Wednesday, July 25, 2007

KEMENANGAN JOKOWI KEMENANGAN PENCITRAAN

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Pilkada yang digelar secara serentak di tiga daerah, Kota Solo, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sukoharjo usai digelar pada hari Senin Kliwon, 27 Juni 2005. Pilkada di kota Solo, dimana masyarakatnya dikenal bersumbu pendek, pada awalnya sempat dibayang-bayangi terjadinya konflik dan amuk masa antar pendukung cawali. Namun syukurlah, kekhawatiran itu ternyata tidak terjadi. Baik yang menang dan yang kalah bisa bersikap legowo. Menang ora umuk, kalah ora ngamuk. Kitapun bernafas lega. Pilkada dapat berjalan dengan lancar, aman dan damai.

Dibanding dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Boyolali, pilkada di Kota Solo memiliki nuasa yang berbeda. Saat masa kampanye berlangsung meriah, tampil lebih greget dan hingar bingar. Diprediksi oleh banyak pihak, pesta rakyat ini, menghabiskan dana puluhan milyar. Ini dapat dimaklumi karena dari empat pasangan cawali, tiga diantaranya (Jokowi, Hardono dan Purnomo) adalah para pengusaha besar yang kaya raya. Mereka termasuk pengusaha “ Balung Gajah, Sabuk Galengan “. Hardono dengan total kekayaan sekitar 49 milyar, Purnomo sekitar 41 milyar, dan Jokowi sekitar 9,7 milyar.

Tidak aneh ketiganya tampil all out. Dari tiga kali kampanye terbuka, ketiganya mampu mengerahkan masa puluhan ribu, dengan acara yang dikemas secara spektakuler. Sehingga sangat sulit untuk menebai dan mempridiksi siapa yang bakal keluar sebagai pemenang. Ketiga-tiganya sama-sama kuat. Sama-sama berenergi. Sama-sama mengklaim mendapat dukungan dari beberapa kalangan. Mulai dari tukang becak, pemulung, buruh, ormas, parpol, organisasi profesi sampai kalangan pemuka agama.

Namun demikian, medekati hari H, dikalangan petaruh, sebagian besar mengunggulkan pasangan Hardono dan Purnomo. Pasangan ini diunggulkan, karena keduanya terkesan paling “royal” dan “dermawan” dalam setiap event kampanye. Opini petaruh ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh publisitas besar-besaran diberbagai media. Baik media cetak maupun elektronik, maupun media outdoor. Seperti selebaran, poster, leaflet, pamplet maupun pemasangan iklan di koran, spanduk, banner dan baliho raksasa yang memenuhi setiap jengkal tanah di kota Solo.

Sehingga kemenangan Jokowi sebenarnya agak sedikit agak mengejutkan bagi sementara kalangan. Namun sebenarnya bagi saya dan tim Citra Emas (CES) Surakarta, kemenangan Jokowi sudah kami prediksi sejak awal. Berdasarkan pooling yang kami selenggarakan pada awal Januari 2005, sebagian besar responden menjatuhkan pilihan pada cawali yang berumur antara 40-45 tahun. Dan saat ini Jokowi baru saja merayakan ulang tahun yang ke 44.

Dalam pandangan saya, salah satu faktor penentu utama kemenangan Jokowi adalah keberhasilan dalam masalah pencitraan diri. Pencitraan merupakan salah satu kekuatan utama Jokowi dalam meraih kemenangan sebesar 36,62 % (Solopos, 29 Juni 2005). Kemenangan ini juga semakin memperteguh serta memperkuat kedudukan dan arti penting Public Relations (PR) dalam kancah perpolitikan di tanah air. Karena pembentukan citra (image building), merupakan kata kunci dari aktivitas PR. Keampuhan PR ini pula yang telah menghantarkan SBY menjadi presiden RI pertama yang dipilih rakyat secara langsung.

Membangun citra diri tidak bisa bersifat instant, namun butuh waktu dan proses yang cukup lama. Berdimensi jangka panjang. Resep ini itu telah dibuktikan oleh Jokowi, baik disadari maupun tidak. Jokowi telah secara cerdik menempatkan dan memetakan pencitraan dirinya lebih awal bila dibanding tiga cawali lainnya. Langkah awal tersebut, merupakan langkah strategis yang paling efektif. Merupakan investasi yang tidak dapat diukur secara matematis, namun dapat dirasakan manfaatnya.

Berikut adalah catatan saya, yang terkait dengan bentuk pencitraan yang dilakukan Jokowi dan tim suksesnya. Jokowi adalah sosok cawali yang memiliki karakter pribadi sederhana dan tidak neko-neko. Pencitraan inilah menurut saya yang paling kuat dalam meraih simpati masyarakat. Dalam keseharian dan saat tampil di muka publik Joko, tampil lugas, apa adanya dan low profile. Fiqur yang demikian membuat dirinya tidak memiliki jarak dengan masyarakat mulai kalangan bawah sampai atas. Jokowi sikapnya santun.

Citra sebagai pembela wong cilik juga melekat pada dirinya. Terjun langsung blusukan keperkampungan kumuh dengan jalan kaki atau naik ojek untuk mendengarkan dan menyerap aspirasi mereka. Tanpa wigah-wigih, tulus dan tidak menyukai acara seremonial. Jokowi seolah menyatu dengan penderitaan wong cilik. Di tengah mereka Jokowi tidak banyak mengumbar janji yang muluk-muluk. Lebih banyak mendengar dan meminta doa restu.

Pencitraan diri yang lain, Jokowi tampil sebagai sosok nasionalis dan tokoh yang pluralis serta humanis. Tidak nampak fanatik pada satu golongan tertentu. Mampu ajur-ajer disemua lapisan masyarakat. Berbeda dengan sosok Purnomo dan Hardono, mereka cenderung hanya diterima oleh dikalangan menengah-atas, terpelajar dan kalangan umat islam saja.

Dalam strategi komunikasi Jokowi sangat efektif. Bahasanya lugas, mudah dimengerti dan jargon yang ditampilkan sederhana, namun menggigit, dan gampang diingat ”Berseri tanpa Korupsi”. Jargon ini langsung menukik pada persoalan aktual dan perlu mendapat prioritas utama dalam membangun kota Solo. Jargon ini memiliki power dan ruh, karena ditunjang oleh pribadi Jokowi yang lugu, lugas dan sederhana. Sehigga masyarakat percaya dan menaruh harapan akan terwujudnya jargon itu pada sosok Jokowi.

Visi, misi dan program yang ditawarkan pada saat kampanye pun cukup realistis dan tidak bombastis. Berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Menekankan pemberantasan korupsi, peningkatan kesejahteraan keluarga pra sejahtera, membuka lapangan kerja, biaya pendidikan yang murah. Tidak terjebak pada penyusunan visi dan misi yang normatif dan retoris.

Dalam pengamatan saya, pola dan bentuk kampanye yang digunakan Jokowi lebih banyak pada pendekatan PR bila dibandingkan Advertising. Pada saat Hardono dan Purnomo jor-joran dengan pemasangan spanduk, baner dan baliho raksasa yang unik, Jokowi tidak terpancing. Model iklannya tetap tampil sederhana dan ala kadarnya, namun tetap konsisten mengusung jargon “Berseri tanpa Korupsi”. Rupanya Jokowi tahu persis akan kemampuan dan keterbatasan dana, maka harus pandai-pandai mengelolanya secara efektif dan efisien.

PR adalah pendekatan yang bersifat personal. Bagaimana agar individu atau organisasi disukai dan mendapat dukungan dari publik. Hal ini sejalan dengan pendapat Al Raies dan Laura Ries dalam The Fall of Advertising, The Rise of PR. Kunci keberhasilan dalam meraih simpati dan hati pelanggan terletak pada citra diri. Bukan karena banyaknya biaya iklan yang digelontorkan. Menurut Al Ries dan Laura Ries saat ini advertising telah kehilangan kredibilitas.



Mengapa demikian ? Karena umumnya praktisi periklanan saat ini dalam berkarya membuat rancangan iklan, memiliki kecenderungan dan mengedepankan aspek keunikan dan kreatifitas semata. Persoalan apakah iklan tersebut mampu menggerakkan orang untuk menjatuhkan pilihan pada produk yang bersangkutan itu merupakan persoalan kedua.

Itulah seklumit catatan saya tentang pencitraan diri Jokowi dalam pertarungan memperebutkan AD 1. Pak Jokowi selamat berjuang dan selamat membaktikan diri sepenuh hati untuk kota Solo lima tahun ke depan ! Janji Anda kami tunggu !

*) Penulis adalah Pengurus Perhumas BPC Surakarta, Support Program Citra Emas (CES) Surakarta dan Mantan Kahumas Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta

1 comment:

Unknown said...

permisi ya gan
okeyprofits
saya sudah coba dan rasakan keuntungannya
sekarang giliran anda untuk merasakan dan menikmati keuntungannya
modal 100 rb kita bisa untung jutaan rupiah hanya dalam 1 minggu.
deposit 10 USD untung 1,5% perhari
deposit 100 USD untung 2% perhari
dan kita dapat bonus 5% untuk seiap member baru yg kita rekrut
daftar dari url sya
http://www.okeyprofits.com/register.php?ref=mhdadi27
atau hubungi 087892336472 / 082166643133