Tuesday, June 19, 2007

PASAR TRADISIONAL ILANG KUMANDANGE

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Kondisi pasar tradisional di wilayah kota Solo menjelang lebaran tahun ini cukup memprihatinkan. Pasar Klewer, misalnya, walaupun dalam musim lebaran tahun ini omzetnya mencapai 7 miliar perhari. Namun sebagian pedagang mengatakan omzetnya turun, tidak seramai tahun lalu. Bahkan dibeberapa pasar tradisional pada hari H lebaran banyak pedagang yang tidak berjualan.

Padahal biasanya seminggu menjelang lebaran, pasar tradisional selalu dibanjiri para pembeli. Tidak aneh bila dulu, memasuki lebaran selalu disambut suka cita oleh para pedagang. Karena apapun dagangan yang dijajakannya pasti selalu laku terjual dengan keuntungan yang berlipat.

Namun dalam dua tahun terakhir ini, kondisinya berbalik 180 derajat. Mengapa hampir sebagian besar pasar tradisional di Solo menjadi sepi ? Benarkah pasar tradisional di Solo telah ilang kumandange ? Faktor sepinya pembeli pasar tradisional memang banyak.

Diantaranya karena kondisi perekonomian nasional secara makro memang lagi lesu. Menyebabkan lemahnya daya beli masyarakat. Tetapi menurut pengamatan penulis penyebab utama sepinya pasar tradisional karena menjamurnya pasar modern yang saat ini marak di kota Solo.

Bermunculan pasar modern ini menyebabkan warga Solo mangro tinggal. Secara perlahan namun pasti, mereka mulai meninggalkan pasar tradisional. Hal ini bisa kita lihat dan saksikan secara langsung. Dua tahun terakhir ini, warga Solo dalam menyambut lebaran lebih suka menyerbu pasar modern. Mulai dari mini market, super market, mall sampai hypermarket. Menurut pengakuan beberapa pengelola pasar modern, pada masa lebaran tahun ini terjadi kenaikkan penjualan rata-rata di atas 100 persen.


Bagi penulis tidak kaget melihat hal itu. Gaya hidup dan perilaku belanja wong Solo memang unik. Salah satu karekter yang tidak ditemukan di kota lain adalah dalam berbelanja mereka umumnya memiliki sifat dan perilaku demenyar (demen barang kang anyar). Yaitu menyukai sesuatu yang serba baru alias suka mencoba-coba.

Demenyar juga mengandung konotasi gampang bosan dan bersifat sementara. Tetapi, jangan diremehkan perilaku ini bisa berubah menjadi budaya permanen, manakala mereka merasa terpuaskan. Terpuaskan dalam pelayanan, terpuaskan dalam mendapatkan barang yang SAERAH (sae tur murah). Terpuaskan karena lokasinya yang mudah terjangkau, bersih dan representatif. Bila hal-hal tersebut didapatkan, bisa dipastikan warga Solo akan loyal belanja di pasar modern dibandingkan belanja di pasar tradisional.

Sikap Pemkot Solo

Dampak keberadaan pasar modern akan menumbuh suburkan budaya konsumtif dan hedonisme di kalangan masyarakat. Tetapi dampak yang lebih besar, keberadaan pasar modern, bila tidak diatur dan dikendalikan akan mengancam keberlangsungan sektor informal dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Ribuan pedagang pasar, pedangan kelontong, buruh gendong, tukang becak, tukang parkir yang note bene mereka adalah wong cilik akan kehilangan pekerjaan.

Bukti berbicara. Berdasarkan data triwulan I tahun 2005 dari Dinas Pengelola Pasar (DPP) Solo, setahun lalu menunjukkan sekitar 1.423 petak los yang tersebar di 37 pasar tradisional, ditinggalkan para pedagang, dalam keadaan kosong. Urutan pasar yang memiliki jumlah los kosong terbanyak antara lain: Pasar Legi, Pasar Jongke, Pasar Kadipolo, Pasar Ayam, Pasar Harjodaksino, Pasar Nusukan, Pasar Kabangan, Pasar Mojosongo, Pasar Umbul dan Pasar Jebres. Itu merupakan data setahun lalu. Tentunya bila kita mengakses data terbaru jumlahnya pasti lebih besar lagi.

Salah satu langkah untuk mengatasi hal itu, Pemkot Solo, bermaksud melakukan marger atau penggabungan beberapa pasar yang sudah tidak aktif untuk dijadikan satu pasar dalam satu lokasi. Serta melakukan renovasi terhadap 11 pasar tradisional yang masih hidup. Mampukah kebijakan yang ditempuh Pemkot Solo ini menyelesaikan masalah ?

Permasalahan mati surinya pasar tradisional, tidak hanya di kota Solo. Ini terjadi juga di kota-kota besar, seperti di Jakarta. Akhir tahun 2005 di Jakarta sudah ada tujuh pasar tradisional yang ditutup. Melihat fenomena itu penanganan pasar tradisional harus memiliki grand desain yang jelas. Strategi kebijakan yang dibuat harus disusun secara terpadu dan disinkronkan dengan visi kota dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Mengengah).

Pendekatan pragmatis dan penanganan masalah secara parsial harus ditinggalkan. Pemkot seyogyanya memiliki visi dan kebijakan yang jelas dan tegas terhadap pembangunan dan pengembangan pasar tradisional dan pasar modern. Kebijakan yang disusun hendaknya mendukung visi kota Solo, yaitu mewujudkan Solo sebagai kota budaya yang bertumpu pada aspek perdagangan dan jasa.

Seluruh pelaku dunia usaha, mulai dari tingkat informal dan formal bila perlu dilibatkan dan diberi kesempatan yang sama untuk merumuskan konsep dan kebijakan. Jangan sampai muncul komentar emban cinde, emban siladan, atau pilih kasih. Bila ada keberpihakan, sudah selayaknya bila keperbihakan itu justru diberikan untuk kepentingan rakyat kecil.

Pemkot Solo tidak cukup bila hanya sekedar membatasi pertumbuhan dan pertambahan pasar modern. Pemkot Solo juga perlu mengambil langkah-langkah dan kebijakan strategis untuk menyelamatkan keberadaan pasar tradisional. Misalnya, melakukan penataan manajemen pasar tradisional dengan konsep dan nuansa pasar modern. Contoh kongkrit adalah dengan melakukan penataan dan perubahan citra pasar tradisional yang selama ini dipandang kumuh dan jorok, serta beraroma tidak sedap, menjadi citra yang positif, layaknya pasar modern.

Bila ini terwujud, penulis memiliki kenyakinan pamor pasar tradisional di Solo akan kembali mencorong. Menjadi salah satu andalan untuk menarik wisatawan domestik maupun wisatawan luar negeri. Dengan sendirinya dikotomi pasar tradisional dan pasar modern, tidak akan terjadi lagi. Keduanya bisa hidup berdampingan. Saling menopang dan saling mengisi. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Staf Pengajar Pasca Sarjana Program Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

4 comments:

yuli said...

pembatasan pertumbuhan dan pertambahan pasar modern yang dilakukan oleh pemkot surakarta memang tak cukup untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional. saya sangat setuju dengan langkah-langkah dan kebijakan strategis yang dikemukakan oleh penulis dalam penyelamatan pasar tradisional. karena memeng selama ini citra pasar tradisional kurang baik seperti kumuh, jorok dan tidak hygenen. sehingga pemkot perlu melakukan sesuatu untuk mengubah image tersebut. saya merasa keberadaan pasar tradisional masih perlu dipertahankan karena mempunyai keuntungan yang takkan didapatkan dari psr modern, misalnya komunikasi antara penjual dan pembeli.


TRI YULIYANTI
05210002

Lia said...

Keberadaan pasar tradisional memang harus dipertahankan existensinya untuk melindungi para pedagang kecil, tidaklah adil rasanya apabila para pedagang kecil dengan modal kecil dan hanya menggantungkan hidupnya pada pasar tradisional harus dikalahkan oleh para pemodal besar atau para investor yang notabene mempunyai kekuasaan. Di sisi lain pemkot Surakarta diragukan kredibilitasnya dengan adanya pengaryh dari para pengusaha besar .pernah dibertakan bahwa pemerintah khususnya dinas perindustrian dan perdagangan akan membatasi jumlah supermarkrt,hypermarket,retail barang komsumsi unruk melindungi pedagamg kecil.
Pembenahan pasar tradisional memang perlu dilakukan untuk memberikan rasa kenyamanan baik bagi pedagang maupun pembeli sehingga menambah daya tarik pasar tradisional. Penerapan harga yang lebih rendah pada pasar tradisional akan menjadikan pilihan dibandingkan pasar modern. Pemkot Solo tidak cukup bila hanya sekedar membatasi pertumbuhan dan pertambahan pasar modern. Pemkot Solo juga perlu mengambil langkah-langkah dan kebijakan strategis untuk menyelamatkan keberadaan pasar tradisional. Misalnya, melakukan penataan manajemen pasar tradisional dengan konsep dan nuansa pasar modern. Contoh kongkrit adalah dengan melakukan penataan dan perubahan citra pasar tradisional yang selama ini dipandang kumuh dan jorok, serta beraroma tidak sedap, menjadi citra yang positif, layaknya pasar modern
SURI APRILIA PUSPITARINI
06211004

veranika dara said...

melihat pertumbuhan pasar modern yang sekarang sudah semakin menjadi tren bagi semua kalangan mungkin agak mengkhawatirkan memang, namun saya berpendapat sama seperti yang penulis kemukakan bahwa apabila kebijakan pemerintah dapat mempertahankan visi kota solo sebagai kota budaya dan pariwisata tentu saja keberadaan pasar tradisional tidak akan terpuruk begitu saja.Mungkin akan lebih baik apabila pemkot solo lebih mengekspoler pasar tradisional dengan penataan baik dari segi jenis produk yang dijual dimana hanya terdapat pada pasar tradisioal yang tentu saja hal ini lebih ditekankan pada konsumen dari luar ( wisatawan asing maupun domestik ), dari segi bangunan yang mungkin lebih ditekankan pada bangunan khas solo yang memiliki ciri khas dan masih banyak lagi sisi positif dari pasar tradisional yang bisa lebih ditunjukkan kepada masyarakat.sehingga dengan demikian diharapkan ada persaingan yang positif antara pasar modern dan tradisional.

veranika dara said...

melihat pertumbuhan pasar modern yang sekarang sudah semakin menjadi tren bagi semua kalangan mungkin agak mengkhawatirkan memang, namun saya berpendapat sama seperti yang penulis kemukakan bahwa apabila kebijakan pemerintah dapat mempertahankan visi kota solo sebagai kota budaya dan pariwisata tentu saja keberadaan pasar tradisional tidak akan terpuruk begitu saja.Mungkin akan lebih baik apabila pemkot solo lebih mengekspoler pasar tradisional dengan penataan baik dari segi jenis produk yang dijual dimana hanya terdapat pada pasar tradisioal yang tentu saja hal ini lebih ditekankan pada konsumen dari luar ( wisatawan asing maupun domestik ), dari segi bangunan yang mungkin lebih ditekankan pada bangunan khas solo yang memiliki ciri khas dan masih banyak lagi sisi positif dari pasar tradisional yang bisa lebih ditunjukkan kepada masyarakat.sehingga dengan demikian diharapkan ada persaingan yang positif antara pasar modern dan tradisional.

Veranika Dara P
05210036