Sehingga hampir sebagian besar tidak sehat, bahkan merugi selama puluhan tahun. Yang akhirnya justru keberadaannya tidak menambah sumber pendapatan negara atau daerah, namun justru membebani APBN/APBD.

Namun saya optimis bila di bawah kepemimpinan Jokowi-Rudy yang mengusung slogan Berseri tanpa Korupsi, TSTJ akan lebih baik bila dikelola dalam bentuk BUMD. Sebab bila di privatisasi disatu sisi tugas Pemkot memang sangat ringan. Tahunya hanya menerima setoran uang dari tender pemenang tender.Tidak usah pusing-pusing memikirkan investasi.

Namun sebenarnya bila kita kaji lebih mendalam privatisasi sisi negatifnya lebih banyak. Diantaranya keberlangsungan pengelolaan TSTJ jangka panjang tidak menentu. Di samping itu investor biasanya hanya melulu cari untung yang sebesar-besarnya, mengabaikan dimensi sosial dan kelestarian lingkungan hidup jangka panjang. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana MM Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta..


WACANA AUDIT DANA BANTUAN APBD BERMUATAN POLITIS ?

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Semangat anggota DPRD Kota Solo dalam menjalankan fungsi pengawasan anggaran pantas diacungi jempol. Dalam setiap keterlibatan pembahasan dan penyusunan APBD maupun APBD-P, anggota dewan nampak vokal dan sangat kritis. Tidak terkecuali dalam mengawasi dana bantuan yang disalurkan kepada masyarakat lewat ormas atau orsospol. Berapa pertanyaan selalu mengemuka dan mereka lontarkan. Kenapa dananya sebesar itu ? Untuk apa saja pemanfaatannya ? Bagaimana pertanggungjawabannya ?.

Lontaran pertanyaan tersebut wajar-wajar saja. Karena berdasarkan pengalaman selama ini, bukan rahasia lagi bahwa penyaluran bantuan dana tersebut sering tidak jelas jluntrungnya. Dana bantuan memang rawan penyimpangan, penyelewengan dan penyalahgunaan. Karena prosedur dan mekanisme pengajuan serta penyaluran dan akuntabilitasnya sering tidak disampaikan secara transparan kepada masyarakat.

Tidak jarang setelah dana di tangan lembaga atau organisasi penerima dana, yang mengetahui penggunaannya hanya kalangan pengurus tertentu saja. Pertanggungjawabannya pun kadang hanya menekankan aspek administratif. Sedangkan monitoring yang dilakukan dengan sistematis dan perencanaan matang jarang dilakukan. Lebih banyak hanya bersifat formalitas. Sepertinya kita belum memiliki sistem pengalokasian dana batuan dan pengawasan yang terpadu.

Kepemimpinan Walikota & Wakil Walikota Solo Jokowi & Rudi, nampaknya sangat bermurah hati dan sangat peduli terhadap wong cilik. Berbagai bantuan dalam nilai yang cukup besar sering digolontorkan kepada mereka. Untuk tahun 2006 ini saja misalnya Pemkot Solo mengalokasikan bantuan dana kepada ormas, orsospol dan tempat ibadah yang totalnya mencapai miliartan rupiah. Salah satunya kepada KONI Rp 1,1 miliar dan Persis Rp 6,5 miliar.
Persis memang mendapat alokasi bantuan yang paling besar. Total dana yang disalurkan 6,5 miliar rupiah. Sebuah jumlah yang tidak sedikit. Maka wajar dan sah-sah saja apabila kemudian FPAN dan FPKS meminta Persis diaudit lebih dahulu sebelum menerima tambahan dana 3,5 miliar (Suara Merdeka, 09 Oktober 2006).

Rupanya desakan yang menguat dari fraksi-fraksi tersebut mendorong anggota FPDI YF Sukasno akhirnya turut mendukung desakan tersebut, namun dengan sebuah catatan. Dia meminta semua lembaga dan organisasi penerima dana bantuan APBD harus diaudit. Tidak terkecuali lembaga kemasyarakatan dan lembaga keagamaan. Memahami dirinya menjadi sorotan banyak pihak, pak Rudy pun sebenarnya sudah menyatakan siap diaudit terkait dengan penggunaan dana Persis.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut, penulis menangkap kesan usulan audit dana bantuan ini kental dengan nuasa politis. Terjadi “saling tembak” antar anggota dewan. Kamu menekan, maka saya juga menekan. Seperti kita ketahui bahwa Ketua Umum Persis Solo FX Hadi Rudyatmo, yang juga wakil walikota, berasal dari PDIP. Sorotan tajam tertuju ke pak Rudy terkait dengan kemudahan Persis mendapatkan dana bantuan dari Pemkot yang nilainya sangat besar. Dana tersebut digunakan untuk membiayai Persis masuk Kompetisi Devisi I.

Usulan untuk melakukan audit dana bantuan kepada masyarakat semestinya bukan ditujukan kepada pribadi-pribadi. Atau sekedar melihat besar-kecilnya anggaran yang telah dikucurkan. Namun seharus didasarkan kepada peraturan, sistem dan prosedur yang jelas berdasarkan kepada anggaran berbasis kinerja.

Penulis sepakat bahwa pemberian bantuan dana ke masyarakat harus dikaji ulang. Mulai dari proses sosialisasi, mekanisme pengajuan dana, pencairan dana, penggunaan dana sampai pertanggungjawabannya. Bila tidak penulis kuatir dana tersebut hanya akan dinikmati oleh sekelompok orang atau golongan tertentu saja yang dekat dengan akses informasi.

Fenomena yang ada menunjukkan. Ada kecenderungan beberapa oknum masyarakat yang setiap tahun selalu berupaya membuat dan mengajukan proposal ke Pemkot. Mereka tahu dana apa dan pos-pos mana yang telah dianggarkan. Dana-dana tersebut apabila tidak diambil akan hangus atau kembali ke kas daerah. Misalnya dana bantuan tempat ibadah yang nampaknya kecil hanya Rp 1,5 juta per masjid/mushola.

Bila sementara pihak mengatakan jumlah dana relatif kecil dan tidak perlu diaudit perlu dipertanyakan pula apa dasarnya ? Sebab bila dana tersebut dikumulatifkan akan sangat besar mencapai ratusan juta. Mungkin tidak perlu diaudit, namun apakah tidak perlu dimonitoring dan dikaji ulang penyelenggaraannya. Sejauhmana efektifitasnya penggunaannya ? Apakah tidak seyogyanya pengalokasiaan dananya menggunakan skala prioritas, misalanya ? Biar temonjo dan tidak mubadzir. Dari pada hanya sekedar dibagi sama besar dan sama rata.

Apabila dipandang perlu dilakukan audit, maka perlu diperjelas. Jenis audit apa yang akan digunakan ? Apakah general audit ataukah spesial audit ? Siapa yang diberi kewenangan untuk mengaudit ? Audit intern ataukah audit ekstern ? Di samping perlu dipikirkan pula kreteria organisasi atau lembaga penerima dana bantuan yang akan diaudit. Yang menerima bantuan dalam jumlah berapa ? Apakah akan dipukul sama rata ?

Sebenarnya apabila Pemkot telah memiliki acuan kebijakan dan standar kinerja serta sistem pengendalian yang efektif, maka tidak semua alokasi dana bantuan yang disalurkan kepada masyarakat harus diaudit

Betapa repot dan jlimetnya apabila semua dana bantuan harus diaudit ? Bisa jadi tenaga auditor hanya disibukkan dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Sementara obyek pemeriksaan lain yang lebih besar dan berpotensi menyimpang dalam jumlah besar justru terabaikan. Jangan sampai kita mburu uceng kelangan deleng. Bagaimana pendapat Anda ?


*) Penulis adalah Staf Pengajar Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.


MENYOAL BEDHOL PKL MONJARI, SOLO SURGA BAGI PKL ?

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Menjelang satu tahun pemerintahan Jokowi-Rudy yang jatuh pada hari Jumat, 28 Juli 2006 yang akan dating. Pemkot Solo mencatat prestasi yang membanggakan. Pasangan Walikota-Wakil Walikota Jokowi-Rudy, Minggu, 23 Juli 2006, kemarin berhasil memboyong 989 PKL Klitikan Monumen Banjarsari (Monjari) ke pasar Notoharjo, Semanggi. Peristiwa boyongan yang dikemas dalam bentuk kirab budaya, disambut gembira dan antusias oleh ribuan warga masyarakat dan PKL, sepanjang rute perjalanan. Konon ini satu-satunya penataan dan relokasi PKL di Indonesia yang berlangsung dengan aman, tertib, dan tanpa kekerasan. Sehingga pas bila prestasi ini dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).

Boyong PKL model Solo ini, memang peristiwa langka dan unik. Sepantasnya bila mendapat apresiasi positif dari warga masyarakat. Walaupun demikian ternyata di tengah masyarakat kebijakan ini masih menimbulkan pro dan kontra. Sebagai contoh di tengah-tengah perbincangan dan diskusi dengan rekan dosen di kampus. Ada yang menyoal dan mengajukan pertanyaan yang sangat kritis dan menggelitik. Teman saya ini tidak sependapat dengan kebijakan tersebut. Bahkan menyatakan dengan nada tinggi “ Kalau begini caranya Solo akan menjadi surga bagi PKL”.

Kenapa demikian ? Konon katanya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga, sekitar 60 persen PKL Monjari bukan warga Solo. Dan dulu waktu menempati lokasi Monjari tanpa ijin, bahkan setengah menjarah tanah negara. Namun mengapa sekarang mereka direlokasi dengan diberi berbagai fasilitas yang serba gratis. Kios gratis, perijinan gratis, sampai-sampai saat boyongan pun disediakan angkutan truk gratis ? Untuk siapa sebenarnya Jokowi-Rudy bekerja?

Berondongan petanyaan teman saya ini, membuat saya sempat tercenung. Apa yang disampaikan dengan menggebu-gebu tersebut memang pantas kita pikirkan dan renungkan bersama. Sebab kebijakan tersebut oleh sebagian masyarakat juga ditengarai dan dicurigai mengandung “pamrih politik” dikemudian hari. Benarkah demikian ? Wallahu alam bisawab.

Namun terlepas dari argumentasi tersebut, saya ingin menyampaikan pendapat. Apa yang telah dilakukan duet pasangan Jokowi-Rudy terkait dengan relokasi PKL Monjari, telah sejalan dengan komitmen politik yang dibuat saat awal menjabat sebagai Walikota dan Wakil Wali Kota setahun yang lalu. Jokowi-Rudy sepakat untuk memprioritaskan enam bidang utama yang akan mendapat penanganan. Mencakup bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, defisit anggaran dan penataan PKL.
Bedhol PKL Monjari ini sangat terkait dan sejalan dengan prioritas bidang ekonomi, hukum dan penataan PKL. Dalam bidang ekonomi Jokowi-Rudy berkomitmen untuk memberdayakan Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK), khususnya sektor informal dengan memberi fasilitas dan kemudahan untuk akses permodalan dan perijinan. Dalam bidang hokum terkait dengan penindakan tegas terhadap pelanggaran perda, tidak terkecuali PKL dan Hunian Liar.

Sedangkan untuk penataan PKL, saya melihat Jokowi-Rudy melalui Kantor PKL, telah memiliki skenario kebijakan yang cukup efektif. Sesuai dengan Perda nomor 6/2001 tugas dan kewenangan dari Kantor PKL meliputi pembinaan, penataan dan penertiban yang. Bentuk pembinaan dan penataan yang dilakukan meliputi zona, pengadaan shelter, gerobak dorong dan tendanisasi. Sedangkan untuk penertiban bekerjasama dengan Satpol PP.

Adilkah bila PKL Monjari dan PKL yang lainnya relokasi dan fasilitasnya serba digratiskan ? Padahal realitas di lapangan hampir duapertiga berasal dari luar Solo ?

Terkait dengan masalah ini kita harus berani berfikir obyektif dan jujur. Bila cara kita melihat permasalahan hanya dari sudut pandang sempit melihat dari status kependudukan, memang kebijakan ini terasa tidak adil. Namun bila kita berfikirnya secara komprehensif dan holistik, kita akan mendapatkan titik temu kebijakan tersebut akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan warga Solo. Kok bisa ? Mari kita lihat, berdasarkan Perda nomor 10/2001, visi Kota Solo adalah mewujudkan Solo sebagai kota budaya yang bertumpu pada aspek perdagangan, jasa, pendidikan, olah raga dan pariwisata.

Sejak awal kita sadar bahwa perdagangan dan jasa menjadi dua pilar penompang utama untuk mewujudkan kota budaya. Trade mark Solo sebagai kota dagang memang sudah lama melekat sejak jaman dulu. Dan inilah yang menjadi kekuatan potensi utama dari kota Solo. PKL Monjari yang semula termasuk katagori PKL liar, sebenarnya merupakan embrio lahirnya wirausahawan baru yang tangguh. Sepantasnya bila mereka kemudian dinaikkan statusnya menjadi pengusaha formal yang lebih terhomat. Ini juga sejalan dengan amanat dari UUD 1945, khususnya pasal 33, tentang demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan.

Walaupun mereka sebagian besar bukan warga Solo, namun keberadaan mereka akan menimbulkan multi player effect yang cukup significant dalam menggerakan roda perekonomian dan bidang sosial bagi kota Solo, khususnya warga disekitar Semanggi.

Bagaimanapun juga PKL saat ini telah menjadi permasalahan utama bagi kota-kota besar di Indonesia yang sangat dilematis. Pertumbuhan dan perkembangannya sangat pesat, saat memasuki krisis ekonomi dan pasca reformasi. Berdasarkan data yang ada, PKL untuk wilayah Solo saja dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan pertahunnya mencapai 130 persen. Mau diapakan mereka ? Apakah mereka akan sekedar dan digusur saja ? Saya kira ini tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru akan menimbulkan masalah baru.

Sebagai warga Solo memang kita berharap banyak kepada Jokowi-Rudy untuk dapat mewujudkan slogan “Berseri tanpa Korupsi”, tidak sebatas wacana namun menjadi kenyataan. Kita sangat merindukan Monjari kembali Berserti (bersih, sehat, rapi dan indah) seperti semula dan berfungsi kembali sebagai ruang publik, dapat untuk olah raga dan bercengkrama dengan keluarga. Bagaimana dengan pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta.

THR DALAM KEMASAN KURSUS SDM, NGONO YO NGONO NING OJO NGONO

0leh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Tindakan DPRD Sukoharjo menyelenggarakan kursus peningkatan sumber daya manusia (SDM) di Bali perlu disoal dan dipertanyakan. Baik dari aspek legal formalnya, subtansi maupun dari asas kepatutan dan kepantasannya. Bisa jadi kegiatan ini sangat menyakiti hati rakyat Sukoharjo. Bayangkan ! Akibat gempa bumi yang melanda DIY dan Jateng belum lama ini. Di wilayah Sukoharjo masih terdapat ratusan gedung sekolah yang roboh dan belum sempat dipugar, karena keterbatasan dana. Akibatnya ribuan siswa kini terpaksa belajar di tenda-tenda dan rumah penduduk. Di sisi lain masih banyak anggota masyarakat yang mengalami kesulitan membianyai sekolah anak-anaknya.

Namun dengan enteng, 45 anggota dewan Sukoharjo bisa nglencer ke Bali. Dengan dalih untuk mengikuti kursus peningkatan SDM. Dengan alokasi dana 330 juta. Diambilkan dari Belanja Operasional dan Pemeliharaan (BOP) APBD. Dengan dana sebesar itu, maka bila dihitung anggaran untuk setiap orang mencapai sekitar Rp 7,3 juta. Tentunya ini jumlah uang yang tidak sedikit.

Kegiatan ini pantas dipersoalkan dan dipertanyakan. Dalam pandangan penulis kegiatan ini masuk katagori skandal penyalahgunaan anggaran. Argumentasi yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut secara legal formal adalah sah tidak benar dan tidak mendasar sama sekali. Mari kita cermati. Metode penganggaran APBD yang berlaku saat ini adalah anggaran berbasis kinerja.

Anggaran kinerja adalah tehnik penyusunan anggaran berdasarkan pertimbangan beban kerja dan unit cost dari setiap kegiatan yang terstruktur. Penyusunan anggaran menjamin tingkat keberhasilan program, baik di sisi eksekutif maupun legislatif. Dalam anggaran kinerja orientasi pembiayaan tidak hanya sekedar input dan output semata, namun juga sampai pada tahapan outcame. Yaitu seberapa jauh dampak atau manfaat dari kegiatan yang dijalankan.


Kegiatan ini sangat rancu dan mengelikan. Masyarakat pastilah akan bertanya bukankah UMS itu masih terletak satu wilayah. Sama-sama di Kabupaten Sukoharjo. Kenapa di Bali ya kursusnya ? Apakah Sukoharjo dalam kondisi darurat ? Maka dibuatlah skenario kegiatan tersebut dalam rangka menghadiri undangan dari Universitas Udayana. Kedua program ini sebenarnya tidak nyambung sama sekali, seperti dipaksakan biar ada payung hukumnya. Biar dapat masuk katagori perjalanan dinas. Surat Perintah Jalan (SPJ) pun dibuat untuk tanggal 18-21 Oktober 2006.

Namun anehnya berdasarkan pengakuan Wakil Ketua DPRD Sukoharjo, Nurdin, rombongan Rabu malam sampai Bali langsung mengikuti kursus dan kursus dipadatkan dilaksanakan hingga Jumat pagi (Solopos, 21 Oktober 2006). Lalu kapan berkunjungnya di Universitas Udayana ? Ataukah memang kursus dilaksanakan di Universitas Udayana. Menurut nalar, secara etika akademis jelas hal itu tidak mungkin. Kursus di Universitas Udayanan, sementara pengajar dari Fakultas Hukum UMS.

Menariknya setelah skandal ini mencuat di media massa dan diributkan oleh elemen masyarakat. DPRD membuat pernyataan bila biaya perjalanan dinas tanggal 21 Oktober akan dikembalikan. Pertanyaan adalah bila skandal ini tidak mencuat kepermukaan apakah dana tersebut juga akan dikembalikan ?

Menyimpang dari Prinsip Anggaran Kinerja

Dalam sistem anggaran kinerja jika yang diselenggarakan adalah kegiatan diklat atau kursus, maka tidak sekedar berapa biaya penyelenggaraan diklat. Tetapi juga berapa orang yang berhasil mengikuti diklat tersebut. Bagaimana kualitas mereka setelah mengikuti diklat dan kembali ke pekerjaan masing-masing. Adakah manfaat yang cukup significant,

Pertanyaan yang lain yang pantas diajukan adalah tepatkah kegiatan satu atau dua hari yang diselenggarakan secara marathon itu dikatagorikan sebagai kursus ? Rasa-rasanya kegiatan tersebut tidak beda hanya seperti seminar saja. Bila itu memang betul kursus, maka target luaran dari kegiatan tersebut anggota dewan harus memiliki ketrampilan dan kecakapan tehnis menyangkut sesuatu hal baru. Tidak sekedar mengerti dan memahami suatu konsep atau teori saja. Pantas bila masyarakat akhirnya menyangsikan efektiftas kursus yang diselenggarakan itu.

Alangkah naifnya kegiatan ini. Di tengah masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi. Dengan mudah dan gampangnya dewan membiayai dirinya sendiri, untuk kursus instant dengan dana 7,3 juta perorang. Sedemikian mahalkah biaya pendidikan untuk anggota dewan yang terhormat ?

Wajar bila opini yang berkembang di masyarakat terhadap dewan negatif. Stigma yang muncul dewan sekedar bagi-bagi dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Atau bisa pula masyarakat mengkaitkan dengan moment lebaran, yaitu untuk mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR). Agar tidak mencolok kegiatan dikemas dalam bentuk kursus peningkatan SDM.

Sebab melihat momentumnya memang patut dipertanyakan. Apakah memang sudah sangat mendesak kursus semacam itu diadakan di bulan Ramadhan ? Apakah tidak ada bulan lain yang lebih pas untuk menyelenggarakan acara semacam ini. Padahal biasanya dalam bulan Ramadhan kegiatan semcam ini: seminar, pelatihan, kursus dan sejenisnya ditunda pelaksanaannya. Untuk menghormati anggota dewan yang sedang menjalankan ibadah puasa. Namun mengapa kegiatan ini justru diadakan dibulan Ramadhan ?

Untuk urusan geser-menggeser dan mensiasati pos anggaran kita memang jago dan paling kreatif. Tindakan ini dilakukan agar tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Kecenderungan melakukan tindakan seperti ini dikatagorikan sebagai accounting creativity. Banyak dilakukan baik oleh kalangan birokrasi maupun swasta.

Segenap elemen masyarakat, khususnya masyarakat Sukoharjo, sudah semestinya bila mempertanyakan dan mendesak kepada dewan untuk membeberkan secara gamblang kasus ini secara transparan. Serta meminta pertanggungjawaban terhadap kegiatan yang didanai oleh uang rakyat ini.

Sudah saatnya di dewan mempelopori bahwa dimensi akuntabilitas publik tidak hanya menyangkut laporan legal formal. Tetapi yang lebih utama dan penting adalah menyangkut akuntabilitas kejujuran dan moralitas. Silahkan ditanyakan dan dijawab dalam hati nurani masing-masing, benarkah kegiatan kursus ini sangat mendesak dan diperlukan ? Tidak dapat ditunda dan harus diselenggarakan di Bali ?


Di samping dewan, menurut hemat penulis Fakultas Hukum UMS yang disebut-sebut sebagai mitra kerja, juga harus angkat bicara. Benarkah kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UMS secara kelembagaan ? Ataukah hanya menyangkut personalnya ? Bagaimana latar belakang dan konsep penyelenggaraan kursus SDM yang dimaksud ?

Penjelasan ini penting agar tidak menimbulkan tanda tanya dan spekulasi di kalangan masyarakat. Konsep kemitraan perguruan tinggi dengan lembaga pemerintahan saat ini cenderung ditanggapi minor oleh masyarakat. Sebab disinyalir saat ini banyak kegiatan kemitraan yang hanya sekedar kedok dan sekedar dijadikan alat pembenar saja.

Terkait dengan masalah ini, sudah selayaknya bila elemen masyarakat Sukoharjo, mempertanyakan dan mendesak kepada dewan secara kelembagaan untuk membeberkan secara gamblang kasus ini dengan transparan. Sekaligus meminta pertanggungjawaban dewan terhadap kegiatan ini. Bagaimanapun juga setiap sen penggunaan uang rakyat harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Ini perlu diungkap agar kejadian serupa tidak kembali terulang di masa yang akan datang. Sebuah ungkapan dari para pinisepuh dan leluhur kita pantas kita renungkan bersama, “Ngono yo ngono ning ojo ngono”. Bagaimana pendapat Anda ? Selamat berlebaran !!!

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta dan Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen Unisri Surakarta.










PASAR TRADISIONAL ILANG KUMANDANGE

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Kondisi pasar tradisional di wilayah kota Solo menjelang lebaran tahun ini cukup memprihatinkan. Pasar Klewer, misalnya, walaupun dalam musim lebaran tahun ini omzetnya mencapai 7 miliar perhari. Namun sebagian pedagang mengatakan omzetnya turun, tidak seramai tahun lalu. Bahkan dibeberapa pasar tradisional pada hari H lebaran banyak pedagang yang tidak berjualan.

Padahal biasanya seminggu menjelang lebaran, pasar tradisional selalu dibanjiri para pembeli. Tidak aneh bila dulu, memasuki lebaran selalu disambut suka cita oleh para pedagang. Karena apapun dagangan yang dijajakannya pasti selalu laku terjual dengan keuntungan yang berlipat.

Namun dalam dua tahun terakhir ini, kondisinya berbalik 180 derajat. Mengapa hampir sebagian besar pasar tradisional di Solo menjadi sepi ? Benarkah pasar tradisional di Solo telah ilang kumandange ? Faktor sepinya pembeli pasar tradisional memang banyak.

Diantaranya karena kondisi perekonomian nasional secara makro memang lagi lesu. Menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat. Tetapi menurut pengamatan penulis penyebab utama sepinya pasar tradisional karena menjamurnya pasar modern yang saat ini marak di kota Solo.

Bermunculan pasar modern ini menyebabkan warga Solo mangro tinggal. Secara perlahan namun pasti, mereka mulai meninggalkan pasar tradisional. Hal ini bisa kita lihat dan saksikan secara langsung. Dua tahun terakhir ini, warga Solo dalam menyambut lebaran lebih suka menyerbu pasar modern. Mulai dari mini market, super market, mall sampai hypermarket. Menurut pengakuan beberapa pengelola pasar modern, pada masa lebaran tahun ini terjadi kenaikkan penjualan rata-rata di atas 100 persen.


Bagi penulis tidak kaget melihat hal itu. Gaya hidup dan perilaku belanja wong Solo memang unik. Salah satu karekter yang tidak ditemukan di kota lain adalah dalam berbelanja mereka umumnya memiliki sifat dan perilaku demenyar (demen barang kang anyar). Yaitu menyukai sesuatu yang serba baru alias suka mencoba-coba.

Demenyar juga mengandung konotasi gampang bosan dan bersifat sementara. Tetapi, jangan diremehkan perilaku ini bisa berubah menjadi budaya permanen, manakala mereka merasa terpuaskan. Terpuaskan dalam pelayanan, terpuaskan dalam mendapatkan barang yang SAERAH (sae tur murah). Terpuaskan karena lokasinya yang mudah terjangkau, bersih dan representatif. Bila hal-hal tersebut didapatkan, bisa dipastikan warga Solo akan loyal belanja di pasar modern dibandingkan belanja di pasar tradisional.

Sikap Pemkot Solo

Dampak keberadaan pasar modern akan menumbuh suburkan budaya konsumtif dan hedonisme di kalangan masyarakat. Tetapi dampak yang lebih besar, keberadaan pasar modern, bila tidak diatur dan dikendalikan akan mengancam keberlangsungan sektor informal dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Ribuan pedagang pasar, pedangan kelontong, buruh gendong, tukang becak, tukang parkir yang note bene mereka adalah wong cilik akan kehilangan pekerjaan.

Bukti berbicara. Berdasarkan data triwulan I tahun 2005 dari Dinas Pengelola Pasar (DPP) Solo, setahun lalu menunjukkan sekitar 1.423 petak los yang tersebar di 37 pasar tradisional, ditinggalkan para pedagang, dalam keadaan kosong. Urutan pasar yang memiliki jumlah los kosong terbanyak antara lain: Pasar Legi, Pasar Jongke, Pasar Kadipolo, Pasar Ayam, Pasar Harjodaksino, Pasar Nusukan, Pasar Kabangan, Pasar Mojosongo, Pasar Umbul dan Pasar Jebres. Itu merupakan data setahun lalu. Tentunya bila kita mengakses data terbaru jumlahnya pasti lebih besar lagi.

Salah satu langkah untuk mengatasi hal itu, Pemkot Solo, bermaksud melakukan marger atau penggabungan beberapa pasar yang sudah tidak aktif untuk dijadikan satu pasar dalam satu lokasi. Serta melakukan renovasi terhadap 11 pasar tradisional yang masih hidup. Mampukah kebijakan yang ditempuh Pemkot Solo ini menyelesaikan masalah ?

Permasalahan mati surinya pasar tradisional, tidak hanya di kota Solo. Ini terjadi juga di kota-kota besar, seperti di Jakarta. Akhir tahun 2005 di Jakarta sudah ada tujuh pasar tradisional yang ditutup. Melihat fenomena itu penanganan pasar tradisional harus memiliki grand desain yang jelas. Strategi kebijakan yang dibuat harus disusun secara terpadu dan disinkronkan dengan visi kota dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Mengengah).

Pendekatan pragmatis dan penanganan masalah secara parsial harus ditinggalkan. Pemkot seyogyanya memiliki visi dan kebijakan yang jelas dan tegas terhadap pembangunan dan pengembangan pasar tradisional dan pasar modern. Kebijakan yang disusun hendaknya mendukung visi kota Solo, yaitu mewujudkan Solo sebagai kota budaya yang bertumpu pada aspek perdagangan dan jasa.

Seluruh pelaku dunia usaha, mulai dari tingkat informal dan formal bila perlu dilibatkan dan diberi kesempatan yang sama untuk merumuskan konsep dan kebijakan. Jangan sampai muncul komentar emban cinde, emban siladan, atau pilih kasih. Bila ada keberpihakan, sudah selayaknya bila keperbihakan itu justru diberikan untuk kepentingan rakyat kecil.

Pemkot Solo tidak cukup bila hanya sekedar membatasi pertumbuhan dan pertambahan pasar modern. Pemkot Solo juga perlu mengambil langkah-langkah dan kebijakan strategis untuk menyelamatkan keberadaan pasar tradisional. Misalnya, melakukan penataan manajemen pasar tradisional dengan konsep dan nuansa pasar modern. Contoh kongkrit adalah dengan melakukan penataan dan perubahan citra pasar tradisional yang selama ini dipandang kumuh dan jorok, serta beraroma tidak sedap, menjadi citra yang positif, layaknya pasar modern.

Bila ini terwujud, penulis memiliki kenyakinan pamor pasar tradisional di Solo akan kembali mencorong. Menjadi salah satu andalan untuk menarik wisatawan domestik maupun wisatawan luar negeri. Dengan sendirinya dikotomi pasar tradisional dan pasar modern, tidak akan terjadi lagi. Keduanya bisa hidup berdampingan. Saling menopang dan saling mengisi. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Staf Pengajar Pasca Sarjana Program Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

INDONESIA DI AMBANG KRISIS EKONOMI JILID DUA ?


Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)


Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) lagi-lagi melontarkan pernyataan yang kontroversial. Menurutnya Indonesia saat ini sudah tidak krisis ekonomi lagi (Solopos, 31-07-2006). Konon pendapatan per kapita penduduk Indonesia sudah mencapai US $ 1.525. Pendapatan per kapita sebesar itu diklaim oleh JK sebagai pendapatan paling tinggi sejak Indonesia merdeka. Sebab selama era Orde Baru (Orba), pedapatan perkapita hanya sebesar 1.200 dolar AS.

Dari mana JK mendapatkan angka sebesar itu ? Ternyata kalkulasi JK hanya mendasarkan pada satu parameter atau satu indikator saja yaitu pendapatan negara. “ Pendapatan negara kita sekarang lebih dari Rp 3.000 triliun. Kalau dibagi, pendapatan per orang dalam setiap tahun sudah mencapai 1.525 dolar AS”, ungkap JK sebagaimana yang dilansir oleh Republika, 31 Juli 2007.

Tidak aneh bila pernyataan JK, banyak diragukan validitasnya oleh para pakar ekonomi. Bisa saja hitung-hitungan di atas kerja pendapatan negara mencapai Rp 3.000 triliun. Namun alangkah naifnya, jika kemudian angka sebesar itu dipakai sebagai argumentasi untuk menyatakan besaran pendapatan per kapita sebesar 1.525 dolar AS. Menurut saya pernyataan JK, terlalu dini di keluarkan.

Bila kalkulasi ini salah. Dan saya yakin, bahwa statement tersebut salah, maka kredibilitas pemerintahan SBY-JK akan semakin terpuruk. Masyarakat akan memiliki anggapan pejabat negara “asmuni” (asal muni). Sebab fakta di lapangan berbicara lain. Suara-suara keluhan dari wong cilik sering kita dengar. Umumnya mereka mengatakan dalam mencari nafkah, lebih enak di jaman Orba bila dibandingkan di era Reformasi. Padahal di masa Orba pendapatan per kapita hanya sebesar 1.200 dolar AS.

Saat ini masyarakat sangat merasakan desakan dan himpitan ekonomi yang sangat berat. Kondisinya sudah berada di bawah titik nadir. Masyarakat merasakan kondisi saat ini, dirasakan lebih berat bila dibandingkan awal tahun 1997 saat bangsa Indonesia memasuki krisis ekonomi. Walaupun saat itu rupiah melemah terhadap dolar, suku bunga melambung gila-gilaan, bahkan sempat mengalami hyper inflasi.
Namun sebagian besar masyarakat, masih merasa mampu untuk bertahan hidup. Bahkan kehidupannya menjadi lebih baik. Disebagian masyarakat yang hidup dari pertanian, perkebunan, dan home industry yang berorientasi ekspor, justru merasakan berkah dari krisis ekonomi. Komoditas tersebut laku keras di pasar internasional, sehingga mereka menangguk keuntungan yang berlipat-lipat.

Namun apa yang terjadi saat ini ? Realita yang terjadi, daya beli masyarakat sangat melemah. Sektor riil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kemiskinan dan kesenjangan sosial semakin melebar. Hal ini memicu munculnya tindak kriminal dan bunuh diri merajalela di mana-mana. Jutaan anak putus sekolah dan puluhan juta pemuda produktif menganggur.

Pelaku dunia usaha pun banyak yang menjerit menghadapi lemahnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data yang sempat saya himpun, kinerja industri elektronik nasional anjlok hingga 40 persen. Penjualan mobil mengalami penurunan yang sangat tajam, sebesar 50 persen bila dibandingkan periode yang sama untuk tahun 2005.

Kinerja perbankan nasional yang tercermin dari perolehan laba dan pertumbuhan kredit pun ikut-ikutan anjlok. Selama semester pertama tahun 2006, kinerja beberapa bank papan atas belum menunjukkan perbaikan yang signifikan disbanding periode yang sama tahun 2005. Rata-rata penurunan laba bersih dan pertumbuhan kredit turun dalam kisaran 20-50 persen.

Di samping itu data dan fakta berbicara. Pemerintah sendiri lewat Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan pertumbuhan ekonomi pada semester I tahun 2006 dipastikan di bawah lima persen. Padahal pemerintah telah mencanangkan tingkat pertumbuhan tahun 2006 mencapai tujuh persen. Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maman Somantri, mengakui realisasi pertumbuhan kredit selama semester I tahun 2006, masih sangat rendah, hanya 2,4 persen dari target sebesar 18 persen.

Bila melihat kenyataan yang seperti ini, pantaskah bila Indonesia dinyatakan telah ke luar dari krisis ekonomi ? Atau malah justru kebalikannya, melihat indikator-indikator ekonomi tersebut, justru saat ini Indonesia ada di ambang krisis ekonomi jilid dua ? Karena selain faktor makro ekonomi, di awal tahun 2006 hingga memasuki semester dua, muncul factor-faktor force mayor yang di luar perhitungan kita, yaitu terjadinya musibah bencana alam yang beruntun, menjadikan pemulihan ekonomi semakin berat.
Pemerintah harus sigap

Kondisi ekonomi Indonesia tahun 2006 yang nampak masih buram ini. Hal itu sebenarnya sudah banyak diprediksi oleh sebagian besar kalangan sejak awal tahun 2006. Namun saat itu, banyak kalangan yang optimis, memasuki sementer kedua, prospek perekonomian Indonesia akan semakin membaik. Prediksi itu didasarkan pada asumsi dan perhitungan, bahwa pada semester dua tahun anggaran 2006 pemerintah pusat maupun daerah sudah mulai mengucurkan dana APBN maupun APBD untuk belanja pembangunan dan belanja rutin.

Apabila proyek-proyek pemerintah jalan, diharapkan roda perekonomian akan berjalan dengan bergairah. Lapangan kerja baru terbuka, dan sektor riil dapat berjalan. Namun prediksi itu ternyata meleset. Di era otonomi daerah seperti saat ini ternyata kinerja dijajaran birokrasi dan legeslatif tidak semakin baik, namun justru semakin buruk. Belum bisa diajak kerja cepat, masih lamban, bekerja tidak tidak sistimatis dan tidak professional, bahkan nuasa KKN di daerah semakin kental dan menjadi-jadi. Akibatnya proses penyusunan APBD menjadi molor, sehingga pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan tidak bisa tepat waktu sebagaimana skedul jadual yang diagendakan.

Coba kita simak ! Berdasarkan data dari Departemen Keuangan penyerapan alokasi yang terkait dengan investasi pemerintah pada semester pertama tahun 2006 terhitung rendah. Total anggaran belanja yang bersumber dari pemerintah pusat sebesar 118 trilyun, baru tersalurkan untuk belanja modal baru mencapai Rp 13,8 trilyun atau 22 persen dari total anggaran dalam APBN dan belanja barang baru mencapai Rp 14,65 trilyun atau 26 persen dari total anggaran dari APBN. Sementara itu alokasi belanja untuk pemerintah daerah yang besarnya sekitar Rp 220 trilyun, alokasi distribusi dan penyerapannya tidak jauh berbeda dengan pusat, masih sangat rendah.

Kita sangat berharap pemerintah pusat maupun daerah untuk segera cancut tali wondho untuk merealisasikan program dan kegiatan pembangunan yang langsung berdampak pada masyarkat. Masyarakat jangan hanya dipameri dengan pernyataan dan obral janji yang sekedar ngenyem-ngenyemi dengan pernyataan bahwa kita telah ke luar dari krisis. Padahal kenyataannya, jauh panggang dari api.

Ingat, tidak semua masyarakat bisa seperti mBah Marijan, yang bisa laku topo mbisu. Bila permasalahan mendasar yang menyangkut urusan perut tidak segera ditangani, namun sekedar menjadi wacana dan komoditas politik. Bisa jadi masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah. Bila ini berlarut-larut. Suatu saat nanti, masyarakat akan triwikromo menjadi raksasa sebesar gunung anakan yang menakutkan. Bila mereka telah habis kesabarannya ! Bagaimana pendapat Anda ???

*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakartai dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta.






ADA AGENDA TERSELUBUNG DIBALIK KELANGKAAN MINYAK TANAH ?

Sungguh memalukan. Indonesia sebagai salah satu negara penghasilan minyak dunia mengalami krisis minyak tanah. Minyak tanah menjadi barang langka. Pasokan dan distribusi minyak tanah dari Depo Pertamina ke pangkalan tidak lancar sering terlambat dan tersendat. Akibatnya hanya sekedar mendapatkan tiga liter minyak tanah saja, masyarakat harus antri panjang dan berjam-jam. Bahkan tidak jarang menimbulkan keributan, karena mereka harus berebut dan saling bersitegang. Mengapa ini bisa terjadi ? Padahal di negara yang tidak memiliki tambang minyak tanah saja, yang notabene mereka adalah pengimpor minyak tanah, hal ini tidak terjadi.

Kelangkaan minyak tanah di Indonesia, sebenarnya bukan barang baru. Di berbagai daerah hal seperti ini sering kali terjadi. Namun kelangkaan saat ini agak istimewa dan ironis, karena telah merambah masuk ke ibu kota. Ini sesuatu yang saya tidak habis pikir, kok bisa ya ? Bukankah ibu kota berada dekat dengan pusat kekuasaan dan pusat pemerintahan ? Tempat berkumpulnya birokrat dan politisi ulung yang semestinya bisa memantau dan melakukan pengawasan secara langsung terhadap distribusi minyak tanah. Namun mengapa mereka seolah tak berdaya ?

Pemerintah dan Pertamina terkesan tidak serius menangani masalah ini. Sementara itu kalangan DPR yang seharusnya memperjuangkan nasib rakyat, mereka malah sibuk memikirkan nasibnya sendiri. Berlomba-lomba untuk menaikkan gaji dan tunjangan, serta mengadakan studi banding ke luar negeri, yang tidak jelas tujuannya. Kalaupun ada satu dua yang bersuara keras mensikapi hal ini, umumnya mereka hanya sebatas berwacana. Tidak ada tindakan kongkrit.

ADA AGENDA TERSELUBUNG ????

Pihak Pertamina selalu mengatakan bahwa persediaan minyak tanah mencukupi, namun kenyataan di lapangan berkata lain. Minyak tanah seolah raib ditelan perut bumi. Menghadapi hal itu dengan enteng pemerintah menjawab akan menambah subsidi minyak tanah secukupnya sampai kelangkaan minyak tanah teratasi. Masyarakat diminta tetap tenang dan tidak resah.

Padahal bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa terjadinya kelangkaan minyak tanah salah satunya karena disebabkan adanya disparitas harga cukup tinggi antara harga untuk kalangan industri dan harga untuk kalangan rumah tangga. Saat ini masyarakat dapat menikmati harga minyak tanah lebih rendah bila dibandingkan dengan harga untuk kalangan industri karena mendapatkan subsidi. Perbedaan harga inilah yang diduga memicu kalangan pengusaha untuk mendapatkan jatah minyak bersubsidi. Minyak tanah yang seharusnya didistribusikan ke masyarakat di tengah jalan diserobot oleh kalangan pengusaha.

Menurut saya dugaan ini tidak sepenuhnya benar. Tidak menutup mata bila pengusaha bisa kongkalikong dengan sopir truk tangki. Tetapi apa mungkin bila sopir truk tangki berbuat seperti itu semua ? Mampu menghilangkan pasokan dari depo pertamina sampai pangkalan ?

Ketidakseriusan Mereka tidak pernah mencari akar permasalahan yang sebenarnyasudah sangat jelas.

Untuk mengatasi kelangkaan minyak tanah pemerintah konon telah melakukan operasi pasar, namun gagal.

Kinerja Pertamina dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, perlu dievaluasi

Terkait dengan konversi gas (proyek orang atas). Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Suryadharma Ali, meminta agar konversi minyak ke gas dipercepat, terkiat dengan pengadaan kompos gas. 2007 800 ribu unit kompos gas akan dibagikan oleh departemen ini.

Apakah juga ada kaitan dengan pengadaan alat GPS yang perunit 20 juta, untuk memantau keberadaan tangki minyak

Muncul sosialisasi Cadangan Minyak kita makin terbatas, yang dikeluarkan oleh Tim Sosialisasi Penghapusan Subsidi BBM 2006, jangan-jangan ini indicator menaikkan BBM.

Meminta tambahan subsidi dari jatah 9,9 juta kiloliter dikembalikan ke 10 juta kiloliter.

Siapa yang dirugikan ???
Masyarakat, kalangan rumah tangga
UKM
Nelayanan

Bisa picu inflasi naik

PEMERINTAH NGOTOT IMPOR BERAS, TANYA KENAPA ?


Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Aku malu, wahai saudaraku petani di pedesaan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Beras yang masuk ke perut kami
Harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi

Sepenggal bait puisi di atas berjudul “Malu Aku Menatap Wajah Saudaraku Para Petani”, karya Taufiq Ismail, sangat relevan menggambarkan nasib petani kita saat ini. Nasibnya kian terpuruk dan terpinggirkan. Kondisi ini disebabkan, karena kurangnya pedulian pemerintah terhadap nasib petani. Petani yang sering kali menjadi tulang punggung keberlangsungan kehidupan sebuah bangsa, sering diabaikan keberadaannya. Komitmen pemerintah dalam memproteksi kehidupan para petani nyaris tidak nampak sama sekali.

Padahal kita selalu membanggakan diri sebagai bangsa agraris. Tanahnya subur, gemah ripah loh jinawi, tukul kang sarwo tinandur, sawahnya ijo royo-royo. Namun dalam prakteknya, petani baru sebatas dijadikan obyek dalam menjalankan roda pembangunan.

Sebagai contoh kongkrit, saat ini diberbagai daerah di Indonesia sedang terjadi panen raya. Berbondong-bondong para pejabat mulai bupati sampai menteri terjun ke sawah untuk ramai-rmai “ show of force “ melakukan potong padi. Acara seremonial ini sudah sering kita saksikan di layar televisi dan kita baca diberbagai surat kabar. Kalangan praktisi dan akademisi yang kompeten dan berkecimpung di bidang pertanian, mereka hampir senada mengatakan bahwa saat ini stok pangan nasional, khususnya persediaan beras dalam posisi aman.

Belum dipandang perlu untuk melakukan impor beras. Namun anehnya mengapa pemerintah tiba-tiba bersikukuh dan ngotot untuk melakukan impor beras sebanyak 210 ribu ton, dengan anggaran dana sebesar Rp 390 milyar ???.
Alasan klasik selalu dikemukakan oleh pemerintah bahwa impor beras dilakukan dalam rangka untuk memenuhi cadangan minimal stok beras secara nasional. Konon persediaan cadangan nasional telah menipis, karena telah banyak disalurkan untuk membantu daerah-daerah yang terkena bencana alam. Serta untuk menstabilkan harga beras di pasaran agar tetap dalam kisaran harga Rp 4.200,00-Rp 4.300,00.

Agar tidak menimbulkan gejolak dikalangan petani, pemerintah menjamin beras impor tidak akan dilepar ke pasar. Dan jumlahnya hanya 1 persen dari kebutuhan beras secara nasional. Namun dapatkah argumentasi dan janji pemerintah tersebut dapat dipercaya ? Benarkah pemerintah ngotot untuk mengimpor beras hanya semata-mata untuk memenuhi cadangan stok minimal ? Jangan-jangan ada agenda lain dibalik kebijakan impor beras tersebut ?

Penulis memandang wajar, bila dikalangan masyarakat awam muncul berbagai pertanyaan tersebut. Karena hampir setiap tahun persoalan yang terkait dengan kebutuhan pangan ini selalu mengemuka. Tidak hanya beras yang diimpor, namun juga kedelai, jagung, gula, daging dan sejenisnya. Padahal pemerintah selama ini selalu menyatakan bahwa Indonesia sudah swasembada pangan, tidak terkecuali beras.

Lalu ada apa sih kok aparat pemerintah pusat begitu gethol dan bersemangat untuk melakukan impor ??? Padahal diberbagai daerah telah melakukan penolakan. Jangan-jangan ada udang dibalik batu ???

Mari kita simak pendapat pengamat pertanian dari Yogyakarta, Dr. Mohchammad Maksum, yang menyatakan tidak masuk akal jika alasan pemerintah mengimpor beras karena harga beras di pasar sudah melebihi harga pembelian pemerintah (HPP) 2005 sebesar Rp 3.550,00 perkilogram.

Lebih lanjut beliau mengatakan pengadaan beras melalui impor ini mengada-ada dan merupakan keputusan yang sangat sembrono serta menyakitkan hati rakyat (Solopos, 4 September 2006).

Bila pernyataan Dr. Mohchammad Maksum ini benar, kita jadi penasaran, mengapa ya pemerintah kok tetap ngotot impor beras ?



Untuk menjawab rasa penasaran tersebut mari kita simak sinyalemen pakar ekonomi kerakyatan, almarhum Prof. Dr. Mubyarto, delapan tahun lalu. Pernyataan tersebut rasanya masih sangat relevan dengan kondisi dewasa ini. Betapa tidak ?

Pada saat mengisi seminar nasional tentang Pemberdayaan Pertanian Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia, di UGM, 03 Oktober 1998, Beliau mengatakan bahwa aneka kebijakan pembangunan sejak Repelita I selalu memberikan prioritas pada bidang pertanian hanyalah “pernyataan keinginan di atas kertas”. Bukan tekad sungguh-sungguh untuk mewujudkan.

Mengapa demikian ? Karena dalam prakteknya, menurut beliau, sangat bertolak belakang. Antara konsep di atas kertas dengan penerapan di lapangan. Dengan tegas Prof. Muby mengatakan telah terjadi proses “penggerogotan” sistem produksi dan sistem ekonomi dari dunia “ di luar petani ”. Yang lebih menyedihkan lagi, proses penggerogotan ketahanan pertanian rakyat ini cendrung didukung oleh pemerintah atau “oknum-oknum pemerintah”.

Siapakah yang dimaksud dengan kekuatan di luar petani oleh pak Muby (panggilan akrab pak Mubyarto) ? Tidak lain adalah kalangan pemodal besar alias kaum kapitalis.

Ada indikasi peran “para tengkulak” saat ini semakin besar dan semakin kuat dalam mewarnai pemerintahan SBY-JK. Namun untuk membuktikannya memang sulit, tetapi kita bisa merasakan keberadaannya. Sah-sah saja bila sebagai bagian dari warga masyarakat kita mencurigai dalam rencana impor beras diwarnai unsur KKN. Walaupun pemerintah mengatakan pengadaan impor beras akan dilakukan dengan tender terbuka. Namun siapa bisa menjamin akan kebenaran ucapan atau janji dari pejabat di republik ini ?

Coba kita lihat ! Mekanisme dan prosedur, serta proses tender bila dijalankan dengan terbuka, akan memakan waktu sekitar 20-25 hari. Namun saat ini ditengarai beras impor sudah beredar di daerah Tegal dan Cirebon (Kompas, 02 September 2006). Sehingga tidak menutup kemungkinan apabila tender yang akan dilangsungkan hanya sekedar permainan saja. Sekedar alat untuk melegitimasi keabsahan impor beras.

Tanda-tanda ketidakberesan dan permainan dalam masalah impor beras ini memang sangat kuat sekali. Sebenarnya aromanya sudah tercium sejak impor beras tahun 2005. Waktu itu DPR bahkan sempat mengancam akan menggunakan hak angket. Dan kini sejarah terulang kembali. Akankah kasus ini kemudian juga akan menguap. Tanpa ada penyelesaian yang jelas ?

Penulis sepakat dan mendukung usulan dari anggota Komisi IV DPR, Mufid A Busyairi, untuk menolak rencana pemerintah untuk mengimpor beras. Serta mengusulkan agar Perum Bulog selaku penyelenggaran dan penanggungjawab terhadap pengadaan dan pendistribusian beras, diaudit oleh akuntan publik yang betul-betul professional dan independent. Agar kebobrokan dalam mafia impor beras ini dapat terbongkar.

Penulis membayangkan seandainya foundhing father kita, Bung Karno dan Bung Hatta, yang selalu menggelorakan semangat kemandirian bangsa, masih hidup pasti akan menangis menyaksikan nasib tragis petani kita. Pak Tani yang sudah susah payah mengelola sawah dengan cucuran keringat, namun hasil panen dicampakkan begitu saja. Dibeli dengan harga yang rendah dan petani pun tidak berdaya.

Hanya untuk membela kepentingan segelintir orang, yang notabene mereka adalah orang-orang yang sudah berkecukupan secara materi, petani dikalahkan. Bila kebijakan ini terus berlanjut setiap tahun, jangan salahkan bila kemudian pak Tani meninggalkan cangkulnya dan menelatarkan sawahnya untuk kemudian berburu sesuap nasi dengan menyerbu perkotaan. Angka kemiskinan dan pengangguran pun akan semakin meningkat. Karena hampir 80 persen penduduk Indonesia menggantungkan diri hidupnya dari sektor pertanian.

Kita memang tidak pernah bisa menghargai perjuangan dan kerja keras petani kita sendiri. Tidaklah salah bila Taufiq Ismail menyatakan nasib petani Indonesia seperti bandul yang diayun-ayunkan. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana MM Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta..