Tuesday, June 19, 2007

REFORMASI PENGELOLAAN TSTJ MENDESAK ?

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Nama Taman Satwataru Jurug (TSTJ) di era tahun 80-an pernah berjaya dan berkibar ditingkat nasional. TSTJ terletak di sebelah timur kota Solo, berada ditepi Bengawan Solo. Jurug dan Bengawan Solo merupakan sebuah brand yang melegenda, terkenal ditingkat nasional maupun manca negara. Namun kini pamornya mulai meredup. Seiring dengan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Tidak terawat dan terkesan kumuh.

Berbagai upaya pernah dilakukan oleh Pemkot Solo untuk memulihkan dan mengangkat citra TSTJ. Diantara Walikota Solo, Jokowi, ingin menjadikan TSTJ menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMN), berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang dikelola secara professional. Namun gagasan ini sampai hari ini ternyata masih menjadi wacana perdebatan yang hangat dikalangan dewan.

Kalangan dewan belum sependapat dengan usulan eksekutif ini, akibatnya Raperda BUMD yang diajukan oleh Walikota jauh hari, sampai hari ini masih terkatung-katung. Walaupun dewan telah membentuk Pansus (Panitia Khusus) dan telah melakukan studi banding ke Jakarta. Sepulang dari studi banding Pansus membawa oleh-oleh yang cukup mengejutkan. Tim pansus menyatakan bahwa TSTJ kurang tepat bila diwadahi dalam format BUMD.

Ketua Pansus, Supriyanto, mengemukakan bila TSTJ berbentuk BUMD akan mengalami banyak kendala dalam hal masalah regulasi. Sedangkan salah satu anggota Pansus, Epi Rizandi, menyatakan bila TSTJ pengelolaannya dalam bentuk BUMD, maka tidak akan memberikan profit ke pemerintah.

Menurut penulis pendapat yang dinyatakan oleh anggota dewan tersebut terasa naïf. Sungguh aneh dan janggal bila kesimpulan disetujui atau tidaknya pengelolaan TSTJ dalam bentuk BUMD hanya disandarkan hasil studi banding semata. Pendapat tersebut masih premature. Sebab tanpa dilakukan dengan kajian yang mendalam.
Studi banding semestinya hanya sebagai bahan pelengkap dan pertimbangan saja. Pengkajian Raperda seharusnya menitik beratkan pada analisis kritis terhadap konsep Raperda itu sendiri. Mulai dari tataran visi, misi dan strategi, sampai pada implementasi pengendaliannya.

Konsep tersebut harus dikaji secara obyektif, simultan dan terintegrasi, dari berbagai sudut pandang, ekonomi, finansial, hukum, sosial dan politis. Tidak adil rasanya bila tim pansus menyimpulkan baik buruknya kinerja BUMD hanya sebatas melihat apa yang sedang terjadi.

Polemik berkepanjangan terhadap bentuk usaha TSTJ rupanya membuat gusar Koordinator Tim Pengelola TSTJ, Ir. Soejadi, sampai akhirnya mengeluarkan statement yang agak keras, sebagaimana yang dilansir Solopos, 01 April 2007, “ Tidak ada alasan bagi pihak manapun untuk menolak pembentukan BUMD berupa Perseroan Terbatas untuk pengelolaan TSTJ “


Kita memang seharusnya tidak ngebyah uyah semua BUMD kinerja rendah dan menjadi wahana Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta sering dijadikan “sapi perah” dan mesin uang bagi sebagian oknum, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif. BUMD akan menjadi badan usaha yang sehat, kuat, mandiri dan professional sepanjang konsep dasarnya jelas, memiliki payung hukum yang kuat dan sistem pengendaliannya dirancang secara matang.

Idealnya BUMD, tidak terkecuali TSTJ, keberadaannya mengemban tiga misi utama. Pertama, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua, menjadi organisasi pelayanan publik dalam bidang wisata dan konservasi flora maupun fauna. Ketiga, menjadi salah satu sumber andalan Penerimaan Asli Daerah (PAD).

Kunci Keberhasilan

Bagaimana langkah yang harus ditempuh, agar BUMD TSTJ mampu mengemban tiga misi tersebut, serta dapat menjawab keinginan masyarakat Solo, menjadi BUMD berbentuk PT yang dapat mengangkat derajat sosial ekonomi masyarakat ?

Jawabnya sangat sederhana, pengelolaan TSTJ harus direformasi, baik dalam aspek regulasi dan manajemen, dalam istilah Hari S. Malang Joedo (2006: 149-151) disebut dengan istilah Reinventing BUMD. Untuk menuju reinventing BUMD ada lima langkah yang harus ditempuh yaitu:

Pertama, adanya komitmen politik dari Kepala Daerah dan DPRD. Bentuk komitmennya diantaranya dengan membuat Perda BUMD. Perda dibutuhkan untuk memberikan arah ke depan bagi keberadaan dan pengelolaan BUMD yang lebih baik dan professional. .

Keduanya, perlunya dukungan strategis dari Pemkot yang diwujudkan antara lain dengan pembentukan Badan Pengelola dan Pengawas BUMD, secara transparan dan akuntabel.

Ketiga, perlunya master plan reinventing BUMD secara yang terpadu, tidak saling tumpang tindih antara satu BUMD dengan BUMD yang lainnya.

Keempat, melaksanakan reinventing BUMD dalam kerangka kelembagaan, yang ditata dalam tata kelola yang baik (good gavernance). Sehingga pelaksanaannya tidak bersifat sporadis, sektarian dan parsial.

Kelima, melakukan kontrol yang ketat dan konsisten terhadap proses reinventing BUMD. Kontrol yang dilakukan dalam rangka memastikan bahwa semua pelaku telah melaksanaan sesuai dengan kesepakatan. Artinya ada perangkat hukum atau kebijakan yang memberikan sanksi atas pelanggaran atau penyimpangan terhadap proses tersebut.

Kelima langkah tadi perlu ditempuh bila ingin mewujudkan TSTJ menjadi BUMD kebanggaan masyarakat Solo. Memang untuk mewujudkannya, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Menurut penulis usulan dari eksekutif yang menghendaki pengelolaan TSTJ dalam bentuk BUMD yang berbentuk PT adalah sebuah pilihan yang paling tepat, karena Pemkot telah memposisikan TSTJ sebagai profit center, sehingga pengelolanya harus terpisah dari campur tangan birokrasi.

Sebagai konsekuensinya pihak manajemen dituntut professional dan memiliki komitmen yang tinggi, keseriusan, kerja keras dan kerja cerdas, agar TSTJ mampu mandiri sekaligus dapat memberikan kontribusi pada PAD Kota Solo. Bukankah demikian ? Bagaimana dengan pendapat Anda ?

No comments: