Tuesday, June 19, 2007

PEMERINTAH NGOTOT IMPOR BERAS, TANYA KENAPA ?


Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Aku malu, wahai saudaraku petani di pedesaan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Beras yang masuk ke perut kami
Harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi

Sepenggal bait puisi di atas berjudul “Malu Aku Menatap Wajah Saudaraku Para Petani”, karya Taufiq Ismail, sangat relevan menggambarkan nasib petani kita saat ini. Nasibnya kian terpuruk dan terpinggirkan. Kondisi ini disebabkan, karena kurangnya pedulian pemerintah terhadap nasib petani. Petani yang sering kali menjadi tulang punggung keberlangsungan kehidupan sebuah bangsa, sering diabaikan keberadaannya. Komitmen pemerintah dalam memproteksi kehidupan para petani nyaris tidak nampak sama sekali.

Padahal kita selalu membanggakan diri sebagai bangsa agraris. Tanahnya subur, gemah ripah loh jinawi, tukul kang sarwo tinandur, sawahnya ijo royo-royo. Namun dalam prakteknya, petani baru sebatas dijadikan obyek dalam menjalankan roda pembangunan.

Sebagai contoh kongkrit, saat ini diberbagai daerah di Indonesia sedang terjadi panen raya. Berbondong-bondong para pejabat mulai bupati sampai menteri terjun ke sawah untuk ramai-rmai “ show of force “ melakukan potong padi. Acara seremonial ini sudah sering kita saksikan di layar televisi dan kita baca diberbagai surat kabar. Kalangan praktisi dan akademisi yang kompeten dan berkecimpung di bidang pertanian, mereka hampir senada mengatakan bahwa saat ini stok pangan nasional, khususnya persediaan beras dalam posisi aman.

Belum dipandang perlu untuk melakukan impor beras. Namun anehnya mengapa pemerintah tiba-tiba bersikukuh dan ngotot untuk melakukan impor beras sebanyak 210 ribu ton, dengan anggaran dana sebesar Rp 390 milyar ???.
Alasan klasik selalu dikemukakan oleh pemerintah bahwa impor beras dilakukan dalam rangka untuk memenuhi cadangan minimal stok beras secara nasional. Konon persediaan cadangan nasional telah menipis, karena telah banyak disalurkan untuk membantu daerah-daerah yang terkena bencana alam. Serta untuk menstabilkan harga beras di pasaran agar tetap dalam kisaran harga Rp 4.200,00-Rp 4.300,00.

Agar tidak menimbulkan gejolak dikalangan petani, pemerintah menjamin beras impor tidak akan dilepar ke pasar. Dan jumlahnya hanya 1 persen dari kebutuhan beras secara nasional. Namun dapatkah argumentasi dan janji pemerintah tersebut dapat dipercaya ? Benarkah pemerintah ngotot untuk mengimpor beras hanya semata-mata untuk memenuhi cadangan stok minimal ? Jangan-jangan ada agenda lain dibalik kebijakan impor beras tersebut ?

Penulis memandang wajar, bila dikalangan masyarakat awam muncul berbagai pertanyaan tersebut. Karena hampir setiap tahun persoalan yang terkait dengan kebutuhan pangan ini selalu mengemuka. Tidak hanya beras yang diimpor, namun juga kedelai, jagung, gula, daging dan sejenisnya. Padahal pemerintah selama ini selalu menyatakan bahwa Indonesia sudah swasembada pangan, tidak terkecuali beras.

Lalu ada apa sih kok aparat pemerintah pusat begitu gethol dan bersemangat untuk melakukan impor ??? Padahal diberbagai daerah telah melakukan penolakan. Jangan-jangan ada udang dibalik batu ???

Mari kita simak pendapat pengamat pertanian dari Yogyakarta, Dr. Mohchammad Maksum, yang menyatakan tidak masuk akal jika alasan pemerintah mengimpor beras karena harga beras di pasar sudah melebihi harga pembelian pemerintah (HPP) 2005 sebesar Rp 3.550,00 perkilogram.

Lebih lanjut beliau mengatakan pengadaan beras melalui impor ini mengada-ada dan merupakan keputusan yang sangat sembrono serta menyakitkan hati rakyat (Solopos, 4 September 2006).

Bila pernyataan Dr. Mohchammad Maksum ini benar, kita jadi penasaran, mengapa ya pemerintah kok tetap ngotot impor beras ?



Untuk menjawab rasa penasaran tersebut mari kita simak sinyalemen pakar ekonomi kerakyatan, almarhum Prof. Dr. Mubyarto, delapan tahun lalu. Pernyataan tersebut rasanya masih sangat relevan dengan kondisi dewasa ini. Betapa tidak ?

Pada saat mengisi seminar nasional tentang Pemberdayaan Pertanian Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia, di UGM, 03 Oktober 1998, Beliau mengatakan bahwa aneka kebijakan pembangunan sejak Repelita I selalu memberikan prioritas pada bidang pertanian hanyalah “pernyataan keinginan di atas kertas”. Bukan tekad sungguh-sungguh untuk mewujudkan.

Mengapa demikian ? Karena dalam prakteknya, menurut beliau, sangat bertolak belakang. Antara konsep di atas kertas dengan penerapan di lapangan. Dengan tegas Prof. Muby mengatakan telah terjadi proses “penggerogotan” sistem produksi dan sistem ekonomi dari dunia “ di luar petani ”. Yang lebih menyedihkan lagi, proses penggerogotan ketahanan pertanian rakyat ini cendrung didukung oleh pemerintah atau “oknum-oknum pemerintah”.

Siapakah yang dimaksud dengan kekuatan di luar petani oleh pak Muby (panggilan akrab pak Mubyarto) ? Tidak lain adalah kalangan pemodal besar alias kaum kapitalis.

Ada indikasi peran “para tengkulak” saat ini semakin besar dan semakin kuat dalam mewarnai pemerintahan SBY-JK. Namun untuk membuktikannya memang sulit, tetapi kita bisa merasakan keberadaannya. Sah-sah saja bila sebagai bagian dari warga masyarakat kita mencurigai dalam rencana impor beras diwarnai unsur KKN. Walaupun pemerintah mengatakan pengadaan impor beras akan dilakukan dengan tender terbuka. Namun siapa bisa menjamin akan kebenaran ucapan atau janji dari pejabat di republik ini ?

Coba kita lihat ! Mekanisme dan prosedur, serta proses tender bila dijalankan dengan terbuka, akan memakan waktu sekitar 20-25 hari. Namun saat ini ditengarai beras impor sudah beredar di daerah Tegal dan Cirebon (Kompas, 02 September 2006). Sehingga tidak menutup kemungkinan apabila tender yang akan dilangsungkan hanya sekedar permainan saja. Sekedar alat untuk melegitimasi keabsahan impor beras.

Tanda-tanda ketidakberesan dan permainan dalam masalah impor beras ini memang sangat kuat sekali. Sebenarnya aromanya sudah tercium sejak impor beras tahun 2005. Waktu itu DPR bahkan sempat mengancam akan menggunakan hak angket. Dan kini sejarah terulang kembali. Akankah kasus ini kemudian juga akan menguap. Tanpa ada penyelesaian yang jelas ?

Penulis sepakat dan mendukung usulan dari anggota Komisi IV DPR, Mufid A Busyairi, untuk menolak rencana pemerintah untuk mengimpor beras. Serta mengusulkan agar Perum Bulog selaku penyelenggaran dan penanggungjawab terhadap pengadaan dan pendistribusian beras, diaudit oleh akuntan publik yang betul-betul professional dan independent. Agar kebobrokan dalam mafia impor beras ini dapat terbongkar.

Penulis membayangkan seandainya foundhing father kita, Bung Karno dan Bung Hatta, yang selalu menggelorakan semangat kemandirian bangsa, masih hidup pasti akan menangis menyaksikan nasib tragis petani kita. Pak Tani yang sudah susah payah mengelola sawah dengan cucuran keringat, namun hasil panen dicampakkan begitu saja. Dibeli dengan harga yang rendah dan petani pun tidak berdaya.

Hanya untuk membela kepentingan segelintir orang, yang notabene mereka adalah orang-orang yang sudah berkecukupan secara materi, petani dikalahkan. Bila kebijakan ini terus berlanjut setiap tahun, jangan salahkan bila kemudian pak Tani meninggalkan cangkulnya dan menelatarkan sawahnya untuk kemudian berburu sesuap nasi dengan menyerbu perkotaan. Angka kemiskinan dan pengangguran pun akan semakin meningkat. Karena hampir 80 persen penduduk Indonesia menggantungkan diri hidupnya dari sektor pertanian.

Kita memang tidak pernah bisa menghargai perjuangan dan kerja keras petani kita sendiri. Tidaklah salah bila Taufiq Ismail menyatakan nasib petani Indonesia seperti bandul yang diayun-ayunkan. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana MM Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta..



1 comment:

nathan_thomas87 said...

Menurut saya, impor beras yang dilakukan sudah sangat tepat. Hanya, berita - berita yang berkaitan dengan adanya 'maksud' lain di balik impor beras yang dilakukan oleh pemerintah hanya bersifat politis belaka untuk menjatuhkan imej pemerintahan SBY - JK ke masyarakat dengan membawa pendapat bahwa Indonesia negara agraris. Impor beras yang dilakukan pemerintahan SBY - JK waktu itu sebetulnya yang terbaik dalam 5 thn terakhir. Waktu pemerintahan Megawati - Hamzah Haz, impor beras mencapai 1 milyar ton, padahal saat SBY melakukan kebijakan impor beras, hanya 200 juta ton. Alasan dilakukan nya impor beras, adalah untuk menjaga kestabilan persediaan pangan nasioanal,jika tidak, negara akan mengalami kelaparan, jadi impor beras yang dilakukan tidak untuk diperjualbelikan ke masyarakat. Jika tidak dilakukan impor beras dan kekhawatiran pemerintah menjadi kenyataan bahwa negara kita akan kelaparan, justru akan menimbulkan masalah baru, antara lain : krisis ekonomi, krisis sosial dan juga yang penting adalah krisis moral karena kejahatan pasti akan merebak dimana - mana. Hal ini juga dikemukakakan oleh malajah TEMPO waktu impor beras sedang gembor - gembor nya diberitakian oleh media masyarakat.

By : Nathan Thomas
05210013