Monday, August 6, 2007

CSR DONGENG ATAU KENYATAAN ?

Oleh: Drs. Suharno, MM, Akuntan *)

Pemerintah dan DPR telah sepakat memasukkan CSR sebagai bentuk kewajiban perusahaan dalam UU PT. Secara tegas dalam Bab V Pasal 74 UU PT disebutkan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Tanggungjawab sosial dan lingkungan tersebut merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, di antaranya UU Tentang Lingkungan Hidup.

Latar belakang munculnya aturan ini, salah satunya dipicu adanya berbagai bencana dan kasus kerusakan alam serta dilingkungan yang terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Berbagai bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini ditengarai akibat tidak tertibnya perusahaan dalam mengelola lingkungan. Seperti kasus Buyat, Free Fort, Lumpur Lapindo dan sejenisnya. Hal itu bisa terjadi akibat lemahnya pengawasan terhadap lingkungan oleh perusahaan.

Kesadaran perusahaan terhadap keberlangsungan alam dan lingkungan sekitar memang masih rendah. Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar menengarai baru 50 % perusahaan yang ada saat ini peduli terhadap CSR, terutama di bidang lingkungan.

Tanggapan pengusaha sendiri terhadap CSR beragam. Ada yang setuju dan ada yang terang-terangan menolak keras. Dengan dalih menganggu iklim investasi di Indonesia dan membenani pengusaha. Sedangkan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat, menilai pengaturan CSR sebaiknya sebatas dijadikan kewajiban moral perusahaan yang sifatnya anjuran. Alasannya dalam praktik bisnis di negara lain, tidak ada yang menjadikan CSR sebagai kewajiban perusahaan. Sampai saat ini implementasi CSR ini memang belum jelas. Apakah dana CSR tersebut nantinya akan dipotong dari pajak atau tidak, apakah dananya diambil dari keuntungan atau dari total investasi yang ada atau tidak, itu tergantung peraturan pelaksana UU PT.


CSR DI SEPUTAR KITA

Apabila pemerintah benar-benar ingin mengatur CSR sebagai kewajiban mestinya harus konsisten. Tidak hanya sekedar menuangkan keinginan di atas kertas semata. Namun harus memiliki komitmen menjalankan. Dari pengamatan penulis, penanganan kasus pencemaran lingkungan yang ada diseputar Soloraya selama ini, nampak keberpihakan pemerintah kepada para pengusaha masih sangat terasa sekali.

Betapa tidak. Mari kita lihat kasus yang terjadi di Kabupaten Karanganyar beberapa waktu yang lalu. Ada empat perusahan yang diseret ke meja hijau degan dakwaan melakukan pencemar lingkungan, yaitu PT Sari Warna Asli, PT Sekar Bengawanteks, PT Sawah Karunia Agung, PT Suburteks. Namun keempat perusahaan itu hanya dijatuhi hukuman yang sangat ringan. Antara empat hingga enam bulan penjara dengan masa percobaan, serta hanya diwajibkan membayar uang denda sebesar Rp 20 juta hingga Rp 75 juta. Alasan pengadilan negeri menjatuhkan hukuman yang sangat ringan tersebut adalah karena limbah yang dikeluarkan tidak mengganggu secara langsung terhadap pertanian disekitarnya. Selain itu, perusahaan telah berupaya melakukan perbaikan Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL).

Jelas sekali ringannya hukuman dan denda ini sangat mengusik rasa keadilan, karena tidak sepadan dengan dampak yang ditimbulkan. Rusaknya ratusan hektar tanah pertanian, tercemarnya sumur penduduk dan terjangkitnya berbagai penyakit kulit yang menimpa warga sekitar. Itu semua harus ditanggung oleh penduduk yang nota bene adalah rakyat kecil “wong cilik”. Yang sedikitpun mereka tidak menikmati keuntungan yang diperoleh perusahaan.

Padahal bila kita mengacu pada UU Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997, ancaman pidana bisa di atas lima tahun. Ini merupakan sebuah “tragedi kemanusiaan” kejadian yang sangat ironis dan kontradiktif, dengan pencanangan Hari Lingkungan Hidup yang diperingati setiap tanggal 06 Juni. Komitmen pemerintah baru sebatas retorika dan lip service belaka.

Kita menyadari bahwa penanganan masalah lingkungan hidup memang tidak sederhana dan tidak cukup sekedar slogan. Menteri Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, pun mengakui bahwa isu lingkungan hidup belum dianggap penting. Untuk itu ia berkomitmen, siap membawa perusahaan hitam ke pengadilan (Warta Ekonomi, 2005). Sementara langkah kongkrit yang ditempuh pemerintah baru sebatas membuat Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER), dengan memberi lebel perusahaan mulai dari emas, hijau, biru, merah, hingga hitam. Serta memasukkan kewajiban CSR dalam UU PT. Langkah pemerintah ini pun di tengah jalan penulis yakin akan banyak menghadapi hambatan dan tantangan dari para pengusaha yang tidak setuju.

Sejauh mana sebenarnya bangsa ini memiliki komitmen untuk mewujudkan lingkungan hidup yang ramah lingkungan. Masih perlu diuji dan dikaji secara mendalam. Keberadaan perusahaan terkait dengan kepeduliannya terhadap tanggung jawab sosial di tengah masyarakat sekitarnya dapat kita bagi dalam tiga katagori.

Pertama, manajemen perusahaan bekerja hanya untuk kepentingan pemodal. Dengan demikian manajemen bekerja semata-mata hanya untuk mencapai kesejahteraan stakeholder perusahaan. Kedua, manajemen bekerja untuk menyeimbangkan kepentingan perusahaan dan kepentingan masyarakat. Ketiga, manajemen bekerja untuk bertanggung jawab melayani kepentingan masyarakat. Melalui program-program sosial yang dirancang untuk mensejahterakan masyarakat.

Milton Friedman, peraih nobel dibidang ekonomi, secara terang-terangan, dan tanpa tedeng aling-aling, mengatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan doktrin subversif. Artinya manajemen perusahaan bekerja atau mengabdi hanya semata-mata untuk kepentingan pemilik modal, sehingga semua kegiatan dicurahkan untuk menciptakan keuntungan bagi pemilik modal. Kalaupun perusahaan harus mendukung kegiatan sosial di masyarakat harus bermuara pada profitabilitas. Ada imbal baliknya.

Rupa-rupanya manajemen dan pemilik modal di Indonesia lebih suka mengikuti jejak Milton Friedman. Walaupun dari aspek legalitas dan formalitas kita sudah memiliki undang-undang dan peraturan yang terkait dengan lingkungan hidup. Namun ternyata belum bisa berbuat banyak. Undang-undang dan aparat penegak hukum masih mandul, bila berhadapan dengan kekuasaan dan pemilik modal.

Di sisi lain saat ini keberanian masyarakat untuk menyuarakan hak dan kewajiban semakin meningkat. Mereka menghendaki agar tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan merupakan bagian integral dan sama sekali bukan tugas yang terpisah dari fungsinya. Tuntutan ini sebenarnya bukan merupakan barang baru. Lontaran tersebut sudah pernah dikemukakan John Huble, dalam Social Responsibility Audit. A Management Tool for Survival, dua dasawarsa lalu.

Namun rupanya sebagian besar para pengusaha di Indonesia, masih lebih suka mengganut pameo “Bisnis is bisnis”. Yang berpandangan bahwa perilaku bisnis tidak bisa dibarengkan dengan aspek moralitas. Antara bisnis dan moralitas tidak ada kaitan apa-apa. Itulah pendapat pelaku dunia usaha yang dikatagorikan sebagai “ Bisnis a moral ”.

Mari kita renungkan ungkapan Henry Ford, industrialis Amerika, yang hidup pada dekade 1863-1947, sebuah bisnis yang hanya menghasilkan uang adalah jenis bisnis yang buruk. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Staf Pengajar Program Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

1 comment:

Unknown said...

Dengan adanya UU ttg CSR diharapkan masalah lingkungan di negara ini dapat lebih diperhatikan. Dan perlu adanya komitmen yang kuat dari semua pihak (pengusaha, pemerintah, dan aparat penegak hukum) bila UU ini jadi dibuat. Takutnya nanti hanya hangat dipembuatan UU tapi dingin dalam pelaksanaan.