Tuesday, June 19, 2007

APBD KOTA SOLA ANDALKAN FIGUR WALIKOTA


Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Berita seputar APBD 2006 Kota Solo, yang dimuat Suara Merdeka, Sabtu, 09 September 2006 judulnya sangat menggelitik “Walikota Optimis APBD 2006 Surplus”. Menimbulkan keingintahuan saya. Seberapa besar surplusnya ?. Sebab sebelumnya santer beredar kabar APBD 2006 Kota Solo surplus Rp 36 Milyar.

Namun setelah saya baca berulang kali, saya tidak menemukan angka surplus sebesar itu. Justru yang saya temukan pada draf Rencana Perubahan APBD (RPAPBD) 2006 terjadi defisit sekitar Rp 8 miliar. Menurut Jokowi defisit dalam perencanaan yang dibuat Tim Penyusun Anggaran merupakan bagian dari strategi manajemen keuangan. Tetapi Jokowi optimis dengan melakukan efisiensi APBD 2006 akan mengalami surplus. Tetapi berapa besaran surplus yang akan diraih tidak dijelaskan.

Sebagai akademisi yang menekuni masalah anggaran sektor publik saya terhenyak dan tidak habis pikir. Benarkah pencantuman defisit anggaran merupakan strategi manajemen keuangan ? Karena sepengetahuan saya anggaran merupakan cetak biru aktivitas yang akan dilaksanakan di masa datang. Dengan demikian anggaran merupakan paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi untuk kurun waktu tertentu.

Tidak hanya sebatas sebagai paket pernyataan atau perencanaan semata. Anggaran juga berfungsi pula sebagai alat pengendalian. Agar anggaran dapat digunakan sebagai alat pengendalian yang efektif, maka pelaksanaan kegiatan dan pengendalian harus dilaksanakan secara melekat (built in control) dalam tubuh organisasi.

Fungsi lain dari anggaran adalah sebagai alat evaluasi. Artinya setiap pelaksanaan kegiatan harus dapat diukur dan dievaluasi secara periodik maupun insidental. Apakah sudah sesuai dengan rencana kegiatan anggaran ? Apakah tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan ? Apakah sudah dilaksanakan secara efisien dan efektif ?

Bila kita mencermati dan mengkaitkan dari tiga fungsi anggaran tersebut dengan APBD Solo 2006. Dapat kita baca dan tafsirkan bahwa Pemkot Solo telah mengagendakan tahun 2006 defisit sebesar Rp 8 miliar. Sehingga apabila setiap satuan atau unit kerja dilingkungan Pemkot Solo melakukan kegiatan sebesar anggaran yang diajukan itu sah-sah saja. Sepanjang program dan kegiatan tersebut telah sesuai dengan rencana ajuan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Apabila rencana ajuan program dan kegiatan dalam pelaksanaannya masih akan dilakukan efisiensi lagi apakah ini tidak kontradiktif. Mencerminkan ajuan tersebut asal-asalan dan belum melewati kajian serta seleksi yang semestinya. Padahal dalam proses penyusunan anggaran telah disyaratkan menggunakan anggaran berbasis kenirja.

Ciri pokok anggaran berbasis kinerja diantaranya setiap kegiatan harus dilihat dari sisi ekonomi, efisiensi dan efektifitas sejak proses penyusunan anggaran. Dengan demikian saat pelaksanaan anggaran titik perhatian lebih ditekankan pada pengukuran hasil kerja, bukan lagi pada pengawasan. Karena logika anggaran yang baik, otomatis merupakan alat pengendalian yang baik pula. Bila dalam pelaksanaan kegiatan Jokowi masih akan melakukan efisiensi ini menandakan bahwa pengelolaan manajemen keuangan Pemkot Solo masih mendasarkan fiqur “Jokowi”. Sekaligus sebagai cermin bahwa sistem manajemen keuangan Pemkot Solo belum terbangun dengan baik.

Pengelolaan keuangan daerah yang hanya mengandalkan fiqur Jokowi untuk jangka panjang tidak baik. Sangat berbahaya dan sangat riskan. Berpotensi menimbulkan banyak masalah dikemudian hari. Apalagi bila fiqur pimpinan tidak kuat dan tidak kredibel serta tidak memiliki komitmen yang jelas. Pasti akan menimbulkan peluang munculnya kembali KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan aji mumpung dijajaran eksekutif dan legislatif. Bila ini yang terjadi saya kuatir “ Berseri tanpa korupsi ” yang diusung Jokowi saat kampanye, hanya akan jadi sebatas slogan saja.

Menurut undang-undang dan peraturan berlaku pengelolaan keuangan daerah harus diselenggarakan secara tertib berdasarkakan pada anggaran kinerja. Taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan dan bertanggungajwab. Di samping itu juga harus memperhatikan azas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat.

Dengan demikian anggaran berbasis kinerja membutuhkan suatu sistem penganggaran publik yang modern. Untuk itu saya berharap memasuki pemerintahan Jokowi tahun kedua ini betul-betul menyiapkan dan menyusun perangkat sistem manajemen keuangan daerah dan SDM yang betul-betul handal dan professional.

Saya tidak meragukan komitmen dan kredibilitas serta semangat entrepreneurship Jokowi sebagai pribadi. Latar belakang sebagai wirausaha sukses, yang selalu berfikir pragmatis. Sangat mewarnai kepemimpinannya selama satu tahun ini. Paradigma berfikir visioner dan lateral, terkadang membuat banyak orang terkaget. Berbeda dengan model berfikir birokrasi yang kaku dan formal.

Paradigma yang demikian saya rasa tidak bisa serta merta diterapkan dalam pemerintahan. Perlu dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Sebab dunianya berbeda. Birokrasi selalu bertumpu pada aspek tertib administrasi dan legal formal. Dunia bisnis bertumpu pada kesempatan dan peluang. Sehingga niatan baik, semangat dan komitmen saja dalam memimpin pemerintahan belumlah cukup. Apabila tidak didukung dengan perangkat hukum dan sistem yang baik.

Contoh kasus nyata adalah pembangunan pasar klitikan Notoharjo di Semanggi dan penanganan masalah PKL di Purwosari. Bukankah akhirnya menuai dan menyisakan masalah ?.

Semoga kasus tersebut merupakan kasus terakhir dan menjadi pelajaran yang berharga bagi pasangan Jokowi-Rudy untuk melangkah ke depan yang lebih baik. Semoga. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana MM Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta..



No comments: