Tuesday, January 1, 2008

MALL PRAKTEK KOPERASI SILUMAN BERWATAK KAPITALIS

Artikel dimuat di Tabloid Retal, Edisi III, Nopember 2007

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Pasca Sarjana Magister Manajemen dan Ketua Pengawas Koperasi Universtas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Mencuatnya kasus dugaan penggelapan dana masyarakat dan penyimpangan pengelolaan koperasi diwilayah hukum Surakarta awal bulan September merupakan cerminan fenomena puncak gunung es. Kejadian mal praktek tersebut nampaknya tidak hanya terjadi di Koperasi Manunggal Utama Karya dan Manunggal Sejati saja. Namun juga terjadi di banyak koperasi yang lain. Hanya saja kebetulan, saat ini yang terekspose ke media massa baru kedua koperasi tersebut.

Kenapa saya berani mengatakan demikian ? Coba kita amati dan cermati. Betapa pesatnya pertumbuhan jumlah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dalam dua tahun terakhir ini. Bak cendawan di musim hujan. Hampir disetiap ruas jalan di kota Solo berdiri KSP. Menurut data resmi dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil (UKM) Solo, selama paruh tahun 2005 saja, pertumbuhan KSP telah mencapai 5 %.

Namun anehnya mereka mampu menguasai 50 % asset dan omzet dari keseluruhan jenis koperasi yang ada. Dari sini saja sebenarnya kita sudah bisa menduga. Pasti ada yang tidak beres. Bila pertumbuhan 5 % menguasai 50 % omzet dari seluruh koperasi yang ada, maka dapat dipastikan, KSP-KSP baru tersebut diback up oleh kalangan pemodal besar (kaum kapitalis).

Bila kita tidak jeli mengamati, sekilas tampaknya perkembangan ini sangat mengembirakan dan positif. Seolah-olah kesadaran masyarakat berkoperasi telah meningkat. Padahal anggapan tersebut tidak seluruhnya benar. Malah pantas kita curigai, karena pertumbuhannya nampak tidak wajar. Sebab yang banyak bermunculan hanya KSP, selain KSP pada saat yang bersamaan banyak koperasi yang justru gulung tikar.

Sejak awal sebenarnya saya telah menyarankan agar pertambahan jumlah KSP diwaspadai dan terus dimonitor secara pro aktif oleh seluruh elemen masyarakat. Utamanya Dinas Koperasi sebagai pihak yang paling kompeten. Karena ada sinyalemen yang cukup kuat. Pendirian KSP dilakukan oleh para pemodal besar. Bukan dari anggota untuk anggota. Bukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota. Tetapi hanya digunakan sebagai alat kepentingan pribadi untuk meraup keuntungan semata.

KOPERASI SILUMAN

Koperasi hanya dijadikan topeng atau kedok dan digunakan untuk berlindung dari urusan legitimasi dan regulasi. Koperasi semacam inilah yang populer disebut sebagai ” Koperasi Siluman ”. Wadahnya koperasi namun ruhnya kapitalisme. Tidak memiliki jati diri sebagai koperasi yang sesungguhnya.

Mengapa muncul banyak koperasi siluman ? Karena untuk mendirikan KSP syarat dan prosedurnya sangat mudah. Cukup mengumpulkan nama dan foto copy 20 orang sebagai anggota pendiri dan mengumpulkan modal Rp 15 juta sudah bisa mendirikan koperasi primer. Peluang inilah yang dimanfaatkan dan ditangkap para pemilik modal besar untuk memutarkan modalnya. Mereka lebih suka memilih mendirikan KSP dibandingkan mendirikan bank, karena tiga alasan.

Pertama, mendirikan koperasi lebih mudah dan sangat sederhana. Masih ditambah sering mendapat fasilitas kemudahan dari pemerintah. Misalnya dalam hal: persyaratan, prosedur, permodalan dan aspek perpajakan lebih ringan serta tidak begitu njlimet bila dibandingkan mendirikan bank.

Kedua, mendirikan KSP profit marginnya lebih besar bila dibandingkan dengan deposito di bank. Deposito tingkat bunganya saat ini hanya berkisar 9 % pertahun. Bila diputar di KSP bisa mendapat bunga minimal 24 % pertahun.

Ketiga, pasar KSP sangat potensial dan prospeknya lebih menjanjikan, karena membidik dan melayani segmen masyarakat menengah ke bawah. Apalagi saat ini kondisi perekonomian yang masih lesu, akibatnya banyak masyarakat kesulitan memperoleh modal segar. Pilihan pintas untuk memperoleh moda adalah KSP. Mudah persyaratannya, tidak berbelit-belit dan cepat pelayanannya.

Tidak aneh bila akhirnya orang berlomba-lomba mendirikan KSP. Walaupun mereka tidak memahami visi dan missi KSP. Ironisnya tindakannya justru berseberangan dan berlawanan dengan asas dan semangat koperasi. Sebagaimana yang diimpikan dan diidamkan oleh Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta. Dan diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33.

Seandainya Bung Hatta masih hidup pastilah beliau akan prihatin dan mungkin malah menangis melihat KSP yang menjamur saat ini. Sebab dalam kegiatan operasional banyak KSP yang berpraktik seperti lembaga perbankan. Kegiatan tersebut jelas-jelas melanggar ketentuan perundang-undang, khususnya UU No 07/1992, tentang perbankan. Dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa ijin diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 10 milyar.

Dengan tegas dan jelas disebutkan pula, salah satu lembaga yang tidak boleh menghimpun dana langsung dari masyarakat adalah koperasi. Sebagaimana diatur dalam ayat (2) sebagai berikut: dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau KOPERASI.

Bila ketentuan tersebut dilanggar maka sanksi atau hukuman dapat dijatuhkan pada mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

KESANNYA DIDIAMKAN

Selain melanggar undang-undang perbankan, bertindak sebagai bank gelap, KSP yang model begini sering kali mengenakan bunga yang mencekik. Tidak ubahnya seperti renteneir. Namun kesannya apa yang dilakukan oleh KSP ” nakal ” ini didiamkan oleh pemerintah, khususnya Dinas Koperasi. Aparat berwajib pun baru bertindak bila kasus mencuat telah kepermukaan.

Pertanyaannya siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan dan tugas untuk mencegah dan menindak penyimpangan ini ? Menurut pendapat saya, Dinas Koperasi lah yang memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Sebab dari sanalah ijin operasional KSP dikeluarkan.

Namun selama ini Dinas Koperasi dalam mengeluarkan ijin operasional KSP hanya sekedar menyandarkan kepada terpenuhinya persyaratan dan prosedur administratif normatif. Cenderung formalitas. Tanpa melakukan verifikasi lapangan yang memadai, menyangkut kebenaran validitas nama-nama anggota yang diajukan dan sumber modal yang digunakan. Hanya sebatas ada tidaknya foto copy KTP.

Tugas pembinaan rutin yang dilakukan sering kali baru sebatas pendataan jumlah koperasi dan pelatihan-pelatihan yang bersifat proyek. Ke depannya Dinas Koperasi mestinya lebih pro aktif dan sensitif dalam melakukan memonitoring. Bila tidak, maka dapat dipastikan semakin banyak korban yang berjatuhan. Dampaknya citra koperasi pun akan semakin terpuruk di tengah masyarakat.

Padahal Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap keberadaan dan perkembangan koperasi di Indonesia. Saat memberikan sambutan Hari Koperasi Nasional (Harkopnas) Ke-58 di Gedung Sate, SBY pernah mengingatkan dan menginstruksikan agar ada upaya pencegahan terhadap penyalahgunaan koperasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Bila Dinas Koperasi merasa tidak memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap koperasi lalu lembaga mana yang akan melakukannya ? Apakah Bank Indonesia (BI) ? Jelas tidak ! Tugas BI sebagai mana diatur dalam Undang-undang No. 07 tahun 1992 tentang perbankan, pasal 29 ayat 1 adalah sebatas melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dunia perbankan.

Kita semua berharap koperasi ke depannya bisa benar-benar menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Soko guru yang kuat dan kokoh. Bukan sekedar soko pelengkap yang gapuk, rapuh dan mudah roboh. Dengan satu syarat, pemerintah tegas melaksanakan law enforcement terhadap perundangan dan peraturan yang berlaku. Bukankah demikian ?

No comments: