Monday, December 31, 2012

DAWET D’ KRATON TENAR BERKAT FACE BOOK


Siapa bilang ibu rumah tangga tidak bisa berwirausaha ? Dan siapa bilang berwirausaha harus dengan modal besar ? Tengok kisah sukses berikut ini. Nama lengkapnya Rania Rini Swariyanti, namun lebih suka disebut Bu Rania. Namanya saat ini sedang melambung dikenal sebagai owner Dawet D’Kraton. Karena kelezatannya dawet yang satu ini menjadi buah bibir masyarakat, rasanya khas, berbeda dengan dawet yang sudah ada.

Mantan guru ini memulai usaha bidang kuliner bermula dari iseng-iseng. Awalnya mengikuti pameran Pesona Taman Balaikambang yang berlangsung selama sepekan awal tahun 2012. Hanya bermodalkan Rp 200 ribu. Ibu empat orang anak ini membuka stand dawet. Tanpa diduga, dagangannya laris manis, tengah hari, sebelum acara berakhir, sudah ludes.

Komentar pembeli, dawetnya enak sekali. Mereka pun bertanya kalau beli di mana ?  “ Sejak itulah saya berpikir untuk menekuni bisnis ini, tidak sekedar hanya iseng-iseng. Bulan Mei 2012 saya putuskan membuka usaha di jalan Adi Sucipto 135, Solo, tepatnya disebelah barat Kantor DPRD Surakarta “ ungkapnya.

Namun ternyata memulai usaha tidak selalu mulus. Minggu pertama pengunjung sepi, “ Rata-rata perhari hanya sepuluh pembeli “, ungkapnya. Namun Bu Rania tidak patah arang. Berbagai cara dilakukan untuk mempromosikan dawetnya yang khas ini. Salah satunya melalui media social, yaitu facebook dan twitter. Di luar dugaan hasilnya luar biasa. Penghunjung mulai berdatangan ke tempatnya, terutama dari teman-temannya dan kenalan di facebook. Tidak hanya dari  kota Solo, justru tidak sedikit yang berasal dari  luar  Solo.

Apa motivasi menekuni kuliner ? “ Saya ingin melestarikan dawet Solo, yang dulu pernah berjaya dan terkenal sangat enak dan lezat “ ungkapnya. Menurutnya nama dawet  D ‘ Kraton memiliki makna yaitu D dari kata desa  Dibal. Tempat bakul dawet yang sangat terkenal  di masa lalu, tepatnya di sebelah barat Bandara Adi Sumarmo,  di Kecamatan Ngemplak, Boyolali. Konon dawet dari desa Dibal ini sangat digandrungi  kalangan  priyayi kraton Solo. Dawet dari desa Dibal ini pun akhirnya  identik dengan dawet Solo.

Kini D’Kraton memiliki 12 menu dawet. Mulai dari dawet klasik, dawet nangka, dawet durian sampai dawet bugar special, dengan kisaran harga Rp 4.000,00 sd Rp 10.000,00. Di samping dawet juga disediakan menu makan ringan dan berat yang kesemuanya khas Solo dari harga 5 ribu sampai 11 ribu rupiah.

Apa obsesi Bu Rania ? “ Saya bermimpi dawet D’Kraton bisa membuka outlet di seluruh Indonesia. Saat ini sedang disiapkan untuk mewaralabakan dawet D’ Kraton. Permintaan sudah banyak baik dari kota-kota di Jawa maupun luar Jawa “, ungkapnya menutup perbicancangan. Ayo siapa mau mencoba ?

Friday, August 1, 2008

AMALIA CONSULTING KUPAS TIP DAN TRIK PEMASARAN BPR


Salam Sukses !!!


Amalia Consulting bergerak pada bidang jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan bidang manajemen, akuntansi, perpajakan dan public relations. Saat ini Klien kami sebagian besar Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Saat ini kami tengah mengembangkan materi pelatihan bidang marketing dan service excellencent. Sederhana, membumi dan inspiratif. Tip dan trik jitu langsung dapat dipraktekkan.

Kamis, 31 Juli 2008, Direktur CV Amalia, Drs. Suharno, MM, Akuntan, menyampaikan tip dan trik jitu strategi marketing, di Hotel Kesambi Hijau, Semarang, dalam Diklat Perbamida Jateng & DIY, diikuti 23 peserta level Kabag dan Kepala Cabang. Inilah komentar mereka. Kabid Pemasaran, PD BPR-BKK Wonogiri, Didik Darmadi, SE, MM, ” Setelah mengikuti diklat saya termotivasi melakukan evaluasi terhadap kinerja saya selama ini ”.

Prastiwi Handayani, SE, Pimpinan Cabang BPR-BKK Demak, ” Materi disajikan sangat menyenangkan. Mudah diterima dan dilaksanakan ”. Pimpinan Cabang BPR-BKK Unggaran, Agus Sumaryono, ” Tayangan audio visual lucu, penuh makna yang dalam tentang promosi dan pemasaran ”.

BPR Anda ingin menyelenggarakan ?


Pastikan anggaran Anda betul-betul dimanfaatkan secara efisien dan efektif. Tidak terbuang sia-sia !!! Percayakan pelatihan organisasi bisnis Anda kepada kami.


Hubungi kami segera:


Drs. Suharno, MM, Akuntan

Hp. 0813. 295. 117. 45,

Telp/Fax (0271) 651268,

email: suharno_mm_akt@yahoo.co.id






Wednesday, June 11, 2008

MEMUTUS MATA RANTAI BISNIS LKS

Dimuat Solopos, Kamis, 12 Juni 2008
Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.


Dalam sepekan terakhir Solopos menurunkan liputan tentang lika-liku bisnis Lembar Kerja Siswa (LKS). Penulis sangat mendukung pendapat berbagai pihak bahwa penggunaan LKS di sekolah-sekolah, mulai SD sampai SMA/SMK untuk ditinjau ulang. Bila mana perlu dihentikan. Sebab bila ditinjau dari berbagai aspek penggunaan LKS lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Dari aspek pendidikan LKS tidak sejalan, bahkan kontradiktif dengan model pembelajaran KTSP yang berbasis kompentensi, yang saat ini sedang dikembangkan.

Lihat saja LKS yang saat ini beredar, sebagian besar mutunya sangat rendah. Di bawah standar. Siswa hanya memindahkan keterangan-keterangan yang ada di buku materi ke LKS tanpa banyak berdiskusi atau berpikir. Kondisi ini mirip, sebelum jaman fotocopy, murid mencatat, sedangkan guru atau temannya menulis di papan.

Tetapi para guru sering menggunakan LKS sebagai ajian pemungkas yang paling praktis untuk memberikan Pekerjaan Rumah ( PR), yang sangat membebani siswa dan orang tua. Anak sering menjadi stres karena PR berjimbun. Orang tua menjadi repot dan kelabakan saat diminta membantu anaknya mengerjakannya. Tidaklah berlebihan bila kemudian LKS diplesetkan menjadi Lembar Kesengsaraan Siswa.

Dampak Penggunaan LKS

Model soal yang dikembangkan dalam LKS sebatas tataran kognitif. Membuat siswa tidak kreatif. Karena belajar suatu ilmu hanya kulit luarnya saja, tanpa ada pendalaman. Akibatnya yang berkembang hanya kemampuan otak kirinya saja. Dalam model pembelajaran semacam ini, siswa tak ubahnya mesin penghafal. Sedangkan bila ditinjau aspek etika sangatlah kurang pas, bila para guru harus nyambi menjual LKS secara langsung kepada para siswa. Bila guru berbisnis buku dapat dipastikan pamor dan kewibawaan di depan siswa juga akan luntur.

Di sisi sosial-ekonomi pengadaan LKS, sangat membebani orang tua murid yang tidak mampu. Mari kita kalkulasi secara kasar, bila dalam satu semester siswa membeli LKS dua kali untuk setiap mata pelajaran (mapel). Dan ada 12 mapel, berarti harus membeli 24 LKS. Harga rata-rata LKS sekitar Rp 5.000,00, sehingga dalam satu semester saja orang tua harus merogoh kocek Rp 120.000,00. Bila satu tahun tinggal mengalikan dua saja, sekitar Rp 240.000,00. Ini baru untuk beli LKS. Padahal selain LKS, orang tua siswa masih dibebani dengan berbagai biaya yang lain. Ada buku pendamping, seragam sekolah, pakain olah raga dan uang gedung.

Di samping itu, bisnis LKS ditengarai banyak menguntungkan oknum kepala sekolah dan guru tertentu saja. Dalam benak mereka yang ada adalah bagaimana mendapatkan keuntungan. LKS memang bisnis yang amat menggiurkan. Bila diasumsikan dalam satu sekolah ada sekitar 600 siswa berarti dalam setahun uang yang dibelanjakan untuk LKS mencapai Rp 144 juta. Bila penerbit memberikan discount 40 %, maka setiap tahun sekitar Rp 57,6 juta yang dinikmati pihak sekolah.

LKS hanya buku pelengkap. Namun dalam praktik LKS menjadi ” kitab suci ” para guru dan siswa. Hampir dipastikan tidak ada sekolah yang tidak menggunakan LKS. Setiap hari siswa mengerjakan tugas lewat LKS. Sementara buku acuan utama yaitu buku paket dan buku pendamping jarang digunakan.

LKS Mematikan Kreativitas

Walaupun ada dana BOS, pihak sekolah tetap saja menarik uang pembelian LKS. Berdasarkan temuan ICW banyak sekolah yang mengadakan pungutan yang tidak wajar. Riset tersebut dilakukan terhadap sejumlah Sekolah Dasar Negeri di kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Bau-bau, Kota Makasar, Kota Manado, Kota Banjarmasin, Kota Padang, Kota Jakarta, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tangerang. Data ICW menyebutkan selama tahun 2006, sebanyak 2.283 orang tua murid menyatakan dipungut biaya Lembar Kerja Siswa (LKS) dan buku paket rata-rata sebesar Rp 98.050,00. Selain itu temuan di lapangan menunjukkan ada penerbit dan oknum tertentu yang "memaksakan" buku LKS terbitannya untuk dipakai siswa. Modusnya mirip dengan praktik penjualan LKS di kota Solo, sebagaimana liputan Solopos, Senin, 02 Juni 2008.

Penulis berkeyakinan, sepanjang LKS masih dijadikan sebagai ajang bisnis, dapat dipastikan output pendidikan kualitasnya rendah. Sekolah hanya akan mencetak generasi LKS. Generasi yang menguasai ilmu secara instant. Guru dan siswa tidak kreatif. Inovasi pembelajaran tidak jalan.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satu jalan adalah mata rantai bisnis LKS harus diputuskan. Siapa yang harus melakukan ? Apakah walikota harus mengeluarkan larangan, sebagaimana usulan dari sebagian kalangan masyarakat ?

Menurut penulis, pertama dan utama yang harus memutus mata rantai bisnis LKS adalah komitmen para guru dan pihak sekolah. Guru dan kepala sekolah harus berani menolak dan mengatakan tidak pada LKS. Para guru mestinya paham, LKS yang sesungguhnya adalah lembaran kerja siswa yang dirancang oleh guru yang bersangkutan. Bukan buku yang berlabel LKS.

Dalam era sertifikasi, guru dituntut memiliki kompetensi dan kemampuan menyelenggarakan pembelajaran secara profesional. Salah satu indikatornya, guru mampu menyusun dan merancang kertas kerja yang bisa merangsang siswa agar berpikir dan berdiskusi kemudian melaporkan dan mempresentasika hasil kerjanya di depan kelas dan mempraktekan dalam kehidupan keseharian.

Jangan hanya karena mengejar keuntungan finansial sesaat, guru mengorbankan anak didiknya. Apalagi saat ini kesejahteraan guru sudah lumayan, bila dibandingkan dengan profesi lainnya. Mari kita buka mata, dampak negatif penggunaan LKS. Pada siswa SD, LKS yang mesti dikerjakan secara mandiri di rumah, telah menjadi beban orang tua untuk turut serta mengerjakannya. Pada siswa SMP dan SMA, tugas-tugas LKS telah mengembangkan budaya menyontek. Hanya satu-dua siswa yang mengerjakan LKS, siswa lain beramai-ramai menyalinnya pada pagi hari sebelum mata pelajaran dimulai.

Ketika kurikulum berbasis kompetensi diterapkan di ruang kelas, masa kejayaan LKS mestinya runtuh (S. Prasetyo Utomo, 2008). Ada beberapa sebab. Pertama, tes bersama tak lagi diselenggarakan, karena evaluasi dilakukan guru yang bersangkutan, tidak lagi dibuat tim MGMP. Kedua, bahan ajar dapat diupayakan guru secara kreatif, berasal dari sumber mana pun secara bervariasi. Ketiga, kegiatan belajar-mengajar di ruang kelas memerlukan daya cipta yang lebih leluasa dibandingkan dengan hanya mengerjakan LKS.

Akan tetapi, benarkah LKS akan menghilang dari ruang-ruang kelas dalam kegiatan belajar-mengajar ? Jangan-jangan akan muncul lembar kerja atau buku bahan ajar dalam bentuk lain, yang sengaja diciptakan untuk menggantikan peran LKS ? Bisnis LKS memang menggiurkan.
Bagaimana pendapat Anda ?

Monday, June 2, 2008

KENAIKAN BBM PICU INFLASI SPIRAL

Dimuat Joglosemar, Senin 02 Juni 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Selama memangku jabatan presiden SBY telah tiga kali menaikkan harga BBM. Dua kali pada tahun 2005 dan satu kali tahun 2008. Kenaikan kali ini agak berbeda. Tradisi yang berlaku selama ini bila pemerintah akan menaikan BBM biasanya diumumkan secara mendadak. Bila pun ada rumor hanya beberapa hari saja. Namun kali ini tidak. Wacana kenaikan harga BBM telah digulirkan beberapa pekan sebelumnya. Akibatnya banyak oknum yang tega memperkaya diri sendiri dengan melakukan penimbunan BBM sebanyak-banyaknya.

Di samping itu pemerintah nampak gampang dalam memutuskan BBM naik atau tidak. Tidak ada kejelasan waktu, kapan akan dinaikan. Sempat terlontar BBM dinaikan bulan Juni. Kemudian diralat akan dinaikan akhir Mei. Ternyata BBM naik lebih awal yakni Sabtu, 24 Mei 2008, pukul 00.00 WIB. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro, mengumumkan premium yang semula Rp 4.500,00 menjadi Rp 6.000,00 perliter, solar dari Rp 4.300,00 menjadi Rp 5.500,00 perliter dan minyak tanah dari Rp 2.000,00 menjadi Rp 2.500,00 perliter.

Lamanya tarik ulur dalam memutuskan kenaikan harga BBM, telah membuka peluang munculnya aksi gelombang protes dan demo dari kalangan mahasiswa serta elemen masyarakat. Namun rupanya suara mahasiswa dan jeritan masyarakat, khususnya wong cilik tidak digubris sama sekali. Pemerintah memiliki kalkulasi sendiri, bila BBM tidak dinaikan APBN bisa jebol, roda pemerintahan dan pembangunan tidak jalan.

Padahal kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat saat ini berada di bawah titik nadir. Akibatnya bisa ditebak. Saat harga BBM betul-betul naik aksi demo dalam skala besar kembali marak di mana-mana. Sampai berdarah-darah dan menimbulkan korban luka-luka baik dikalangan mahasiswa dan polisi. Sebagaimana terjadi di Universitas Nasional (UNAS) dan berbagai daerah aksi demo berujung bentrok hebat antara mahasiswa dan polisi.

Padahal bila dibandingkan kenaikan BBM sebelumnya, yang pernah mencapai angka di atas 100 persen, kenaikan kali ini relatif lebih kecil hanya sekitar 28,7 persen. Namun mengapa reaksinya demikian besar dan disengkuyung hampir semua lapisan dan komponen masyarakat ? Apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat ?

Prosentase kenaikan BBM memang sepintas hanya di bawah 30 presen. Tetapi perlu diingat sebelum BBM naik, harga pangan dan sembako melambung sangat tinggi. Kenaikan harga komoditas tersebut, dampak dari krisis energi dan pangan yang saat ini sedang melanda dunia. Di sisi lain, pendapatan masyarakat tidak bertambah. Bahkan secara riil pendapatannya semakin berkurang dan tidak sebanding, serta tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang paling minimalis, sekalipun.

Melonjaknya harga yang terjadi secara beruntun dan bertubi-tubi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan hampir disemua komoditas ini, akan memicu laju inflasi. Dari fenomena yang berkembang, tingkat inflasi saat ini nampaknya sulit untuk dikendalikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa memicu terjadinya spiral inflation (spiral inflasi). Yakni inflasi yang menggelinding dan merembet kemana-mana, saling kejar mengejar.

Dampak Kenaikan BBM

Banyak pihak mempridiksi kenaikan BBM kali ini, akan memicu laju inflasi 2008 menembus angka dua digit mencapai di atas 11 persen. Menurut, Chatib Basri, inflasi akan bertambah 2,5-3 persen dari posisi inflasi April 2008 yang year on year sudah mencapai 8,96 persen, menjadi sekitar 11,44 persen. Laju inflasi yang tinggi, tidak hanya dialami Indonesia, namun telah menjadi tred ekonomi global. Direktur Pelaksana IMF Domonique Stauss-Kahn mengatakan, inflasi menjadi ancaman tambahan bagi dunia, di samping resesi ekonomi.

Penambahan inflasi 2,5-3 persen diperkirakan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 0,1-0,2 persen, pertumbuhan ekonomi menjadi 5,8 hingga 5,9 persen. Padahal pemerintah mentarget APBN-P 2008 pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen. Turunnya pertumbuhan ekonomi otomatis menambah jumlah pengangguran.

Peneliti dari Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Reforminer Institute, sebagaimana dilansir Antara News, menghitung kemungkinan penambahan pengangguran per tahun bisa mencapai 16,92 persen. Salah satu penyebab membengkaknya jumlah pengangguran adalah faktor kenaikan harga solar.

Karena solar merupakan komponen penting dalam menjalankan industri baik dalam skala mikro, kecil, menengah dan besar. Dengan BBM naik 10 persen saja, dampak inflasi mencapai lebih dari delapan persen, pengangguran mencapai 5,6 persen. Bisa dibayangkan bila BBM naik 30 persen, maka pengangguran bisa meningkat 24 lipat.

Dapat dipastikan bila jumlah pengangguran meningkat, dengan sendirinya jumlah penduduk miskin juga meningkat. Kerawanan sosial dan kriminalitas pun juga cenderung akan mengalami peningkatan. Antisipasi menanggulangi masalah dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 100 ribu per bulan, bukan suatu penyelesaian yang bijaksana dan mendidik.

Karena pengucuran BLT hanya bermain pada tataran perbaikan sementara. Perbaikan daya beli sebagian rakyat, mestinya dilakukan dengan penataan sistem yang bisa menggerakkan perkembangan sektor riil agar bisa berjalan normal. Misalnya dengan membuka lapangan kerja bagi masyarakat, melalui program padat karya. Serta memperbaiki iklim usaha yang kondusif bagi investor domestik maupun asing.

Melihat pengalaman sebelumnya pelaksanaan BLT banyak menimbulkan masalah akibat ketidakakuratan aparatur pemerintah dalam melakukan pendataan bagi mereka yang benar-benar harus dibantu. Hal ini pun nampaknya akan terulang kembali, karena acuan pembagian BLT masih menggunakan data BPS tahun 2005, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kondisi terkini.

Langkah Antisipasi

Mencengah terjadinya spiral inflation sangat penting. Menurut Ernest Hemingway, bahwa selain peperangan, inflasi adalah cara lain untuk menghancurkan suatu bangsa (M. Ikhsan Modjo, 2008). Alasannya, inflasi akan menggerogoti daya beli dan memiskinkan masyarakat. Inflasi juga mengakibatkan transfer kekayaan dari rakyat berpendapatan tetap, yang biasa hidup papa dan merana, ke pemerintah dan golongan kaya secara diam-diam dan tidak kasatmata.

Kesemua ini pada akhirnya berujung pada keraguan, ketidakpastian, serta ketidakpercayaan. Konsumen menjadi ragu antara menabung atau mengonsumsi. Pengusaha menjadi tidak pasti berinvestasi dan memulai usaha. Masyarakat menjadi tidak percaya kepada pemerintah atau sesama. Kondisi yang demikian akan berakibat buruk, bukan hanya pada perekonomian, tetapi juga dinamika dan modal sosial suatu bangsa.

Agar dampak kenaikan BBM tidak meluas menjadi bencana bagi perekonomian nasional serta memicu persoalan dan gejolak sosial yang lebih besar yang dapat membahayakan integritas berbangsa dan bernegara. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis mengantisipasi laju inflasi. Dintaranya menjamin tersedianya kebutuhan sembako, pangan, BBM di masyarakat. Menindak dengan tegas oknum yang melakukan penimbunan barang.

Serta pemerintahan SBY-JK berfokus pada penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Tidak hanya disibukan ritual tebar pesona, sekedar meraih simpati dan sensasi semata. Bukankah demikian ?

Bagaimana pendapat Anda ?

Wednesday, May 14, 2008

PIDATO SBY ISYARAT KENAIKAN HARGA BBM ?

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Progdi Akuntansi dan MM Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta

Dimuat Solopos, Sabtu 03 Mei 2008

Dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan bahwa tahun 2008 tidak akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal itu dinyatakan saat harga BBM internasional mulai merangkak naik, namun belum sampai menembus angka US $ 100 perbarel. Namun nampaknya janji tersebut sangat sulit dipertahankan, mengingat saat ini harga BBM telah menembus angka US $ 114 perbarel.

Harga BBM terus meroket dan sulit dikendalikan. Seiring terjadinya gejolak krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat, yang menyebabkan merosotnya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap mata uang dunia lainnya. Setiap kali dolar jatuh satu persen, harga minyak naik US $ 4 per barel. Sebaliknya saat dolar menguat 10 persen, harga minyak akan turun 40 persen.

Presiden OPEC, Chakib Khelil memprediksi harga minyak dunia, hingga akhir tahun 2008, bisa menyentuh angka US $ 200 per barel. Sangat fantastis. Tetapi prediksi tersebut, tentunya tidak ngawur, pasti sudah melalui perhitungan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Aneh sebagian besar para petinggi negari, belum mampu menangkap signal ini. Sense of ciris nya masih rendah. Sebagai contoh, Direktur Perencanaan Makro Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Prijambodo, menyangsikan hal itu sebagaimana dilansir Koran Tempo, 1 Mei 2008. “Memang harga sulit diprediksi, tapi kalau sampai setinggi itu, kelihatannya tidak mungkin “, ungkapnya.

Dalam kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu ini, SBY nampak mulai gamang dan menghadapi persoalan yang sangat dilematis. Bila harga BBM tidak dinaikkan APBN 2008 bisa jebol. Namun bila harga BBM dinaikan pasti akan timbul gejolak di masyarakat. Dalam kalkulasi, Bambang Soesatyo, Ketua Komite Tetap Bidang Moneter dan Fiskal Kadin Indonesia, setiap kenaikkan BBM sampai US $ 5 perbarel, beban subsidi bertambah Rp 4,2 triliun pada tingkat konsumsi dalam negeri 37 juta kiloliter. Dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) US $ 95 per barel, beban subsidi akan BBM mencapai Rp 130 triliun.

Pemerintah dihadapkan pada dua aternatif pilihan. Membatasi penggunaan atau menaikkan harga. Alternatif pilihan pertama, untuk membatasi pemakaian BBM, pemerintah mewacanakan penggunaan smart card. Namun banyak pihak yang meragukan efektivitas penerapan smart card, karena berpotensi menimbulkan penyimpangan dalam pelaksanaannya. Di samping itu akan memicu permasalahan sosial yang lebih besar di tengah masyarakat. Sebab dengan pembatasan penggunaan BBM, muncul black market. Bila ini terjadi harga BBM menjadi kacau dan tidak pasti, karena dipermainkan para spekulan.

Dalam kondisi seperti ini mestinya pemerintah harus berpikir realistis dan rasional. Harus mengambil sikap yang bijak, namun tegas, yaitu berani menaikkan harga BBM secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan dan daya beli masyarakat. Karena kalau pemerintah terus menunda dan mengulur waktu, sambil berharap harga BBM dunia turun, sama halnya pemerintah sedang menyimpan bom waktu.

Dapat dipastikan trend harga BBM terus akan melambung. Kita pun sadar bahwa, krisis energi tidak hanya melanda Indonesia, namun telah menjadi krisis global. Sehingga pemerintah tidak perlu malu-malu bila akan menaikkan harga BBM. Apabila sebagaian masyarakat, khususnya dunia usaha bisa memahami kondisi ini. Kebijakan menaikan harga BBM, dari kacamata politis, memang tidak populer. Tetapi bila pemerintah tidak mengambil sikap bisa menjadi bumerang terhadap perekonomian nasional. Bisa mengganggu terhadap kelangsungan dunia usaha.

Sampai-sampai para pengusaha ngotot minta BBM dinaikkan (Solopos, 29 April 2008). Dalam pengamatan penulis, sikap ngotot pengusaha tersebut merupakan sejarah baru dan yang pertama kali terjadi. Sebab biasanya pengusaha keberatan bahkan menolak mati-matian terhadap setiap rencana kenaikkan harga BBM. Namun kini yang terjadi justru sebaliknya, mereka terus mendesak pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Langkah ini dilakukan, karena para pengusaha ingin mendapat kepastian terhadap penghitungan komponen biaya produksi.

Kenaikan Tinggal Tunggu Waktu

Saat penulis menyimak pidato presiden SBY, Rabu malam (30 April 2008) di layar TV. Penulis menangkap pidato tersebut, sebagai warning pemerintah untuk mencari pembenar menaikkan harga BBM. Coba kita rasakan dan simak baik-baik. Dalam pidato tersebut presiden SBY, berulang kali SBY meminta pengertian dan meminta dukungan masyarakat, terhadap kebijakan dan langkah-langkah pemerintah dalam menghadapi krisis pangan dan krisis energi.

Memang secara ekspilist tidak disebutkan bahwa pemerintah akan menaikan harga BBM. Tetapi ada semacam sasmita, bahwa pemerintah berencana menaikan harga BBM. Hal ini diperkuat dengan berbagai pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang telah menyiapkan skenario ke arah sana. Berdasarkan rumor dan dokumen yang beredar di kalangan anggota DPR, per 1 Juni 2008, pemerintah berencana menaikkan BBM bersubsidi rata-rata sebesar 28,7 persen (Sindo, 1 Mei 2008).

Skenario kenaikan harga mencakup tiga jenis BBM bersubsidi, yakni premium naik Rp 1.500,00 (33,33 %) menjadi Rp 6.000,00 per liter dari sebelumnya Rp 4.500,00. Solar naik Rp 1.200,00 (27,90 %) menjadi Rp 5.500,00 per liter dari harga saat ini Rp 4.300,00. Minyak tanah naik 25 % dari Rp 2.000,00 per liter menjadi Rp 2.500,00 per liter. Kenaikkan ini diperkirakan berpotensi bisa menghemat anggaran hingga Rp 21,491 triliun.

Dampak Kenaikan BBM

Tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga BBM akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini 3,7% turun dari proyeksi Januari 4,1%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi AS hanya 0,5% tahun ini, turun dari proyeksi awal tahun 1,5%.

Perekonomian Uni Eropa menjadi 1,3% pada 2008, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di 1,6%. Jepang, perekonomian kedua terbesar di dunia, hanya tumbuh 1,4% pada 2008 lebih rendah dari proyeksi Januari 1,5%, sedangkan China masih akan tumbuh 9,3% tahun ini. Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan perekonomian negara di Asia tumbuh 7,6% pada 2008 dan 7,8% pada 2009. Asia mengalami pertumbuhan paling pesat selama dua dekade terakhir pada 2007 dengan rata-rata pertumbuhan 8,7%.

Bagaimana dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia ? Pemerintah dalam RAPBN-P 2008 melakukan perubahan terhadap parameter BBM, yakni mengurangi volume konsumsi BBM dari 39 juta kiloliter menjadi 35,5 juta kiloliter. Selain itu, perubahan parameter BBM juga terjadi dalam Alpha BBM, yakni dari 13,5% (APBN 2008) menjadi 12,5 % (APBN-P 2008). Kondisi makro perekonomian Indonesia dan sektor riil akan terimbas. Inflasi meningkat dan pertumbuhan melambat. Pertumbuhan sektor riil diperkirakan hanya tumbuh antara 5,6-6,1 persen. Rendahnya pertumbuhan berimplikasi pada semakin meningkatnya jumlah pengangguran.

Solusi ke luar dari krisis

Presiden SBY mengakui, masalah yang dihadapi pemerintah saat ini sangat berat. Namun presiden optimis dibalik krisis minyak dan pangan, ada secercah peluang dan berkah bagi bangsa Indonesia. Sepanjang bangsa Indonesia mau memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Diantaranya melalui penghematan penggunaan energi diberbagai aktivitas. “ Bangsa Indonesia tergolong bangsa yang boros. Saya menginstruksikan kepada seluruh kantor dan instansi pemerintah untuk menghemat BBM dan listrik. Termasuk membatasi penggunaan AC, kendaraan dinas, dan kendaraan pribadi, " ungkapnya.
Himbuan tersebut mestinya tidak sekedar menjadi lip service. Dari tingkatan pejabat atas sampai bawah harus berada di garis depan memberikan contoh dan keteladan. Bila bangsa Indonesia memiliki komitmen dan integritas, penulis yakin masa depan bangsa Indonesia akan cerah.

Dua puluh tahun ke depan, seandainya krisis energi kembali melanda dunia, bangsa kita akan merasakan berkah seperti pada tahun 1970-an. Mengapa demikian ? Karena sumber daya alam (SDA) kita masih sangat kaya dan belum dieksplorasi secara optimal. Dari hasil survei BPPT bersama Bundesanspalp fur Geowissnschaften und Rohftoffe (BGR Jerman), telah diketamukan migas di perut bumi kawasan perairan timur laut Pulau Simeuleu, Provinsi Aceh. Jumlahnya sungguh fantastis; 107,5 hingga 320,79 miliar barel. Melebihi jumlah energi BBM yang dimiliki oleh Arab Saudi saat ini. Namun, hal itu akan terwujud dan tidak sekedar menjadi impian, bila bangsa Indonesia mampu mengelolanya.

Bukankah demikian ?

Saturday, April 19, 2008

MENYOAL RENCANA KENAIKKAN TARIF AIR MINUM


Artikel dimuat Solopos, 15 April 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Rencana Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Surakarta untuk menaikkan tarif air minum yang dilontarkan pekan lalu lewat media masa mendapatkan reaksi penolakan yang cukup keras dari anggota dewan dan elemen masyarakat. Umumnya masyarakat menuntut sebelum tarif dinaikkan, PDAM harus lebih dahulu meningkatkan pelayanannya. Masyarakat sering mengeluhkan pelayanan PDAM belum optimal, khususnya dalam penyediaan air bersih. Disebagian wilayah pasokan sering ngadat dan airnya sangat keruh serta berbau. Hal ini didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota (DKK) yang menyimpulkan bahwa 39,79 % air yang disalurkan PDAM tak layak konsumsi (Solopos, 11 April 2008).

Namun nampaknya, penyebab penolakan tidak hanya semata-mata masalah pelayanan PDAM terhadap masyarakat. Menurut pengamatan penulis faktor makro ekonomi dan kondisi psikologis masyarakat juga sangat mempengaruhi. Kondisi perekonomian nasional yang nampak lesu dan melemah dan lonjakan kenaikkan harga sembako, BBM, listrik, transportasi telah berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat, khususnya masyarakat bawah. Dalam kondisi yang serba sulit ini, sangatlah wajar bila masyarakat menolak rencana kenaikkan harga tarif air minum, walaupun rencana itu baru sebatas wacana.

Apalagi rencana kenaikkan tarif yang akan diberlakukan cukup tinggi. Menurut Direktur Tehnik PDAM Surakarta, Sudiyanto, tarif air minum yang semula Rp 1.100,00 per meter kubik, akan dinaikkan menjadi Rp 1.750,00 per meter kubik (Solopos, 10 April 2008). Bila dibuat presentase kenaikkannya mencapai sekitar 60 persen. Tentunya ini bukan merupakan angka yang kecil bagi masyarakat.

DIPERSIMPANGAN JALAN

Disisi lain PDAM juga dihadapkan pada persoalan yang hampir sama dan sangat dilematis. Dengan melambungnya harga barang, maka komponen biaya produksi juga mengalami kenaikkan yang cukup signifikan. Agar tetap bisa bertahan dan menjalankan kegiatan operasional, PDAM harus menyesuaikan diri, salah satu alternatif yang paling gampang adalah menaikkan tarif.

Memang PDAM sebagai salah satu BUMD perannya di era otonomi daerah saat ini sangat berat dan ambigu. Menyandang peran ganda yang kontradiktif. Di satu sisi dituntut menjadi public service yang berorientasi sosial, namun di sisi lain sebagai perusahaan yang pengelolaan asetnya dipisahkan, harus bisa menjadi perusahaan layaknya organisasi bisnis lainnya, kinerja terukur dan dikelola secara profesional. Salah satu indikator ukuran kinerjanya adalah seberapa besar PDAM mampu berkontribusi ke Pendapat Asli Daerah (PDA).


Dalam pengamatan penulis ada tiga persoalan pelik yang saat ini dihadapi PDAM. Pertama, menyangkut Sumber Daya Manusia (SDM), dari segi kuantitas tidak ada masalah, bahkan boleh dikatakan jumlahnya terlalu banyak, namun mereka umumnya tidak memiliki ketrampilan dan kompetensi yang memadai, serta etos kerja masih rendah. Dalam melaksanakan pekerjaan cenderung mengandalkan pola kerja yang rutin dan monoton.

Kedua, menyangkut aspek menejerial. Pola manajemen yang digunakan sebagian besar masih pola manajemen tradisional yang birokratis. Hal ini wajar, karena tata pola kerja BUMD mengacu kepada Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU Nomor 6 tahun 1969. Semangat dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa direksi dan mayoritas pegawai PDAM merupakan bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi pemerintah daerah, sehingga pengelolaan BUMD dalam prakteknya mirip dengan pengelolaan lembaga birokrasi. Akibatnya, dalam banyak kasus, manajemen BUMD kurang memiliki independensi dan fleksibilitas untuk melakukan inovasi usaha guna mencapai tujuan organisasinya.

Ketiga, menyangkut penghitungan dan penentuan tarif. Menghitung dan menentukan tarif merupakan masalah yang sangat komplek, karena tidak hanya mendasarkan pada perhitungan secara ekonomi, namun juga mempertimbangkan aspek sosial dan politis. Umumnya tarif air minum yang ditetapkan PDAM di Indonesia saat ini lebih rendah dari biaya produksi.

PENENTUAN TARIF

Masalah penetapan besaran tarif air sering menjadi komoditas politis bagi kalangan legislatif, LSM, dan elemen masyarakat lainnya, yang sering kali mengganjal dan menolak kenaikkan dengan alasan membela rakyat, tanpa melakukan kajian secara mendalam. Padahal bila kita jeli dan kritis menganalisis melarang PDAM menaikkan tarif, menurut pendapat, Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Ditjen Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, Eko Subowo, sama saja kita hanya membela kelompok masyarakat mampu (baca: kaya). Kelompok masyarakat yang belum terjangkau pelayanan (baca: miskin), justru tidak menikmati subsidi sama sekali. Setiap hari mereka membeli air minum dengan harga Rp 500,00 hingga Rp 2000,00 perjerigen, yang berarti 50 kali lebih mahal dari tarif PDAM.

Menghitung tarif air minum memang tidak mudah, ada beberapa model pendekatan. Umumnya PDAM di Indonesia dalam menghitung tarif mengacu kepada Permendagri No. 23 tahun 2006 yang menggunakan pendekatan full cost recovery. Prinsip ini mengandung misi bahwa PDAM diharapkan mampu menghasilkan pendapatan tarif yang nilai minimalnya dapat menutupi seluruh biaya operasional (biaya penuh). Dengan ketentuan pendapatan minimal tersebut, PDAM diharapkan mampu mempertahankan dan meningkatkan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanannya kepada masyarakat.

Dalam Permendagri juga diatur bahwa penghitungan dan penentuan tarif harus melibatkan stakeholder, diantaranya Pemda, Legislatif, Lembaga Konsumen, dan Perguruan Tinggi. Bila dikomunikasikan dengan baik dan transparan tentunya masyarakat akan bisa memahami dan menerimanya.

Dari sudut pandang akuntansi, metedo full cost sebenarnya terdapat kelemahan diantaranya metode ini tidak bisa dengan tepat menelusuri biaya apa saja yang seharusnya ditanggung oleh konsumen. Akibatnya bila terjadi ketidak efisienan dalam pengelolaan menjadi beban konsumen. Di samping itu metode ini juga tidak bisa untuk mengukur seberapa baik kinerja manajemen dalam menjalankan kegiatan.

Untuk saat ini metode full cost, merupakan metode yang paling sederhana dan paling gampang dilaksanakan. Namun idealnya penghitungan tarif ke depan, seiring dengan perbaikan pola manajemen dan sistem informasi yang di bangun, seharusnya menggunakan metode ABC (Activity Base Costing).

Lalu bagaimana sebaiknya kita mensikapi rencana kenaikkan tarif tersebut ? Bagaimana pun kita harus rasional dan mensikapinya dengan jernih. Menurut, Viktor Sihite (2007) biaya produksi rata-rata air secara nasional berkisar Rp 1.800,00 per meter kubik, tetapi harga jual rata-rata Rp 1.500,00. Bila kita mengacu data di atas sebenarnya rencana PDAM Surakarta menaikkan tarif dari Rp 1.100,00 menjadi Rp 1.750,00 masih tergolong wajar. Persoalannya adalah kenapa kenaikkannya langsung secara dratis ? Tidak bertahap ? Di saat hampir semua harga komoditas barang melambung tinggi.

Bila akhirnya PDAM bersikukuh menaikkan tarif, sebagai konsumen tentunya kita pun berhak meminta komitmen jajaran PDAM Surakarta untuk meningkatkan pelayanan dan mengelola PDAM secara sehat, transparan, akuntabel dan profesional. Bukankah demikian ? Bagaimana pendapat Anda ?


Monday, January 21, 2008

SEMINAR PENDIDIKAN PONPES AL MUKMIN

dimuat harian Solopos, 22 Januari 2008

Kamis, 17 Januari 2008, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, bertempat di Gedung Mahad Aly, Komplek Ponpes Al Mukmin, menyelenggarakan seminar pendidikan dengan mengangkat tema: " Membangun Sumber Daya Insani untuk Mewujudkan Lembaga Islam yang Berkualitas". Seminar diikuti oleh para ustadz dan ustadzah dilingkungan ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo. Acara seminar dibuka oleh Direktur Ponpes Al Mukmin, Ustadz KH. Wahyudin.

Dalam kata sambutannya beliau menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran metode lebih penting daripada materi, namun ada yang lebih penting lagi daripada metode yaitu faktor manusia atau guru. Untuk itu diharapkan agar para ustadz dan ustandzah mau untuk membuka diri terhadap perubahan. Seluruh upaya untuk memperbaiki pendidikan dan pembelajaran kesemuanya harus bermuara pada nilai-nilai agama yaitu Al Quran dan Sunah Nabi.

Tampil sebagai pembicara adalah Dekan FKIP UNS, Prof.Dr. H. Furqon Hidayatulloh, Ph.D menyampaikan materi " Profil dan Ciri-ciri Lembaga Pendidikan Islam yang Berkualitas " dan Staf Pengajar Pasca Sarjana MM dan Progdi Akuntansi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, menyampaikan materi " Membangun Sumber Daya Insani Unggul ".

Solo, 18 Januari 2008
Realese disampaikan oleh

Drs. Suharno, MM, Akuntan
Hp. 0813. 295. 117. 45