Friday, May 18, 2007

MENJADIKAN TSTJ SEBAGAI PROFIT CENTER

Prestasi, Ir. Sudjadi, selaku ketua satuan kerja yang diserahi tugas untuk mengelola Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) selama masa transisi pantas diajungi jempol. Mantan Deputi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini mendapat tugas dari Walikota Solo Jokowi untuk menyiapkan TSTJ menjadi Badan Usaham Milik Daerah (BUMD). Pilihan Walikota Solo, Jokowi, terhadap Sudjadi, sangat pas. Sesuai dengan kaidah manajemen modern ` the right man on the right place `.

Sebagai bukti target waktu yang diberikan selama enam bulan untuk menyelamatkan aset, memulihkan dan mengembangkan, serta menyiapkan Raperda TSTJ menjadi BUMD dapat diselesaikan dengan baik. Hanya dalam waktu tiga bulan.

Indikator keberhasilan dapat dilihat dari peningkatan pendapatan TSTJ. Sebagaimana dipaparkan dalam Suara Merdeka, edisi 05 Agustus 2006. Sejak Sudjadi menerima mandat pada bulan Mei 2006, pendapatan TSTJ meningkat tajam, bila dibanding pada bulan yang sama pada tahun 2005. Pendapatan bulan Mei 2005 sebesar Rp 99.693.000,00, sedangkan pendapatan Mei 2006 sebesar Rp 102.867.000,00. Berarti mengalami kenaikkan sebesar 3,18 persen.

Pendapatan Juni 2005 sebesar Rp 172.279.000,00 pendapatan Juni 2006 menjadi Rp 282.730.000,00. Ini berarti mengalami kenaikkan sebesar 64, 11 persen. Sedangkan pendapatan Juli 2005 sebesar Rp 144.073.000,00 dan pendapatan Juli 2006 sebesar Rp 172.216.000,00. Berarti naik sebesar 1,95 persen.

Memang pendapatan TSTJ sangat berfluktuasi. Ini dapat dimaklumi. Sebab sebagai sarana rekreasi keluarga, jumlah pengunjung sangat dipengaruhi oleh faktor libur sekolah. Namun bila dihitung rata-rata, kenaikkan pendapatan selama tiga bulan terakhir dibanding dengan periode yang sama tahun lalu mengalami peningkatan sekitar 23,08 persen. Sedangkan keuntungan bersih yang diperoleh selama tiga bulan mencapai sekitar Rp 120 juta. Keuntungan ini bila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata perbulan yang sebesar Rp 185 juta, maka tingkat keuntungan mencapai sebesar 65 persen.

Ini membuktikan dan meneguhkan kenyakinan saya. Bila TSTJ dikelola serius dan sepenuh hati. Dengan menerapkan kaidah manajemen modern dan menempatkan SDM yang kompeten dan profesional. Tidak mustahil bila TSTJ bisa menjadi ” tambang emas ” bagi Kota Solo. Menjadi andalan salah satu primadona penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat potensial.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka konsep pengembangan dan pengelolaan TSTJ yang akan diwadahi dalam bentuk BUMD, seyogyanya dijadikan profit center (pusat laba). Bukan lagi sekedar menjadi cost center (pusat biaya). Apabila TSTJ menjadi pusat laba, maka Walikota harus mendelegasikan secara penuh pengelolaan TSTJ kepada seorang manajer dari kalangan profesional. Bisa diambil dari kalangan birokrasi atau mengambil orang luar. Tetapi rekruetmentnya harus melalui tahapan fit and proper test.

Manajer terpilih akan diberi tugas dan tanggungjawab sepenuhnya untuk mengelola TSTJ. Sebelum melaksanakan tugas, manajer TSTJ harus menyusun program dan kegiatan, beserta anggarannya untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Termasuk didalamnya target-target pendapatan dan prediksi pencapaian laba untuk setiap tahunnya.

Secara periodik kinerja manajemen TSTJ dievaluasi oleh pihak eksekutif maupun legeslatif. Bila terjadi penyimpangan atau kegagalan, manajer yang bersangkutan harus dimintai pertanggungjawaban. Kemudian diberi kesempatan untuk melakukan pembenahan. Namun bila tetap gagal, maka pihak manajemen harus diganti. Apabila terjadi penyimpangan yang berindikasi adanya tindak korupsi, maka harus diproses secara hukum dan diberi sanksi yang tegas.

Bila langkah ini diambil apakah tidak berarti mengkomersilkan atau membisniskan TSTJ ? Apakah nanti harga karcis masuk tidak mahal ? Apakah terjangkau oleh masyarakat bawah ? Itu mungkin beberapa pertanyaan yang ada dibenak masyarakat.

Bila Walikota Solo Jokowi berkomitmen menjadikan TSTJ sebagai Taman Hiburan Rakyat (THR). Saya kira patut kita hargai dan pantas kita sengkuyung bersama. Sebab bila pengelolaan TSTJ mendasarkan pada konsep value for money yang bertumpu pada tiga E, yaitu: ekonomi, efesiensi dan efektifitas. Walikota masih bisa campur tangan untuk menentukan besarannya harga karcis yang terjangkau oleh masyarakat dari kalangan bawah. Murah dan meriah ! Dengan fasilitas yang lengkap dan memadai. Saya optimis dengan tarif murah, TSTJ tetap dapat meraup keuntungan.

Mengapa tidak ? Ini bukan sekedar impian. Dengan satu catatan ! Pengelolaan TSTJ harus terbebas dari kepentingan politik dan kepentingan lainnya. Sistem pengelolaan dan rekruement pegawai harus transparan. Dan pengelolaan keuangan harus akuntabel. Bila prasyarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka TSTJ akan lebih baik bila diprivatisasi atau pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta.

Sebab pengalaman masa lalu menunjukkan BUMD/BUMN sering menjadi sapi perah bagi kalangan birokrasi dan elit politik. Sehingga hampir sebagian besar tidak sehat, bahkan merugi selama puluhan tahun. Yang akhirnya justru keberadaannya tidak menambah sumber pendapatan negara atau daerah, namun justru membebani APBN/APBD.

Namun saya optimis bila di bawah kepemimpinan Jokowi-Rudy yang mengusung slogan Berseri tanpa Korupsi, TSTJ akan lebih baik bila dikelola dalam bentuk BUMD. Sebab bila di privatisasi disatu sisi tugas Pemkot memang sangat ringan. Tahunya hanya menerima setoran uang dari tender pemenang tender.Tidak usah pusing-pusing memikirkan investasi.

Namun sebenarnya bila kita kaji lebih mendalam privatisasi sisi negatifnya lebih banyak. Diantaranya keberlangsungan pengelolaan TSTJ jangka panjang tidak menentu. Di samping itu investor biasanya hanya melulu cari untung yang sebesar-besarnya, mengabaikan dimensi sosial dan kelestarian lingkungan hidup jangka panjang. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Penulis adalah Ketua Pusat Pengembangan Akuntansi (PPA) Fakultas Ekonomi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta, Staf Pengajar Pasca Sarjana MM Unisri dan Support Program Citra Emas (CES) Surakarta..

No comments: