Tuesday, January 1, 2008

HARAPAN PENEGAKAN HUKUM TAHUN 2008 " HUKUM BERKEADILAN "

Oleh : Prof.Dr. Teguh Prasetyo,S.H.,M.Si.[1]

Tahun 2008 sebentar lagi akan kita jalani, berbagai harapan tentang tatanan kehidupan yang lebih baik tentu muncul di tahun baru tersebut, perbaikan ekonomi, pertumbuhan ekonnomi mikro maupun makro, makin berkurangnya pengangguran, makin tertibnya kehidupan dalam masyarakat dan penegakan hukum yang makin mantap dan adil. Kalau kita cermati sejak reformasi bergulir sekitar 10 tahun yang lalu para tokoh reformasi dan pemerintah telah bertekad mengembalikan supremasi hukum dalam praktek penyelenggaraan negara, langkah ini dianggap tepat karena praktek rezim sebelumnya telah menumbuh suburkan praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) yang sudah mengakar, sehingga tidak mengherankan kalau berdasarkan survai yang dilakukan oleh Tranparency Internasional, sebuah lembaga swadaya internasional anti korupsi yang bermarkas di Jerman Indonesia termasuk jajaran Negara paling korup di dunia, sebutan yang tidak mengenakkan tetapi realitanya demikian.

Dalam perjalannya, ternyata semangat reformasi yang menggema tidak sanggup memberantas praktek KKN secara tuntas, meskipun kita akui terdapat berbagai kemajuan dalam penegakan hukum. Kemajuan yang telah dicapai dibentuknya lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peradilan anti korupsi (Tipikor), munculnya berbagai lembaga pengawas anti korupsi, berbagai peraturan penanganan korupsi seperti INPRES tentang percepatan penanganan korupsi, banyak pejabat negara mulai bupati, gubernur, mantan menteri, mantan presiden, politisi, birokrat berurusan dengan hukum dan ada yang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana. Mereka yang sudah ditetapkan sebagai terdakwa dinon aktifkan sementara dari jabatannya hal ini untuk obyektifitas pemeriksaan Kondisi ini tidak terdapat dalam rezim sebelumnya, kalau ada pejabat yang diguna korupsi penawar hukumnya yang membebaskan dari tuduhan tersebut telah disiapkan yaitu tindakan mereka bukan korupsi tetapi salah prosedur, jadi masuk dalam ranah hukum admistrasi negara bukan hukum pidana.

Kemajuan – kemajuan ini ternyata tidak banyak membawa perubahan yang signifikan sebutan sebagai negara terkorup masih kita sandang, banyak kasus korupsi, illegal logging, money luandring, BLBI yang merugikan keuangan negara trilyun nan rupiah belum bisa ditangani dengan tuntas,bahkan muncul kesan di dalam masyarakat bahwa dalam penanganan tindak pidana korupsi pemerintah terkesan tebang pilih. Penangan yang belum tuntas dalam pemberantasan korupsi tersebut yang menjadikan masyarakat apatis dan menjadi tidak percaya lagi terhadap hukum, kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya kasus korupsi yang dijatuhi pidana ringan bahkan ada pula yang diputus bebas jadi peradilan sulit untuk diprediksi (lact of predictability).

Penegakan Hukum Yang Diharapkan

Ketika kita sudah bertekad melaksanakan supremasi hukum, hukum harus dijadikan panglima yang mampu mengatasi semua permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalamnya penanganan tindak pidana korupsi. Suatu negara yang ingin berhasil melaksanakan pembangunannya salah satu persyaratannya kekuasaan yudikatif yang merdeka, bebas dan tidak memihak, kuat, hanya dengan kekuasaan yudikatif yang powerful, maka semua praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) akan dapat ditekan sehingga korupsi tidak bisa tumbuh subur lagi ditengah – tengah praktek penyelenggaraan negara.

Arah penanganan korupsi harus memakai skala prioritas dan bersifat terbuka (akuntabilitas) dimulai dari penanganan korupsi kelas kakap, penangannya tidak pandang bulu siapa yang terlibat harus diproses dalam hukum, pengadilan nanti yang menentukan salah tidaknya perbuatan mereka. Target dari penanganan tindak pidana korupsi pengembalian kerugian negara yang diakibatkan dari perbuatan korupsi tersebut dan penjatuhan pidana yang berat yang dapat membuat jera bagi yang bersangkutan dan mempengaruhi orang lain untuk tidak berbuat korupsi jadi penanangan korupsi yang tegas bisa berefek represif dan preventif.

Dalam rangka obyektifitas penanganan korupsi tim majelis hakim bisa ditambah dari tiga menjadi lima dengan komposisi tidak semua dari hakim kariel tetapi juga dari hakim nonkariel atau hakim ad hoc, yang jumlahnya lebih banyak dari hakim non kariel. Persoalannya sekarang siapkah para penegak hukum kita memperbaiki citra badan peradilan yang sudah buruk ini?, kalau kita selalu mendasarkan pada teori saja upaya perbaikan citra tersebut terasa sulit karena hanya berangan angan saja, tetapi kalau pola pikir kita (mind set) telah berubah dan bertekad untuk memperbaiki citra, kami yakin tidak begitu lama citra badan peradilan bisa ditingkatkan dan orang bisa menaruh kepercayaan pada badan peradilan itu. Oleh sebab itu penegak hukum sebagai individu dan institusi yang otonom harus mempunyai kemandirian, krieativitas, kearifan, moralitas dalam menjalankan hukum untuk mencapai keadilan.

Membangun Paradikma Hukum Berkeadilan

Hukum dan penegakan hukum diharapkan mampu mengatasi dan mengamputasi persoalan korupsi di Indonesia yang sudah terbilang akut dan kronis. Agar hukum tidak dilecehkan atau dicemooh hukum harus berwibawa artinya hukum dapat menuntaskan persoalan yang dihadapi dan dapat memberikan putusan yang adil. Kenyataannya belum sepenuhnya penegakan hukum mampu menuntaskan persoalan yang krusial tersebut, penanganan korupsi masuh berlarut – larut, putusan, uang denda dan pengganti kerugian negara masih jauh dibawah kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan korupsi , menyiasati persoalan tersebut penulis mencoba mengusulkan konsep hukum berkeadilan.

Dalam hukum berkeadilan hendaknya kita jangan terjebak dalam rutinitas penanganan perkara, harus bisa mengkaji secara cermat kasus perkara yang sedang ditangani, alat – alat bukti yang ada, barang – barang bukti yang ditemukan, rumusan dakwaan yang cermat dan teliti dan tuntutan yang sesuai dengan akibat perbuatan yang ditimbulkannya. Kesemua proses tersebut harus dengan mendasarkan pendekatan ilmu dan ilmu pengetahuan, mendengarkan reaksi dan tuntutan masyakat, konvensi internasional, pendek kata pendekatan yang digunakan tidak boleh bersifat tertutup melainkan terbuka.

Pendekatan terbuka dan bersifat lintas bidang merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan mengingat persoalan hukum tidak bisa bersifat stiril bebas nilai, namun kenyataannya banyak faktor – faktor yang perlu diperhatikan. Sebetulnya faktor – faktor diluar hukum sudah dikenal dan dipertimbangkan hakim sebelum menjatuhkan putusannya, yakni faktor – faktor yang memperberat hukuman dan faktor – faktor yang memperingan hukuman. Namun kedua faktor tersebut belum bisa untuk dijadikan unsur yang representatif untuk terbentuknya hukum berkeadilan.

Hukum berkeadilan merupakan target yang akan diujudkan, karena merupakan target maka diperlukan proses untuk mewujudkannya, proses ini yang merupakan proses peradilan pidana dimulai dalam tahap penyelidikan, penyidikan, pra penuntutan, penuntutan, pemeriksaan dalam siding pengadilan dan pelaksanaan hukuman. Proses peradilan pidana mengacu asas cepat, sederhana dan biaya murah. Asas ini hendaknya diwujudkan dan menjiwai proses peradilan pidana yang mempunyai rangkaian penanganan perkara berjenjang dan sangat panjang.

Paradikma hukum berkeadilan menempatkan hukum untuk mencari hakekat kebenaran yang hakiki (tidak kebenaran semu, atau kebenaran yang dibuat), menempatkan hukum di atas kepentingan pribadi, golongan, bersifat terbuka dalam arti menerima input – input dari masyarakat, konvensi internasional, hasil – hasil seminar, penelitian, melihat reaksi masyarakat serta mendasarkan pada pengetahuan dan ilmu pengatahuan yang terus berkembang maju. Pelaksanan hukum yang mampu menyerap dengan baik unsur – unsur di atas tersebut keputusan yang akan diambilnya lebih mencerminkan keadilan yang ada dalam masyarakat. Hukum dan pelaksana hukum harus dekat dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan reaksi di dalam masyarakat.

Hukum berkeadilan merupakan sistem, maka upaya untuk mewujudkannya merupakan kerja keras kita semua, masing – masing aparat penegak hukum harus mempunyai tekad yang sama untuk menegakan hukum dan keadilan, tumbuhnya tekad ini sebagai upaya membangun visi penegakan hukum yang sama diantara aparat penegak hukum sehingga terdapat satu gerak langkah dan sikap dalam upaya menciptakan keadilan. Terwujudnya keadilan yang adil suatu pekerjaan yang tidak gampang, karena terhadap putusan yang telah dijatuhkan adalah adil bagi seseorang belum tentu adil bagi orang lain. Mewujudkan keadilan adalah mewujudkan cita – cita yang abtrak kedalam peristiwa yang kongkrit.

Upaya untuk mewujudkan hukum berkeadilan dimulai dari membangun sikap mental diantara aparat penegak hukum, sikap yang mau keluar dari rutinitas kerja yang bersifat tertutup, sikap untuk terus mengikuti perkembangan pengetahuan dan ilmu pengetuhan yang terus berkembang maju (kalau perlu dituntut studi lanjut dalam jenjang Strata 2 maupun Strata 3), dalam rangka mencari kebenaran yang hakiki perlu dikembangkan sikap mau menempatkan kepentingan hukum di atas kepentingan pribadi dan golongan. Penanganan perkara harus bersifat terbuka dan akuntabilitas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengikuti perjalanan perkara yang sedang ditangani hal ini mengingat sering terjadi persepsi yang berbeda antara masyarakat dan penegak hukum. Masyarakat menganggap setiap perkara yang dilaporkan adalah perkara pidana dan terdakwanya harus dihukum seberat – beratnya dan uang yang dikorupsi harus juga dikembalikan pada negara. Pandangan masyarakat yang demikian itu membawa konsekuensi penanganan perkaranya harus cepat dan terdakwanya dihukum berat.

Padahal laporan masyarakat dengan data pendukungnya belum tentu semua menjadi alat bukti dan barang bukti yang mempunyai nilai hukum. Laporan masyarakat sebagai petunjuk awal tentang tindak pidana yang dilanggar dan segera ditindaklanjuti dengan pengumpulan alat bukti, barang bukti. Apabila laporan masyarakat tidak didukung dengan alat bukti maupun barang bukti yang sah menurut hukum tentu akan mengalami kesulitan dalam proses penangan hukum selanjutnya.

Dalam kondisi yang demikian harus ada progressreport tentang perjalanan kasus yang ditangani, progressreport tidak hanya diberikan kepada atasan tetapi juga perlu diumumkan kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa memahami serta tidak mempunyai prasangka yang bukan – bukan kaitannya dengan penegakan hukum terhadap perkara yang sedang diproses. Hukum berkeadilan mampu menjelaskan proses penanganan perkara, karena tujuan dari proses perkara pidana adalah menjatuhkan hukuman bagi terdakwa yang telah terbukti kesalahannya dan membebaskan terdakwa yang tidak terbukti kesalahannya, memproses perkara pidana kalau didukung alat bukti dan memhentikan perkara pidana kalau perkara tersebut tidak didukung oleh alat bukti yang sah.

1) Penulis adalah Guru Besar dan Direktur Pasca Sarjana Universitas Slamet Riyadi (UNISRI) Surakarta.

1 comment:

Rudini Silaban said...

Dalam pembangunan hukum nasional ada 4 komponen yang harus diperhatikan :
1.komponen norma hukum dan perundang-undangan
2.komponen aparat penegak hukum
3.komponen kesadaran hukum masyarakat
4.komponenpendidikan hukum.

oleh karena itu kalau ke-4 komponen ini sudah berjalan dengan lancar,maka keinginan untuk melihat hukum yang berkeadilan di indonesia akan terwujud..

Terimaksih.