Tuesday, January 1, 2008

PREDIKSI EKONOMI 2008: SEKTOR RIIL JALAN DI TERMPAT

Artikel Dimuat di Harian Solopos, Senin 02 Januari 2008

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen dan Program Studi Akuntansi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Seakan telah menjadi tradisi setiap menyongsong tahun baru, tidak terkecuali tahun 2008. Selalu terbesit ingin mengetahui bagaimana peruntungan dan nasib kita ? Lebih baik ataukah lebih buruk ? Khususnya yang menyangkut kehidupan dan penghidupan dalam sendi ekonomi.

Apabila kita jujur, menghadapi tahun 2008, sebagian besar masyarakat, masih dihantui dan diliputi rasa dag dig dug, sambil berharap-harap cemas. Mengingat kondisi dan situasi perekonomian di tahun 2007 di sektor riil dirasakan sangat berat. Harga sembako yang semakin melambung, sehingga tidak terjangkau masyarakat. Berakibat semakin rendahnya daya beli masyarakat. Walaupun dalam hitung-hitungan di atas kertas indikator perekonomian 2007, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi dan suku bunga perbankan versi pemerintah menunjukkan tanda-tanda positif.

Seperti apa kondisi dan potret perekonomian Indonesia 2008 ? Menurut catatan penulis ada tiga pandangan dalam mensikapi dan memprediksi perekonomian Indonesia 2008.

Pandangan pertama, optimis yakni pemerintah. Wajar apabila pemerintah berpandangan optimis bahkan sangat optimis menghadapi tahun 2008. Dalam kerangka untuk menarik simpati masyarakat, karena pilpres tahun 2009 sudah di depan mata. Dalam versi pemerintah pertumbuhan ekonomi 2008 akan mencapai 6,8 persen lebih tinggi bila dibandingkan tahun 2007 yang hanya 6,3 persen.

Dengan pertumbuhan sebesar itu diharapankan bisa membuka lapangan kerja dan menurunkan angka pengangguran. Pandangan optimis ini juga didukung oleh Bank dunia yang memuji perekonomian Indonesia telah berada di on track. Pertumbuhan ekonomi 2008 versi Bank Dunia diprediksi membaik dari 6,2 menjadi 6,4 persen.

Pandangan kedua, pesimis. Pandangan pesimis umumnya berasal dari kalangan pelaku dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Hampir sebagian besar masyarakat saat ini tidak percaya dan meragukan dengan angka-angka dan data tentang indikator ekonomi yang dipublikasikan pemerintah. Sebab mereka lebih melihat pada realitas di lapangan. Masyarakat kecil, khususnya wong cilik kehidupan dan kesejahteraan tidak ada perubahan sama sekali. Bahkan merasakan kehidupan yang semakin serba sulit. Untuk mencukupi kebutuhan mendasar yang layak saja mereka tidak mampu.

Menurut, Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph. D, Kepala Departemen Ekonomi FE UGM sebagaimana yang dilansir oleh harian Suara Merdeka, 22 Desember 2007, kebijakan pemerintahan SBY selama tiga tahun terakhir, di atas kertas sepintas memang telah membawa perubahan signifikan bagi kemajuan ekonomi. Angka pencapaian pertumbuhan sebagai indikator keberhasilan pembangunan ekonomi tumbuh menyakinkan, rata-rata di atas 5 persen.

Namun angka pertumbuhan tersebut terkesan sangat rapuh, karena hanya dinikmati oleh 40 persen golongan menengah dan 20 persen golongan terkaya. Sementara 40 persen golongan termiskin yang nota bene adalah wong cilik, tidak menikmati sama sekali, justru semakin miskin. Kualitas pertumbuhan relatif rendah. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi “ belum on the right track”. Hal senada juga diungkapkan IMF bahwa perekonomian Indonesia 2008 hanya tumbuh 6,1 persen lebih rendah dari APBN 2007 yang sebesar 6,3 persen.

Pandangan Ketiga, moderat, berasal dari kalangan akademisi. Umumnya akademisi memprediksi kondisi perekonomian Indonesia akan stabil bahkan bisa meningkat sepanjang asumsi-asumsi tertentu dipenuhi. Misalnya harga minyak dunia tidak melambung, program dan kebijakan pemerintah di sektor moneter dijalankan dengan konsisten, pemerintah melakukan reformasi birokrasi dengan sungguh-sungguh.

Dari ketiga pandangan tersebut, baik tersurat dan tersirat memiliki benang merah yang sama. Bahwa perekonomian di tahun 2008, khususnya di sektor riil masih menghadapi tantangan dan kendala yang berat. Semua pihak, baik pemerintah maupun pelaku dunia usaha masih harus bekerja keras dan memiliki komitmen yang sama untuk kembali bangkit dari keterpurukan ekonomi.

Pertumbuhan Semu.

Pemerintahan SBY hendaknya tidak hanya melakukan strategi komunikasi tebar pesona melalui publikasi aspek moneter yang serba manis. Sebab dengan pendekatan sektor moneter semata, yang sekedar mengamankan APBN, tidak akan berdampak secara langsung dan signifikan pada sektor riil. Kita semua tentunya merasakan bahwa kenyataan di lapangan kondisi perekonomian masih carut marut.

Pertumbuhan yang nampak tinggi, sebenarnya lebih didorong oleh konsumsi pemerintah. Dengan demikian angka pertumbuhan yang tinggi tersebut, di atas angka enam persen, sebenarnya merupakan pertumbuhan yang semu. Pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas. Indikatornya angka pengangguran masih tinggi, karena investasi yang dilakukan bertumpu pada padat modal dan tehnologi.

Dalam pandangan penulis, kondisi perekonomian 2008 belum begitu mengembirakan. Bila dianalogkan, ibaratnya mendung masih menggelayut dan cuaca belum berasahabat. Sewaktu-waktu bisa terjadi hujan lebat yang disertai badai puting beliung. Ancaman terbesar berasal dari faktor eksternal yaitu kenaikkan harga minyak mentah dunia.

Patokan harga minyak dalam RAPBN 2008 60 dolar perbarel masih terlalu rendah. Idealnya dipatok pada kisaran 60-75 dolar perbarel. Karena harga pasar saat ini masih bertengger di atas 90 dolar perbarel. Selisih yang cukup besar bisa membahayakan perekonomian Indonesia. Bila subsidi BBM membengkak, sehingga defisit anggaran semakin besar. Tidak ada pilihan lain pemerintah pasti akan menaikkan haga BBM.

Kenaikan harga BBM dalam negeri akan memukul sektor riil. Karena BBM merupakan kebutuhan vital dan mendasar dalam dunia industri dan transportasi. Dampak kenaikkan BBM memicu tingginya angka inflasi. Akhirnya daya beli masyarakat semikin makin melemah hingga titik nadir. Perusahaan pun banyak yang gulung tikar dan PHK pun tidak terelakkan.

Pemerintah sebagai Tumpuan.

Dalam kondisi yang demikian, satu-satunya tumpuan untuk mampu menggerakkan sektor ekonomi saat ini hanya ada di tangan pemerintah. Sebab hanya pemerintah yang memiliki sumber pendanaan. Namun sayangnya dalam tiga tahun pemerintahan SBY penyerapan anggaran tidak bisa maksimal.

Faktor penghambat antara lain adalah proses penyusunan penganggaran yang tidak tepat waktu. Karena terlalu lama dibahas ditingkat eksekutif dan legislatif. Akibatnya hampir seluruh program dan kegiatan ditumpuk pada akhir tahun.

Faktor lain adanya ketakukan pihak eksekutif dalam menjalankan program dan kegiatan terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menjadikan APBN/APBD sebagai stimulus ekonomi untuk menggerakkan sektor riil. Kebijakan pemerintah yang tidak memberikan stimulasi pada peningkatan daya beli masyarakat dan membuka lapangan kerja, sebenarnya sangat disayangkan. Terkesan pemerintah hanya cari amannya saja.

Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah menyangkut perilaku kebijakan birokrasi yang cenderung lebih memihak pada kaum kapitalis. Indikatornya adanya distribusi yang tidak adil dan seimbang. Aset negara banyak yang jatuh ke swasta dengan alasan meningkatkan efisiensi anggaran dan mencar pajak yang lebih besar.

Perilaku tersebut sebenarnya sangat jauh menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 yang menganut paham demokrasi ekonomi yang sekarang popular dengan istilah ekonomi kerakyatan. Sekedar menjadi lip service dan retorika politik semata.

Kita semua berharap dan berdoa tahun 2008 lebih baik dari 2007. Namun bila hal-hal mendasar di atas tidak segera diperbaiki dan dibenahi penulis memiliki keyakinan tahun 2008 sektor riil masih akan jalan ditempat. Bahkan tidak menutup kemungkinan berjalan mundur ke belakang. Seperti undur-undur. Bagaimana pendapat Anda ?

No comments: