Tuesday, June 19, 2007

THR DALAM KEMASAN KURSUS SDM, NGONO YO NGONO NING OJO NGONO

0leh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Tindakan DPRD Sukoharjo menyelenggarakan kursus peningkatan sumber daya manusia (SDM) di Bali perlu disoal dan dipertanyakan. Baik dari aspek legal formalnya, subtansi maupun dari asas kepatutan dan kepantasannya. Bisa jadi kegiatan ini sangat menyakiti hati rakyat Sukoharjo. Bayangkan ! Akibat gempa bumi yang melanda DIY dan Jateng belum lama ini. Di wilayah Sukoharjo masih terdapat ratusan gedung sekolah yang roboh dan belum sempat dipugar, karena keterbatasan dana. Akibatnya ribuan siswa kini terpaksa belajar di tenda-tenda dan rumah penduduk. Di sisi lain masih banyak anggota masyarakat yang mengalami kesulitan membianyai sekolah anak-anaknya.

Namun dengan enteng, 45 anggota dewan Sukoharjo bisa nglencer ke Bali. Dengan dalih untuk mengikuti kursus peningkatan SDM. Dengan alokasi dana 330 juta. Diambilkan dari Belanja Operasional dan Pemeliharaan (BOP) APBD. Dengan dana sebesar itu, maka bila dihitung anggaran untuk setiap orang mencapai sekitar Rp 7,3 juta. Tentunya ini jumlah uang yang tidak sedikit.

Kegiatan ini pantas dipersoalkan dan dipertanyakan. Dalam pandangan penulis kegiatan ini masuk katagori skandal penyalahgunaan anggaran. Argumentasi yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut secara legal formal adalah sah tidak benar dan tidak mendasar sama sekali. Mari kita cermati. Metode penganggaran APBD yang berlaku saat ini adalah anggaran berbasis kinerja.

Anggaran kinerja adalah tehnik penyusunan anggaran berdasarkan pertimbangan beban kerja dan unit cost dari setiap kegiatan yang terstruktur. Penyusunan anggaran menjamin tingkat keberhasilan program, baik di sisi eksekutif maupun legislatif. Dalam anggaran kinerja orientasi pembiayaan tidak hanya sekedar input dan output semata, namun juga sampai pada tahapan outcame. Yaitu seberapa jauh dampak atau manfaat dari kegiatan yang dijalankan.


Kegiatan ini sangat rancu dan mengelikan. Masyarakat pastilah akan bertanya bukankah UMS itu masih terletak satu wilayah. Sama-sama di Kabupaten Sukoharjo. Kenapa di Bali ya kursusnya ? Apakah Sukoharjo dalam kondisi darurat ? Maka dibuatlah skenario kegiatan tersebut dalam rangka menghadiri undangan dari Universitas Udayana. Kedua program ini sebenarnya tidak nyambung sama sekali, seperti dipaksakan biar ada payung hukumnya. Biar dapat masuk katagori perjalanan dinas. Surat Perintah Jalan (SPJ) pun dibuat untuk tanggal 18-21 Oktober 2006.

Namun anehnya berdasarkan pengakuan Wakil Ketua DPRD Sukoharjo, Nurdin, rombongan Rabu malam sampai Bali langsung mengikuti kursus dan kursus dipadatkan dilaksanakan hingga Jumat pagi (Solopos, 21 Oktober 2006). Lalu kapan berkunjungnya di Universitas Udayana ? Ataukah memang kursus dilaksanakan di Universitas Udayana. Menurut nalar, secara etika akademis jelas hal itu tidak mungkin. Kursus di Universitas Udayanan, sementara pengajar dari Fakultas Hukum UMS.

Menariknya setelah skandal ini mencuat di media massa dan diributkan oleh elemen masyarakat. DPRD membuat pernyataan bila biaya perjalanan dinas tanggal 21 Oktober akan dikembalikan. Pertanyaan adalah bila skandal ini tidak mencuat kepermukaan apakah dana tersebut juga akan dikembalikan ?

Menyimpang dari Prinsip Anggaran Kinerja

Dalam sistem anggaran kinerja jika yang diselenggarakan adalah kegiatan diklat atau kursus, maka tidak sekedar berapa biaya penyelenggaraan diklat. Tetapi juga berapa orang yang berhasil mengikuti diklat tersebut. Bagaimana kualitas mereka setelah mengikuti diklat dan kembali ke pekerjaan masing-masing. Adakah manfaat yang cukup significant,

Pertanyaan yang lain yang pantas diajukan adalah tepatkah kegiatan satu atau dua hari yang diselenggarakan secara marathon itu dikatagorikan sebagai kursus ? Rasa-rasanya kegiatan tersebut tidak beda hanya seperti seminar saja. Bila itu memang betul kursus, maka target luaran dari kegiatan tersebut anggota dewan harus memiliki ketrampilan dan kecakapan tehnis menyangkut sesuatu hal baru. Tidak sekedar mengerti dan memahami suatu konsep atau teori saja. Pantas bila masyarakat akhirnya menyangsikan efektiftas kursus yang diselenggarakan itu.

Alangkah naifnya kegiatan ini. Di tengah masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi. Dengan mudah dan gampangnya dewan membiayai dirinya sendiri, untuk kursus instant dengan dana 7,3 juta perorang. Sedemikian mahalkah biaya pendidikan untuk anggota dewan yang terhormat ?

Wajar bila opini yang berkembang di masyarakat terhadap dewan negatif. Stigma yang muncul dewan sekedar bagi-bagi dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Atau bisa pula masyarakat mengkaitkan dengan moment lebaran, yaitu untuk mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR). Agar tidak mencolok kegiatan dikemas dalam bentuk kursus peningkatan SDM.

Sebab melihat momentumnya memang patut dipertanyakan. Apakah memang sudah sangat mendesak kursus semacam itu diadakan di bulan Ramadhan ? Apakah tidak ada bulan lain yang lebih pas untuk menyelenggarakan acara semacam ini. Padahal biasanya dalam bulan Ramadhan kegiatan semcam ini: seminar, pelatihan, kursus dan sejenisnya ditunda pelaksanaannya. Untuk menghormati anggota dewan yang sedang menjalankan ibadah puasa. Namun mengapa kegiatan ini justru diadakan dibulan Ramadhan ?

Untuk urusan geser-menggeser dan mensiasati pos anggaran kita memang jago dan paling kreatif. Tindakan ini dilakukan agar tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Kecenderungan melakukan tindakan seperti ini dikatagorikan sebagai accounting creativity. Banyak dilakukan baik oleh kalangan birokrasi maupun swasta.

Segenap elemen masyarakat, khususnya masyarakat Sukoharjo, sudah semestinya bila mempertanyakan dan mendesak kepada dewan untuk membeberkan secara gamblang kasus ini secara transparan. Serta meminta pertanggungjawaban terhadap kegiatan yang didanai oleh uang rakyat ini.

Sudah saatnya di dewan mempelopori bahwa dimensi akuntabilitas publik tidak hanya menyangkut laporan legal formal. Tetapi yang lebih utama dan penting adalah menyangkut akuntabilitas kejujuran dan moralitas. Silahkan ditanyakan dan dijawab dalam hati nurani masing-masing, benarkah kegiatan kursus ini sangat mendesak dan diperlukan ? Tidak dapat ditunda dan harus diselenggarakan di Bali ?


Di samping dewan, menurut hemat penulis Fakultas Hukum UMS yang disebut-sebut sebagai mitra kerja, juga harus angkat bicara. Benarkah kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UMS secara kelembagaan ? Ataukah hanya menyangkut personalnya ? Bagaimana latar belakang dan konsep penyelenggaraan kursus SDM yang dimaksud ?

Penjelasan ini penting agar tidak menimbulkan tanda tanya dan spekulasi di kalangan masyarakat. Konsep kemitraan perguruan tinggi dengan lembaga pemerintahan saat ini cenderung ditanggapi minor oleh masyarakat. Sebab disinyalir saat ini banyak kegiatan kemitraan yang hanya sekedar kedok dan sekedar dijadikan alat pembenar saja.

Terkait dengan masalah ini, sudah selayaknya bila elemen masyarakat Sukoharjo, mempertanyakan dan mendesak kepada dewan secara kelembagaan untuk membeberkan secara gamblang kasus ini dengan transparan. Sekaligus meminta pertanggungjawaban dewan terhadap kegiatan ini. Bagaimanapun juga setiap sen penggunaan uang rakyat harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Ini perlu diungkap agar kejadian serupa tidak kembali terulang di masa yang akan datang. Sebuah ungkapan dari para pinisepuh dan leluhur kita pantas kita renungkan bersama, “Ngono yo ngono ning ojo ngono”. Bagaimana pendapat Anda ? Selamat berlebaran !!!

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta dan Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen Unisri Surakarta.










No comments: