Tuesday, June 19, 2007

INDONESIA DI AMBANG KRISIS EKONOMI JILID DUA ?


Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)


Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) lagi-lagi melontarkan pernyataan yang kontroversial. Menurutnya Indonesia saat ini sudah tidak krisis ekonomi lagi (Solopos, 31-07-2006). Konon pendapatan per kapita penduduk Indonesia sudah mencapai US $ 1.525. Pendapatan per kapita sebesar itu diklaim oleh JK sebagai pendapatan paling tinggi sejak Indonesia merdeka. Sebab selama era Orde Baru (Orba), pedapatan perkapita hanya sebesar 1.200 dolar AS.

Dari mana JK mendapatkan angka sebesar itu ? Ternyata kalkulasi JK hanya mendasarkan pada satu parameter atau satu indikator saja yaitu pendapatan negara. “ Pendapatan negara kita sekarang lebih dari Rp 3.000 triliun. Kalau dibagi, pendapatan per orang dalam setiap tahun sudah mencapai 1.525 dolar AS”, ungkap JK sebagaimana yang dilansir oleh Republika, 31 Juli 2007.

Tidak aneh bila pernyataan JK, banyak diragukan validitasnya oleh para pakar ekonomi. Bisa saja hitung-hitungan di atas kerja pendapatan negara mencapai Rp 3.000 triliun. Namun alangkah naifnya, jika kemudian angka sebesar itu dipakai sebagai argumentasi untuk menyatakan besaran pendapatan per kapita sebesar 1.525 dolar AS. Menurut saya pernyataan JK, terlalu dini di keluarkan.

Bila kalkulasi ini salah. Dan saya yakin, bahwa statement tersebut salah, maka kredibilitas pemerintahan SBY-JK akan semakin terpuruk. Masyarakat akan memiliki anggapan pejabat negara “asmuni” (asal muni). Sebab fakta di lapangan berbicara lain. Suara-suara keluhan dari wong cilik sering kita dengar. Umumnya mereka mengatakan dalam mencari nafkah, lebih enak di jaman Orba bila dibandingkan di era Reformasi. Padahal di masa Orba pendapatan per kapita hanya sebesar 1.200 dolar AS.

Saat ini masyarakat sangat merasakan desakan dan himpitan ekonomi yang sangat berat. Kondisinya sudah berada di bawah titik nadir. Masyarakat merasakan kondisi saat ini, dirasakan lebih berat bila dibandingkan awal tahun 1997 saat bangsa Indonesia memasuki krisis ekonomi. Walaupun saat itu rupiah melemah terhadap dolar, suku bunga melambung gila-gilaan, bahkan sempat mengalami hyper inflasi.
Namun sebagian besar masyarakat, masih merasa mampu untuk bertahan hidup. Bahkan kehidupannya menjadi lebih baik. Disebagian masyarakat yang hidup dari pertanian, perkebunan, dan home industry yang berorientasi ekspor, justru merasakan berkah dari krisis ekonomi. Komoditas tersebut laku keras di pasar internasional, sehingga mereka menangguk keuntungan yang berlipat-lipat.

Namun apa yang terjadi saat ini ? Realita yang terjadi, daya beli masyarakat sangat melemah. Sektor riil tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kemiskinan dan kesenjangan sosial semakin melebar. Hal ini memicu munculnya tindak kriminal dan bunuh diri merajalela di mana-mana. Jutaan anak putus sekolah dan puluhan juta pemuda produktif menganggur.

Pelaku dunia usaha pun banyak yang menjerit menghadapi lemahnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data yang sempat saya himpun, kinerja industri elektronik nasional anjlok hingga 40 persen. Penjualan mobil mengalami penurunan yang sangat tajam, sebesar 50 persen bila dibandingkan periode yang sama untuk tahun 2005.

Kinerja perbankan nasional yang tercermin dari perolehan laba dan pertumbuhan kredit pun ikut-ikutan anjlok. Selama semester pertama tahun 2006, kinerja beberapa bank papan atas belum menunjukkan perbaikan yang signifikan disbanding periode yang sama tahun 2005. Rata-rata penurunan laba bersih dan pertumbuhan kredit turun dalam kisaran 20-50 persen.

Di samping itu data dan fakta berbicara. Pemerintah sendiri lewat Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan pertumbuhan ekonomi pada semester I tahun 2006 dipastikan di bawah lima persen. Padahal pemerintah telah mencanangkan tingkat pertumbuhan tahun 2006 mencapai tujuh persen. Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maman Somantri, mengakui realisasi pertumbuhan kredit selama semester I tahun 2006, masih sangat rendah, hanya 2,4 persen dari target sebesar 18 persen.

Bila melihat kenyataan yang seperti ini, pantaskah bila Indonesia dinyatakan telah ke luar dari krisis ekonomi ? Atau malah justru kebalikannya, melihat indikator-indikator ekonomi tersebut, justru saat ini Indonesia ada di ambang krisis ekonomi jilid dua ? Karena selain faktor makro ekonomi, di awal tahun 2006 hingga memasuki semester dua, muncul factor-faktor force mayor yang di luar perhitungan kita, yaitu terjadinya musibah bencana alam yang beruntun, menjadikan pemulihan ekonomi semakin berat.
Pemerintah harus sigap

Kondisi ekonomi Indonesia tahun 2006 yang nampak masih buram ini. Hal itu sebenarnya sudah banyak diprediksi oleh sebagian besar kalangan sejak awal tahun 2006. Namun saat itu, banyak kalangan yang optimis, memasuki sementer kedua, prospek perekonomian Indonesia akan semakin membaik. Prediksi itu didasarkan pada asumsi dan perhitungan, bahwa pada semester dua tahun anggaran 2006 pemerintah pusat maupun daerah sudah mulai mengucurkan dana APBN maupun APBD untuk belanja pembangunan dan belanja rutin.

Apabila proyek-proyek pemerintah jalan, diharapkan roda perekonomian akan berjalan dengan bergairah. Lapangan kerja baru terbuka, dan sektor riil dapat berjalan. Namun prediksi itu ternyata meleset. Di era otonomi daerah seperti saat ini ternyata kinerja dijajaran birokrasi dan legeslatif tidak semakin baik, namun justru semakin buruk. Belum bisa diajak kerja cepat, masih lamban, bekerja tidak tidak sistimatis dan tidak professional, bahkan nuasa KKN di daerah semakin kental dan menjadi-jadi. Akibatnya proses penyusunan APBD menjadi molor, sehingga pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan tidak bisa tepat waktu sebagaimana skedul jadual yang diagendakan.

Coba kita simak ! Berdasarkan data dari Departemen Keuangan penyerapan alokasi yang terkait dengan investasi pemerintah pada semester pertama tahun 2006 terhitung rendah. Total anggaran belanja yang bersumber dari pemerintah pusat sebesar 118 trilyun, baru tersalurkan untuk belanja modal baru mencapai Rp 13,8 trilyun atau 22 persen dari total anggaran dalam APBN dan belanja barang baru mencapai Rp 14,65 trilyun atau 26 persen dari total anggaran dari APBN. Sementara itu alokasi belanja untuk pemerintah daerah yang besarnya sekitar Rp 220 trilyun, alokasi distribusi dan penyerapannya tidak jauh berbeda dengan pusat, masih sangat rendah.

Kita sangat berharap pemerintah pusat maupun daerah untuk segera cancut tali wondho untuk merealisasikan program dan kegiatan pembangunan yang langsung berdampak pada masyarkat. Masyarakat jangan hanya dipameri dengan pernyataan dan obral janji yang sekedar ngenyem-ngenyemi dengan pernyataan bahwa kita telah ke luar dari krisis. Padahal kenyataannya, jauh panggang dari api.

Ingat, tidak semua masyarakat bisa seperti mBah Marijan, yang bisa laku topo mbisu. Bila permasalahan mendasar yang menyangkut urusan perut tidak segera ditangani, namun sekedar menjadi wacana dan komoditas politik. Bisa jadi masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah. Bila ini berlarut-larut. Suatu saat nanti, masyarakat akan triwikromo menjadi raksasa sebesar gunung anakan yang menakutkan. Bila mereka telah habis kesabarannya ! Bagaimana pendapat Anda ???

*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakartai dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta.





No comments: