Friday, May 18, 2007

UMK 2007: MAJIKAN MENANGIS BURUH MENJERIT




Penentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) merupakan masalah pelik dan dilematis. Dalam sejarah di Indonesia antara buruh dan pengusaha belum pernah menemukan titik temu dalam memutuskan besaran UMK. Selalu terjadi perbedaan dan kesenjangan. Buruh menghendaki upah setinggi mungkin, sedangkan pengusaha berharap dapat membayar upah serendah mungkin. Biasanya kedua belah pihak bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Karena tidak adanya kesepahaman, maka penentuan UMK diambil alih oleh Pemerintah Propinsi. UMK ditetapkan dengan surat keputusan gubernur.

Namun langkah ini, ternyata juga belum dapat menyelesaikan masalah. Sebagai contoh UMK 2007 untuk Kota Solo yang akan diberlakukan per 01 Januari 2007 telah ditetapkan sebesar Rp 590.000,00. Nampaknya belum bisa memuaskan kedua belah pihak. Kalangan buruh di Solo tetap menghendaki UMK sesuai standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebesar Rp 630.000,00. Sementara kalangan pengusaha berharap UMK 2007 hanya naik sebesar Rp 25.000,00 dari Rp 510.000,00 menjadi sebesar Rp 535.000,00.

Untuk memenuhi UMK 2007 sebesar Rp 590.000,00 nampaknya ada sebagian pengusaha yang masih merasa keberatan. Apalagi bila harus memenuhi UMK sebesar KHL. Alasan yang diajukan pun sepintas masuk akal, yaitu kondisi dunia usaha saat ini masih sangat lesu. Mana mampu membayar upah sebesar itu. Di samping itu pengusaha juga meminta agar kenaikan upah disesuaikan dengan tingkat laju inflasi. Tahun 2006 inflasi Kota Solo diprediksi hanya sebesar 4,98 %. Bila tuntutan UMK 2006 versi buruh dipenuhi, maka prosentase kenaikan UMK mencapai 23,50 %. Dalam kacamata pengusaha tuntutan kenaikkan upah oleh kalangan buruh ini dianggapnya terlalu tinggi dan berlebihan.

Namun nampaknya apa yang sudah diputusakan oleh gubernur, tidak dapat diganggu gugat lagi, walaupun berat hati, kalangan pengusaha harus mau menerima. Gubernur dengan tegas menyatakan bahwa keputusan UMK 2007 tidak bisa direvisi (Solopos, 23 Nopember 2006). Gubernur menyatakan keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan berbagai masukkan dari berbagai kalangan. Diantaranya dari hasil mendengarkan keluh kesah dan tangisan para pengusaha.

Kita tidak menutup mata bila tahun 2006 kondisi perekonomian secara makro memang cukup memprihatinkan. Pertumbuhan ekonomi melambat, pengangguran semakin bertambah dan daya beli masyarakat melemah. Dalam kondisi yang serba sulit seperti itu dunia usaha ibaratnya sedang lesu darah. Hal ini ditandai dengan omzet penjualan yang merosot tajam, stok barang menumpuk di gudang.

Bila kalangan pengusaha saja menghadapi situasi ekonomi 2006 sampai menangis. Bagaimana dengan kalangan buruh ? Yang nota bene penghasilannya hanya menggantungkan dari upah yang mereka terima. Upah yang sangat kecil yang tidak sepadan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan layak. Pasti mereka akan menjerit. Melihat kondisi yang demikian mestinya pemerintah tidak hanya mendengar tangisan pengusaha saja, tetapi juga harus mau mendengarkan jerit tangis dan rintihan kalangan buruh. Yang air matanya kini telah berdarah-darah.

Wajar bila dalam mensikapi keputusan ini kalangan buruh melakukan penolakan. Dalam bentuk ujuk rasa diberbagai daerah. Mereka berusaha memperjuangkan agar UMK 2007 sama dengan KHL dapat dipenuhi. Hal ini wajar mengingat, buruh juga manusia. Bukan robot atau mesin industri yang tanpa nyawa dan rasa. Mereka juga mendambakan kehidupan yang layak sebagai mana warga negara Indonesia yang lain.

Sangatlah tragis bila mereka bekerja membanting tulang bekerja selama 8-12 jam kerja sehari, namun untuk memenuhi standar minimal kehidupan yang layak pun tidak mampu.

Mari kita simak komponen KHL yang mereka tuntut hanya terdiri tujuh item. Meliputi makan dan minum, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. Rincian setiap komponen KHL, jangan Anda bayangkan merupakan pemenuhan kebutuhan yang serba wah dan serba mewah. Tuntutannya tidak neko-neko.
Ambil contoh untuk komponen perumahan misalnya, hanya terdiri atas biaya sewa kamar, peralatan tidur dan peralatan rumah tangga yang sederhana.Untuk komponen kesehatan rinciannya meliputi sarana kesehatan, obat anti nyamuk dan potong rambut.

Peran Pemerintah

Sangatlah wajar bila diberbagai daerah buruh tetap ngotot UMK 2007 harus sama dengan KHL. Karena apa yang diperjuangkan adalah sesuatu yang memang seharusnya mereka terima. Menyangkut nasib kehidupan yang sangat azasi yang dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Dalam Undang-undang 13 tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa setiap buruh/pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Penentuan besaran UMK melalui Tripartit (buruh, pengusaha dan pemerintah), yang berlaku saat ini menurut penulis mekanismenya perlu ditinjau ulang. Karena selama ini terkesan pemerintah lebih berpihak kepada kalangan pengusaha daripada memperjuangkan nasib kalangan buruh dalam penentuan UMK. Dengan dalih untuk mengamankan investasi swasta agar tidak hengkang dari Indonesia dan menjaga stabilitas sosial agar tidak terjadi PHK besar-besarnya, UMK versi pengusahalah yang biasanya condong dimenangkan.

Ke depan mestinya pemerintah hanya bertindak sebagai mediator saja dalam penentuan UMK. Biarlah pengusaha dan buruh duduk dalam satu meja untuk membuat kesepakatan bersama. Pemerintah tinggal menyaksikan dan memantau jalannya kesepakatan. Apabila terjadi deadlock barulah pemerintah turun tangan. Bertindak sebagai mediator, berdiri di tengah-tengah pihak yang bersengketa. Menyelesaikan masalah secara adil, win-win solution, namun dengan tetap berpegang pada aturan main yang berlaku.

Bahkan fungsi pemerintah selaku regulator seharusnya mendesak kepada pengusaha untuk menjalankan undang-undang ketenagakerjaan dengan semestinya. Bila ada pengusaha yang tidak mau menjalankan, padahal dia mampu, maka pemerintah seharusnya tidak segan-segan untuk mengambil tindakan dengan menjatuhkan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Bukankah kedudukan dan keberadaan buruh dan pengusaha bersifat simbiosis mutualisme ? Mereka saling membutuhkan dan saling ketergantungan, maka harus saling menguntungkan. Sudah saatnya jargon dan slogan pengusaha dan buruh adalah hubungan kemitraan harus benar-benar diwujudkan dalam tataran operasional. Jangan hanya sebagai bahan komoditas retorika politis semata.

Mewujudkan UMK setara dengan KHL sebenarnya bukan barang yang mustahil. Karena dari kompososi biaya produksi, upah buruh hanya menyumbang kontribusi sekitar 15-20 persen saja dari total biaya produksi. Prosentase tersebut lebih kecil bila dibandingkan biaya-biaya siluman yang dikeluarkan pengusaha, yang konon angkanya bisa mencapai 20-30 persen. Bukan rahasia lagi di Indonesia sikap mental korup para birokrat kita masih sangat kental dan melekat dihampir semua lini birokrasi. Bila pemerintahan SBY serius dan berkomitmen sungguh-sungguh memangkas habis biaya-biaya siluman. Dana tersebut dapat dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh.

Sudah saatnya pengusaha untuk memperhatikan kesejahteraan para buruh. Bila pengusaha tidak bisa bersedia memenuhi tuntutan UMK setara dengan KHL, sama halnya pengusaha belum bisa menghargai dirinya sendiri. Secara lahiriah kehidupan pengusaha memang nampak mewah dan berkecukupan. Namun secara hakiki apa yang telah diperoleh itu karena ditompang dan disubsidi oleh cucuran keringat dan air mata kalangan buruh. Bukankah demikian ? Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Program Studi Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta dan Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Unisri Surakarta.

No comments: